Jalan Keluar UU MD3
Oleh: Moh Mahfud MD
Semula Presiden Joko Widodo mengirimkan surat presiden (supres)
kepada DPR yang berisi persetujuan untuk membahas rancangan revisi atas UU No
17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Isinya satu saja: perubahan komposisi (tepatnya penambahan jumlah)
pimpinan MPR dan DPR sesuai dengan komposisi hasil pemilu. Tetapi pada
saat-saat akhir pembahasan, ada usul dimasukkannya beberapa materi baru yakni
tentang kriminalisasi terhadap pengkritik DPR dan anggota DPR, tentang
perluasan imunitas DPR, tentang pemanggilan paksa (subpoena) yang tidak
proporsional.
Satu lagi tentang perluasan fungsi Majelis Kehormatan Dewan (MKD)
DPR dari lembaga penegak etik merambah ke lembaga penegakan hukum. Keruan saja
menyeruak pro dan kontra yang panas. Presiden menyatakan kaget dan tidak tahu
ada pembahasan materi seperti itu.
Sementara itu, Menkumham Yasonna Laoly mengaku memang tidak
melapor tentang masuknya materi-materi baru tersebut karena waktunya sudah
sangat mendesak. Sebelumnya, Fraksi Partai NasDem dan Partai PPP mengaku
kecolongan dan menyatakan walk out saat pengesahan UU tersebut di Gedung DPR.
Materi-materi yang (meminjam istilah Presiden) mengurangi kualitas
demokrasi tersebut tentu harus dibereskan karena mendapat penolakan luas dari
masyarakat. Jalan keluar secara konstitusional harus dicari untuk meniadakan ketentuan-ketentuan
tersebut dari hukum kita.
Konstitusi kita pun memberikan beberapa jalan untuk itu melalui
pembuatan resultante (kesepakatan) baru, sebab pada dasarnya produk hukum
adalah resultante yang bisa diganti dengan resultante baru. Resultante baru
bisa dilakukan dengan legislative review atau perubahan UU melalui proses
legislasi lagi setelah UU MD3 itu terlebih dulu diundangkan.
Mekanisme legislative review ini akan berlangsung relatif lama dan
ribet lagi. Maka ada juga yang mengusulkan direvisi melalui judicial review
atau meminta pembatalan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dengan uji
konstitusionalitas. Namun harus diingat, dalam kasus ini ada sedikit kelemahan
kalau pilihan penyelesaian masalah ini dibawa ke MK.
Per tama, pada dasarnya MK hanya bisa membatalkan (negative
legislator) dan tidak bisa membuat formulasi baru, sebab formulasi sebuah UU
hanya bisa dibuat oleh legislatif (positive legislator). Ini bisa menimbulkan
kekosongan hukum. Memang ada juga peluang dibuatnya vonis
“konstitusional/inkonstitusional bersyarat” yang memungkinkan MK meng haruskan
pengertian tertentu, tetapi formulasinya tetaplah tidak bisa leluasa.
Kedua, MK tidak boleh membatalkan UU atau isinya meskipun UU
tersebut jelek dan ditolak oleh publik selama tidak bertentangan dengan UUD
1945.
Banyak UU yang menurut MK tidak bagus dan ditentang oleh
masyarakat, tetapi tidak bisa dibatalkan oleh MK karena meskipun tidak disukai
oleh masyarakat dan tidak bagus, tetapi juga tidak bertentangan dengan UUD
1945, misalnya, dalam hal-hal yang dianggap sebagai opened legal policy. MK
tidak bisa membatalkan UU yang menurut pendapat umum tidak baik.
MK hanya membatalkan UU yang nyatanyata bertentangan dengan UUD
1945. Dulu MK pernah menolak untuk membatalkan UU No 1/PNPS/1965, karena
meskipun isinya dianggap kurang baik, tetapi UU tersebut tidak bertentangan
dengan UUD 1945 sebagai opened legal policy. Waktu itu MK menyatakan, kalau mau
diubah, ya, menjadi ranahnya DPR dan pemerintah sebagai pemegang hak legislasi.
Itulah taruhannya jika kasus UU MD3 ini diuji materi ke MK. Maka
muncul alternatif lain, yakni penerbitan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (perppu) yang dari sudut tertentu bisa lebih tepat, lebih cepat,
dan tanpa debat kusir yang tidak perlu. Caranya, draf UU MD3 diundangkan dulu
untuk selanjutnya, sehari kemu dian, direvisi dengan perppu.
Cara ini pada akhir 2014 pernah dilakukan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) ketika pada 30 September 2014 mengundangkan berlakunya
UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, tetapi
langsung disusul dengan pencabutannya pada 2 Oktober 2014 melalui peng undangan
Perppu No 1 Tahun 2014.
Biasanya perdebatan yang selalu muncul terkait dengan perppu
adalah “alasan genting” apa yang bisa dipakai oleh Presiden untuk mengeluarkan
perppu. Menurut Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, perppu hanya bisa dikeluarkan dalam
hal terjadi “hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
Namun, haruslah diingat bahwa di dalam Hukum Tata Negara tidak ada
kriteria objektif tentang keadaan genting itu. Alasan tentang kegentingan itu
merupakan “hak subjektif” Presiden. Dapat dikatakan, sampai saat ini tak pernah
ada sebuah perppu yang ditolak oleh DPR dengan alasan tidak memenuhi syarat
tentang adanya kegentingan.
Selain itu, jika perppu tidak diterima oleh DPR maka tidak
otomatis materi yang dicabut oleh perppu itu lang sung hidup lagi. Menurut
hukum perundang-undangan, jika sebuah perppu tidak diterima oleh DPR maka harus
dibuat UU untuk mencabutnya lagi. Di dalam proses pembuatan UU lagi itu,
Presiden bisa ikut menentukan isinya.
Untuk kasus UU MD3 yang sekarang ini alasan dikeluarkannya perppu
sudah cukup, bahwa, presiden melihat ada kegentingan karena adanya ancaman
terhadap perkembangan demokrasi dan karena timbulnya keresahan di tengah-tengah
masyarakat.
Perdebatan untuk pendalaman atas alasan subjektif presiden itu
nantinya bisa dilakukan pada masa sidang DPR berikutnya ketika dilakukan
pembahasan oleh pemerintah bersama DPR untuk menentukan diterima atau tidaknya
perppu tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945.
Komunikasi politik Presiden Jokowi dengan DPR selama ini juga
berjalan efektif dan semua perppu yang dikeluarkan Presiden Jokowi selalu
diterima. Misalnya tentang hukum an pengebirian bagi pelaku kekerasan seksual
terhadap anak, tentang tax amnesty, bahkan juga tentang UU Keormasan, meskipun
untuk yang terakhir ini diterima melalui voting karena ada fraksifraksi yang
tidak setuju.
Dalam konfigurasi politik yang sekarang ini, banyak yang yakin DPR
tidak akan menolak jika Jokowi mengeluarkan perppu tentang MD3 tahun 2018,
sebab suara masyarakat hampir bulat menolak UU MD3 yang sudah disahkan itu dan
parpol-parpol lebih banyak yang selalu mendukung Presiden Jokowi.
Meskipun begitu kita tidak bisa menghindari adanya kekhawatiran
tentang terjadinya eksesifitas kekuasaan Presiden jika mengeluarkan Perppu. Ada
yang khawatir jika Presiden sering mengeluarkan Perppu. Kekhawatiran seperti
itu biasa muncul setiap akan ada Perppu dan itu bagus saja sebagai bentuk
kehati-hatian. Semuanya menjadi hak dan wewenang Presiden untuk memilih
alternatif yang diyakininya paling tepat. []
KORAN SINDO, 03 Maret 2018
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN): Ketua MK-RI 2008-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar