Ketahanan Sosial
Oleh: Azyumardi Azra
Salah satu gejala yang mesti diwaspadai pada tahun politik 2018
dan 2019 adalah merapuhnya ketahanan sosial (social resilience). Jika tidak diwaspadai,
kemerosotan ketahanan sosial dapat memengaruhi ketahanan nasional (national resilience)
secara keseluruhan. Sumber ancaman ketahanan sosial bisa bermacam-macam.
Kesenjangan ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran adalah salah satu penyebab
laten merosotnya ketahanan sosial. Karena masalah ini sudah klasik dan
penanganannya telah berkelanjutan—meski belum berhasil sepenuhnya— bahayanya
belum sampai pada tingkat darurat.
Peningkatan eskalasi politik yang cenderung divisif dalam Pilkada
2018 dan Pilpres 2019 juga dapat merusak kohesi sosial— tercabiknya tenunan
keutuhan dan kesatuan warga. Upaya pencegahan eskalasi politik ini sudah
dilakukan dengan deklarasi damai di antara para calon yang terlibat dalam
kontestasi pilkada beserta partai politik dan warga pendukung calon. Suasana
kondusif ini seyogianya terus dipertahankan.
Ancaman dan bahaya paling serius belakangan ini terhadap ketahanan
sosial justru terlihat dengan peningkatan signifikan secara cepat penyebaran
ujaran kebencian (hate speech) dan hoaks—kabar bohong, adu domba, fitnah, dan
provokasi—melalui media sosial. Meski aparat Polri telah melakukan berbagai
tindakan, tetap saja penyebaran ujaran kebencian dan hoaks melalui medsos belum
memperlihatkan tanda-tanda surut.
Menurut berbagai data, pada 2017 Polri menangani 3.325 kasus
ujaran kebencian. Angka itu meningkat 44,99 persen dibandingkan dengan 2016
yang berjumlah 1.829 kasus. Kasus ujaran kebencian ini terutama terkait dengan
penghinaan dan pencemaran nama baik figur, tokoh, atau warga tertentu.
Bisa dipastikan, kasus hoaks jauh lebih banyak lagi. Menurut
estimasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pada akhir 2016,
ada sekitar 800.000 situs penyebar hoaks di dunia maya, khususnya medsos.
Jumlah ini bisa dipastikan meningkat tajam pada 2017. Dari jumlah yang begitu
besar, hanya sekitar 6.000 pada 2016 yang telah diblokir Kemkominfo dan lembaga
lain terkait yang bertugas memantau penyebaran hoaks dalam medsos.
Penyebaran hoaks yang masif dan cepat terkait dengan adanya
kelompok yang secara khusus memproduksi hoaks. Di antara mereka yang telah
diungkap Direktorat Tindak Pidana Kejahatan Siber Polri (dibentuk Februari
2017), misalnya, adalah Saracen dan yang terakhir Muslim Cyber Army (MCA).
Bahaya hoaks sudah jelas. Hoaks lazimnya merupakan pemutarbalikan
fakta, penghasutan, dan provokasi terkait terutama isu suku, ras, agama, dan
antargolongan (SARA) dan juga terkait pemimpin serta figur tertentu. Dalam
kasus menghebohkan tentang ”penganiayaan terhadap ulama”, misalnya, menurut
Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, dari 45 berita tentang hal itu, 42
berita merupakan hoaks; hanya 3 berita sesuai fakta.
Cenderung menerima begitu banyak hoaks yang beredar dalam medsos,
wacana di kalangan warga terlihat cukup memanas. Hal ini terutama terkait
pernyataan tentang pelaku penganiayaan yang disebut kalangan Polri sebagai
”orang gila”. Polri berada dalam posisi defensif sehingga Kapolri dan petinggi
Polri lain harus berulang kali menjelaskan faktanya kepada publik.
Mengamati perkembangan seperti itu, bisa diduga gangguan dan
ancaman terhadap ketahanan sosial bakal terus berlanjut. Meskipun Polri
berhasil menangkap pelaku penyebar hoaks dan ujaran kebencian—apakah kelompok
terorganisasi atau individu lone wolf—penyebarannya yang tampaknya sulit
dihentikan terus pula mengancam ketahanan sosial. Oleh karena itu, perlu upaya
serius memperkuat ketahanan sosial.
Ketahanan sosial semestinya tak hanya dipahami sebagai ”ketahanan
nasional” yang bernuansa hankam dan militeristik. Pemahaman seperti ini beredar
sudah lama dalam masyarakat; apalagi istilah ”ketahanan nasional” merupakan
nomenklatur dan prioritas penting dalam masa pemerintahan Orde Baru.
Ketahanan nasional tentu banyak terkait dengan ketahanan sosial.
Semakin tangguh ketahanan sosial, kian kuat pula ketahanan nasional.
Sebaliknya, kian lemah ketahanan nasional, juga terkait banyak dengan semakin
lemahnya ketahanan sosial.
Ketahanan sosial secara sederhana dapat dipahami sebagai kemampuan
individu dan kelompok warga beradaptasi menghadapi berbagai perubahan global
dan cepat dalam bidang politik, ekonomi, agama, sosial-budaya, teknologi dan
informasi yang terjadi di lingkungannya. Kegagalan atau ketidakmampuan
melakukan adaptasi mengakibatkan terganggunya kehidupan serta ketahanan
individu dan sosial.
Ketahanan sosial merupakan konsep baru di kalangan ilmuwan sosial.
Berkembang dalam dasawarsa terakhir, konsep ketahanan sosial semula terkait
kemampuan adaptasi dan penyesuaian diri warga individu dan masyarakat
menghadapi perubahan disruptif dalam ekosistem, ekologis, dan lingkungan hidup
fisik. Perubahan cepat dan disruptif yang terjadi di luar bidang ini membuat
konsep ketahanan sosial kemudian juga mencakup berbagai bidang kehidupan lain.
Dalam kaitan dengan dunia informasi instan yang disruptif dan
divisif terhadap kehidupan dan ketahanan individu dan masyarakat luas yang
beredar di dunia maya atau medsos lewat ujaran kebencian dan hoaks, semua warga
memerlukan pengembangan kemampuan beradaptasi. Ketahanan sosial dalam
menghadapi dunia maya dan medsos dapat diperkuat dengan sikap kritis dan
skeptis; tidak secara instan menelan mentah- mentah dan taklid apa saja yang
beredar sebagai kebenaran.
Dengan demikian, setiap individu dan masyarakat perlu melakukan
transformasi adaptabilitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman
terhadap diri dari komunitasnya. Hanya dengan kemampuan transformasi ini,
ketahanan sosial dapat senantiasa diperkuat di tengah gejolak perubahan
disruptif, khususnya akibat banjir hoaks dan ujaran kebencian. []
KOMPAS, 15 Maret 2018
Azyumardi Azra | Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar