Rabu, 08 Januari 2014

(Ngaji of the Day) Resep Mematikan Mental



Resep Mematikan Mental
Oleh: Muhamad Kurtubi

ORANG yang hingar-bingar dalam kehidupan pribadinya, boleh jadi menandakan hidupnya tercerahkan. Mungkin pekerjaan yang dia lakukan selama ini mamapu mendatangkan kepuasan; fisik maupun mental. Tapi jangan dikira, orang semacam ini gampang sekali dimatikan mentalnya. Terlebih jika pekerjaan itu bersifat sosial. Tinggal dijewer, dijamin semangatnya melumer.

JIka tidak percaya tanyakan langsung sama saya. Pengalaman ini sangat unik dan baru sekali hidup mendapatkan “kematian mental”. Hingga saat ini gairah untuk menulis dan menuliskan sesuatu terasa berat. Dulu saat mental belum dimatikan, gairah atau semangat menulis tanpa pamrih begitu bergelora. Kini, jangalah menggerakkan pena, menorehkan komentar saja berat sakali.

Simpel sekali orang yang mematikan mental itu berkreasi. Mula-mula kami dikumpulkan dalam sebuah acara yang khas pesantren: ngaji, dzikir dan berdoa. Berkumpullan sekitar 30 orang hadir sore itu.

Saat acara dimulai, sebelumnya, sang pengundang memberikan sambutan yang intinya, maksud dari pertemuan dan diteruskan bla-bla sana sini. Dengan nada berapi-api khas senior saya itu, kuperhatikan ada yang aneh dari sambutan lanjutannya. Sang senior berkata tentang peran yang selama ini dilakukan untuk sebuah pekerjaan yang mendatangkan manfaat bagi orang banyak. Namun sayangnya yang didapat adalah sebuah kekecewaan yang tergambar dari kata-katanya yang berbau “sarkasme” dan tendensius.

Masih belum jelas apa yang dimaksud dengan kekecewaan itu, hingg kuperhatikan detil ucap-demi-ucap tanpa terlewati. Hingga kurang dari 1 jam ceramah berapi-api itu kudengar, barulah kudapati titik terang sumber kekecewaan itu dari mana.

Astaghfirullah ternyata sumbernya Kekecewaan itu bersumber dari saya, Si tukang web yang mengelola portal komunitas. Pasalnya, kekecewaan itu karena apa yang ditulis dan dimuat dalam web itu, tak satupun mengupas hal-hal yang berkaitan dengan peran serta beliau dalam ikut membesarkan nama pesantren. Padahal beliau adalah orang yang sangat gigih memperjuangkan nama besar pesantren. Jadi, sangat wajar dan pantas jika senior itu kecewa berat sama saya.

Dampaknya cukup dahsyat, kini, seolah-olah saya menjadi orang yang merasa bersalah dan mentalnya tidak sesemangat dulu. Bahkan imbasnya pada kreativitas menulis di blog ini pun jarang-jarang. Ternyata, menjatuhkan mental seseorang itu gampang. Katakan saja apa kesalahannya lalu ungkapkan itu jelas-jelas di hadapan orang banyak, pasti akan jatuh mentalnya. Pantas saja, jika ada orang bijak berkata: jika berkata kepada pencuri, janganlah kau katakan “kau mencuri ya”

Postingan ini bukan rasa kekesalan, melainkan sebagai pembelajaran bagaimana ilmu mematikan mental seseorang. Maklum orang yang katro dengan politik. Dari peristiwa ini saya tetap menghormati senior-senior yang sangat mumpuni, bahkan di tangan merekalah pesantren itu bisa dikenal di mana-mana. []

Muhamad Kurtubi,
Santri Pondok Pesantren Buntet – Cirebon, lulusan MANU 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar