Senin, 27 Januari 2014

Gus Sholah: Sumbangsih Pesantren bagi Indonesia



Sumbangsih Pesantren bagi Indonesia
Oleh: Salahuddin Wahid

Pendidikan Islam di Nusantara dimulai pada abad ke-9 di Barus, dekat Sibolga, ketika banyak orang LN, termasuk ulama, datang ke sana. Daya tarik utama bagi pendatang itu adalah produksi getah pohon barus atau kapur barus yang dijadikan wewangian, berbeda dengan kamper yang kita kenal sekarang.

Tahun 1400-1680 adalah masa puncak perdagangan rempah-rempah yang tergambar pada jumlah dan ukuran kapal. Masa tersebut merupakan masa kejayaan Islam Melayu Nusantara. Salah satu aspek yang perlu dicatat adalah ''proses pembentukan kebudayaan Melayu modern'' ketika bahasa Arab menjadi acuan utama bagi pemilihan kata-kata dan adanya tulisan Arab Melayu yang disebut huruf Jawi. Bahasa Melayu menjadi lingua franca kegiatan perdagangan dan politik di Nusantara.

Menurut Anthony Johns, perubahan masyarakat Melayu menjadi muslim merupakan peristiwa yang menakjubkan. Pertama, berlangsung saat imperium Islam mengalami kemunduran. Kedua, perubahan agama di wilayah Melayu itu berlangsung cepat tanpa dukungan kekuatan politik atau militer. Ketiga, jumlah penduduk yang berubah agama dari Hindu menjadi muslim mencapai 89 persen dari seluruh penduduk Melayu Nusantara. Kunci perubahan itu adalah pesantren.

Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419 di Gresik) dipandang sebagai gurunya guru dari tradisi pesantren. Pesantren tertua dan terkenal di Jawa adalah Pesantren Tegalsari di Ponorogo yang didirikan pada abad ke-15 oleh Kiai Hasan Besari. Santrinya yang terkenal adalah Ronggowarsito. Pesantren tertua yang masih aktif sampai kini di Jawa adalah Pesantren Sidogiri di Pasuruan yang didirikan pada 1745. Selanjutnya adalah Pesantren Jamsaren Solo (1750); Pesantren Miftahul Huda Gading, Malang (1768); serta Pesantren Buntet, Cirebon (1785). Sejumlah pesantren terkenal didirikan belakangan, yakni Pesantren Tebuireng (1899), Pesantren Lirboyo (1910), dan Pesantren Gontor (1926).

Pendidikan Barat v Pendidikan Islam

Lembaga pendidikan didirikan Hindia Belanda pada awal 1840-an atas saran Snouck Hurgronye. Tujuannya, memperoleh tenaga untuk keperluan pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan Belanda. Juga, menandingi pengaruh pesantren yang menyulitkan pemerintah kolonial Belanda. Menurut Snouck Hurgronye, kebudayaan wilayah jajahan perlu dipadukan dengan kebudayaan Belanda. Pemerintah kolonial mendidik kaum elite Indonesia agar secara umum berbudaya Belanda. Sistem pendidikan Belanda adalah sarana paling baik untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan Islam di wilayah Hindia Belanda.

Para pemuda terdidik itu berkumpul di Jakarta dalam Kongres Pemuda kedua (1928) dan membuat kesepakatan yang kelak disebut Sumpah Pemuda. I

Sejumlah tokoh pesantren ikut dalam BPUPKI dan PPKI yang menyiapkan rancangan UUD. Tokoh-tokoh pesantren membentuk Lasykar Hisbullah yang menjadi salah satu unsur dalam pembentukan TNI. Tentara Belanda kembali ke Indonesia dengan mendompleng Sekutu yang merasa menguasai eks Hindia Belanda karena Jepang menyerah kepada Sekutu. Menghadapi situasi sulit itu, para ulama NU mengeluarkan Resolusi Jihad.

Sejumlah tokoh pesantren menjadi menteri. Pada 1950, Menteri Agama Wahid Hasyim dan Menteri Pendidikan Bahder Johan membuat nota kesepahaman dalam memadukan pendidikan Islam dengan pendidikan nasional. Tokoh-tokoh pesantren menggagas berdirinya PTAIN yang berkembang menjadi IAIN dan selanjutnya menjadi UIN.

Memadukan Islam dan Pancasila

Tokoh-tokoh Islam (KH Wahid Hasyim, Agus Salim, dll) bersama tokoh pendukung Pancasila (Bung Karno, Bung Hatta, dll) berjuang memadukan keislaman dan keindonesiaan. Diperlukan waktu 40 tahun untuk memadukan Islam dan Pancasila. Muktamar NU 1984 menyetujui Dokumen Hubungan Islam dan Pancasila yang menyatakan bahwa Pancasila bukanlah agama dan tidak dapat menggantikan agama. Tanpa peran pesantren, wajah mayoritas umat Islam Indonesia mungkin akan sangat berbeda, tidak tawasuth (moderat) dan tasamuh (toleran) seperti sekarang.

Affirmative Program

Jumlah pesantren di Indonesia kini mencapai 28.000 pesantren dengan santri/murid hingga 4 juta orang. Kebanyakan adalah pesantren kecil. Pada 1998, jumlah pesantren sekitar 8.000 pesantren. Hal itu menunjukkan bahwa daya tarik pesantren sangat tinggi.

Lebih banyak madrasah yang didirikan swasta. Dari sekitar 252.000 sekolah dan madrasah, hampir 40 persen adalah sekolah swasta. Di luar SD, dari sekitar 122.000 sekolah dan madrasah, hampir 80 persen adalah sekolah swasta. Ditambah fakta bahwa 40 persen dari 3 juta guru adalah guru swasta, hal itu menunjukkan bahwa peran swasta (sebagian besar adalah pesantren) dalam pendidikan di Indonesia masih besar.

Namun, pesantren dan masyarakat sekelilingnya di pedalaman (rural area) masih tertinggal dibanding mereka yang di perkotaan. Perhatian pemerintah terhadap mereka masih kurang.

Diperlukan suatu affirmative program untuk membantu pesantren, terutama yang kecil, agar bisa meningkatkan diri dan masyarakat sekelilingnya sehingga mampu menghadapi tantangan zaman. Hanya 7 persen pemuda usia kuliah yang hidup di pedalaman yang bisa ke perguruan tinggi. Mereka tidak bisa kuliah di kota besar karena biaya hidup/biaya kuliah mahal. Jumlah bangku kuliah tidak mencukupi. Perlu pendidikan tinggi bagi rakyat kecil di pedalaman yang akan memberikan multiplier effect tinggi. []

JAWA POS, 15 Januari 2014
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar