Siapa yang Berhak Menyesatkan Suatu Agama?
Oleh: Nasaruddin Umar
PEMBENGKAKAN kualitas dan kesadaran beragama yang tidak dibingkai
dengan norma-norma kebersamaan sebagai warga bangsa yang pluralistis berpotensi
menimbulkan berbagai efek yang merugikan. Dekade terakhir media-media sosial
semakin bebas mendeklarasikan sebuah aliran atau mazhab sebagai aliran sesat.
Siapa sesungguhnya yang berhak menyesatkan agama, aliran, atau
mazhab? Apakah negara atau pemerintah berhak menilai dan menentukan sebuah
agama atau aliran itu sesat? Apakah negara juga punya kewenangan untuk melarang
dan membubarkan sebuah agama atau aliran? Pertanyaan ini sering mengusik
ketenangan komunitas umat beragama. Terutama kelompok agama atau aliran
minoritas. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut tentu tidak mudah dan tentu
juga mempunyai efek hukum, terutama dalam hukum positif negeri kita.
Dalam sistem hukum dan perundang-undangan negeri kita, kebebasan
umat beragama dijamin bagi setiap warga negara. Bahkan dalam UUD 1945 Pasal 29
ditegaskan (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan
untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam Pasal 28 E UUD 1945 lebih diperinci lagi (1) Setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal
di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Pasal-pasal tersebut di atas menjadi sangat penting dan sangat
fungsional. Kerukunan bagi bangsa Indonesia bukan hanya keniscayaan, tetapi
kemutlakan. Bangsa yang dipadati berbagai agama, budaya, etnik, bahasa, dan
wilayahnya dipisah-pisahkan laut, maka tidak ada alasan apa pun untuk tidak
mempriotaskan kerukunan kebangsaan.
Konsekuensi dalam UUD 1945 tidak menetapkan salah satu agama
sebagai agama negara, NKRI harus memberikan pelayanan yang sama dan adil
terhadap semua agama yang hidup di Indonesia. Indonesia dikenal bukan sebagai
negara agama dan bukan pula negara sekuler.
Indonesia lebih dikenal negara Pancasila di mana semaua agama dan
masing-masing pemeluknya diperlakukan sama sebagai warga negara Indonesia.
Tidak ada agama ekslusif yang harus lebih dominan di antara agama-agama
lainnya, sekalipun di antaranya ada agama mayoritas mutlak dianut warganya.
Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti ini sudah dianggap
final, bukan hanya oleh pemerintah (umara), melainkan juga oleh tokoh agama,
ulama (ulama).
Undang-undang tidak mengatur substansi internal ajaran setiap
agama karena itu merupakan domain majelis-majelis agama. Apakah agama atau
aliran itu dinyatakan sesat atau tidak, tergantung pimpinan majelis-majelis
agama yang bersangkutan, tentunya melalui mekanisme internal dari organisasi
tersebut. Misalnya, sebuah aliran menyimpang atau sesat dalam Islam ditentukan
Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Keterangan dan rekomendasi MUI kemudian dijadikan rujukan oleh
negara atau pemerintah kalau sebuah ajaran atau aliran itu menyimpang atau
sesat. Termasuk penentuan sutu produk halal atau haram, juga menjadi domain
MUI. Atas dasar fatwa MUI kemudian pemerintah menindaklanjutinya secara hukum
positif.
Urusan pembubaran, pembekuan, atau pencabutan izin keormasan atau
yayasan dan badan hukum yang bernaung di dalam suatu agama, negara, dan atau
pemerintah bisa melaksanakannya apabila sudah sesuai dengan ketentuan dan
perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, agama atau alirannya sendiri,
pemerintah harus berhati-hati karena tidak memilki kewenangan untuk
menyesatkannya secara langsung, karena menjadi domain pimpinan majelis agama yang
bersangkutan.
Apabila seseorang memiliki kapasitas ganda, misalnya di samping
sebagai pejabat negara juga ia termasuk anggota majelis sebuah agama, ia harus
memilah-milah kapasitas dirinya. Dirinya sebagai pejabat negara tidak boleh
menyesatkan sebuah agama atau aliran, tetapi jika ia tampil sebagai anggota
atau pimpinan majelis agama, maka ia berhak menyatakan penyesatan itu. Tentunya
sekali lagi, jika prosudur internal organisasinya membenarkannya.
Dualitas hukum seperti ini tidak mesti harus dipertentangkan,
karena lebih merupakan masalah administrasi dan manajmen. Hal ini bukan hanya
berlaku bagi komunitas Islam, tetapi juga komunitas agama lain.
Hukum-hukum agama menjadi domain pimpinan majelis agama (ulama)
dan hukum-hukum positif menjadi domain pemerintah (umara). Banyak produk
perundang-undangan di Indonesia memberi ruang formal terhadap majelis-majelis
agama, seperti Undang-Undang Perbankan Syariah, Undang-Undang Sukuk,
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Wakaf, Undang-Undang
Zakat, Undang-Undang Haji, dan lain-lain. []
MEDIA INDONESIA, 9 Maret 2018
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar