Rabu, 22 Januari 2014

BamSoet: Memilih Presiden Yang Memimpin 2014



Memilih Presiden Yang Memimpin 2014

Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

SEPANJANG paruh pertama 2014, hampir seluruh elemen rakyat Indonesia akan disibukan oleh kegiatan mempersiapkan dan melaksanakan pemilihan umum. Maka, dalam rentang waktu itu,  warga negara pemilik suara dituntut berpikir jernih, independen, serta memahami hakikat kebutuhan. Sebab, Indonesia harus mencari dan memilih pemimpin. Bukan sembarang pemimpin, melainkan pemimpin yang mau menjadi abdi sejati bagi rakyatnya.

Ketidaknyamanan hidup berbangsa dan bernegara yang berlangsung selama hampir satu dekade terakhir ini  merupakan buah dari sikap dan pilihan tidak cerdas. Maka, jadikan pengalaman tidak enak yang dirasakan sampai hari-hari ini sebagai pelajaran, agar pada saat menggunakan hak pilih nanti, sikap dan pilihan tidak cerdas itu tak terulang.

Rakyat Indonesia sudah cukup dewasa dalam berdemokrasi, dan karenanya tidak boleh lagi terkecoh oleh penampilan palsu, sarat rekayasa dan pencitraan dari sosok-sosok yang ingin tampil menjadi pemimpin. Jangan memilih topeng, karena dibalik topeng tersimpan banyak tipu muslihat. Warga negara pemilik suara dituntut berpikir jernih dan cerdas agar tidak lagi terjebak dan terbuai oleh janji-janji dan omong kosong.

Semua elemen rakyat harus bertekad mengakhiri ketidaknyamanan hidup berbangsa dan bernegara yang telah berlangsung hampir satu dekade terakhir ini. Karena itu, hindari kesalahan dalam memilih wakil rakyat, baik anggota DPR maupun DPRD. Dan, jangan juga melakukan kesalahan lagi dalam memilih pemimpin atau presiden. Sebagai acuan untuk mengoreksi kesalahan dalam memilih, silahkan masing-masing mengkalkulasi dampak buruk atau ekses dari kesalahan memilih itu.

Kalkulasi bisa dimulai dengan menimbang-nimbang perubahan derajat kesejahteraan bersama dalam rentang waktu hampir 10 tahun belakangan ini. Pertanyakan juga militansi pemerintah dalam membela dan menjaga kepentingan nasional serta kepentingan rakyat. Apakah pemerintahan ini cerdas dan berani dalam mengelola semua komoditi kebutuhan pokok rakyat? Tentu, yang juga sangat penting adalah mengkaji seberapa jauh pemerintahan ini efektif dan bersih. Ada sejumlah aspek lain yang patut dipertanyakan dan dicari jawabannya.

Tetapi, pada akhirnya, konteks pertanyaan pokoknya hanya seputar pemimpin yang melayani atau dilayani? Dan, pemerintah yang melayani atau dilayani? Pertanyaan ini sebenarnya tak perlu dikemukakan. Sebab, sejatinya, pemimpin pemerintahan yang dipilih oleh rakyat itu melayani negara dan rakyat. Maka, pemimpin yang mengepalai sebuah pemerintahan harus memosisikan pemerintahan yang dipimpinnya sebagai pelayan negara dan pelayan rakyat. Prinsip ini harus diterima dan dimaknai sebagai sebuah konsekuensi logis. Terutama, lebih karena pemimpin dan pemerintahan yang dipimpinnya bekerja harus seturut aspirasi rakyat, dan digaji dengan pajak yang dipungut dari rakyat.

Dengan demikian, pada tahun Pemilu 2014, target bersama seluruh elemen rakyat hanyalah satu; mencari pelayan atau abdi rakyat. Mencari anggota DPR/DPRD yang melayani, serta mencari presiden yang mau dan fokus melayani rakyat dan negara. Tidak boleh ada agenda lain. Fokus anggota DPR/DPRD serta Presiden dan pemerintahan yang dipimpinnya hanya melayani negara dan rakyat. Melayani berarti mereka harus menjadi abdi negara dan abdi rakyat dalam arti yang sebenar-benarnya, bukan sekadar slogan untuk meraih popularitas.
 
Gambaran Ekses
 
Sesuai rencana, Pemilu 2014 dilaksanakan dalam dua tahap; Pemilu Legislatif pada 9 April 2014 akan memilih anggota DPR/DPRD, serta Pemilu Presiden pada 9 Juli 2014 yang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Apa yang akan didapatkan rakyat Indonesia dari Pemilu 2014 itu terpulang kepada warga negara yang berhak memilih. Ingin dilayani atau melayani?

Menjadi abdi rakyat yang sejati berarti harus memahami dan menghayati persoalan rakyat. Bahkan, demi efektivitas pelayanan dan pengabdian kepada rakyat,  anggota DPR/DPRD serta Presiden dan para birokrat di semua institusi pemerintahan harus menyatu dengan rakyat. Tak boleh ada jarak atau gap, agar DPR/DPRD dan presiden tahu betul jalan keluar seperti apa yang diperlukan untuk memecahkan aneka persoalan yang dihadapi rakyat kebanyakan. Contoh tentang praktik yang demikian telah diperlihatkan oleh sejumlah pemerintahan daerah.

Maka, jangan memilih abdi atau pelayan semu. Sebab, jika berperan sebagai pelayan semu, anggota DPR/DPRD dan presiden tidak akan pernah tahu persoalan yang dihadapi rakyat. Kalau persoalan rakyat tidak dipahami, bagaimana mungkin DPR/DPRD dan presiden bisa merumuskan jalan keluar. Berarti, anggota DPR/DPRD harus rajin ke daerah pemilihan di masa reses untuk menyerap aspirasi konstituen. Presiden pun hendaknya rajin mengunjungi daerah untuk mengetahui perkembangan pembangunan di setiap pelosok. Perjalanan ke luar negeri harus jelas urgensinya, dan tentu saja harus berkait dengan kepentingan negara dan rakyat. Karena itulah menjadi sangat penting bagi presiden dan para legislator untuk tidak mempunyai agenda lain selain melayani negara dan rakyat.

Jika hak pilih digunakan dengan pikiran jernih dan independen, rakyat Indonesia pasti bisa mendapatkan wakil-wakil rakyat dan pemimpin yang melayani. Sebaliknya, jika hak pilih digunakan dengan sembrono, yang didapatkan bukanlah abdi rakyat sejati, melainkan legislator dan pemimpin yang justru dirundung masalah, termasuk terjerat kasus hukum.

Pada bulan Februari 2013, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan catatan yang menunjukan 2.976 anggota dewan (DPRD provinsi dan kabupaten/Kota) terjerat kasus hukum. Saat itu, sudah  431 anggota DPRD provinsi terjerat kasus hukum dan 83,76 persennya kasus tindak pidana korupsi (Tipikor). Sedangkan jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang terseret kasus hukum bahkan mencapai 2.545 orang. Dan, 40,07 persennya kasus Tipikor. Di Jakarta, beberapa anggota DPR pun terjerat kasus hukum.

Sementara itu, jumlah pejabat pada level pimpinan daerah yang bermasalah dengan hukum sudah mencapai 304 pejabat. Pejabat daerah yang bermasalah dengan hukum meliputi 22 gubernur, 7 wakil gubernur, 156 bupati, 46 wakil bupati, 41 walikota, dan 20 wakil walikota.

Dan, kasus Bank Century, kasus Hambalang, kasus suap Kepala SKK Migas hingga kasus suap impor daging sapi sangat jelas menggambarkan pemerintah pusat tidak bersih. Persoalan gelembung dana talangan Bank Century bahkan merusak citra pemerintahan sekarang ini, karena tak satu pun pejabat maupun institusi yang berani tampil untuk mempertanggungjawabkannya.

Seperti itulah gambaran eksesnya jika para legislator dan pejabat tinggi memiliki agenda lain di luar agenda pelayanan kepada negara dan rakyat. Artinya, jika hak pilih tidak digunakan dengan cerdas, rakyat hanya akan mendapatkan legislator dan pemimpin yang lebih memrioritaskan agenda memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.

Belum lagi persoalan kapabilitas mengelola dan memanfaatkan anggaran. Dalam beberapa tahun belakangan ini, alokasi anggaran rutin dan belanja pegawai dalam APBN rata-rata sudah di atas 50 persen. Jelas, ini menjadi kecenderungan yang tidak sehat. Begitu besar jumlah anggaran yang digunakan tidak untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Anggaran rutin dialokasikan untuk biaya pemeliharaan aset, belanja pegawai, perjalanan dinas hingga dana alokasi umum (DAU) serta pembayaran pokok dan bunga utang.

Oleh karena berorientasi melayani rakyat, DPR/DPRD dan Presiden terpilih dari Pemilu 2014 harus mau mengubah arah atau orientasi pengelolaan dan pemanfaatan anggaran negara serta daerah untuk memperbaiki kesejahtaraan rakyhat. Bukan hanya mencipta lagu dan mengeluh. []

Link: http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/01/11/249084

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar