Selasa, 20 Maret 2018

Azyumardi: Ketahanan Sosial


Ketahanan Sosial
Oleh: Azyumardi Azra

Salah satu gejala yang mesti diwaspadai pada tahun politik 2018 dan 2019 adalah merapuhnya ketahanan sosial (social resilience). Jika tidak diwaspadai, kemerosotan ketahanan sosial dapat memengaruhi ketahanan nasional (national resilience) secara keseluruhan. Sumber ancaman ketahanan sosial bisa bermacam-macam. Kesenjangan ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran adalah salah satu penyebab laten merosotnya ketahanan sosial. Karena masalah ini sudah klasik dan penanganannya telah berkelanjutan—meski belum berhasil sepenuhnya— bahayanya belum sampai pada tingkat darurat.

Peningkatan eskalasi politik yang cenderung divisif dalam Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 juga dapat merusak kohesi sosial— tercabiknya tenunan keutuhan dan kesatuan warga. Upaya pencegahan eskalasi politik ini sudah dilakukan dengan deklarasi damai di antara para calon yang terlibat dalam kontestasi pilkada beserta partai politik dan warga pendukung calon. Suasana kondusif ini seyogianya terus dipertahankan.

Ancaman dan bahaya paling serius belakangan ini terhadap ketahanan sosial justru terlihat dengan peningkatan signifikan secara cepat penyebaran ujaran kebencian (hate speech) dan hoaks—kabar bohong, adu domba, fitnah, dan provokasi—melalui media sosial. Meski aparat Polri telah melakukan berbagai tindakan, tetap saja penyebaran ujaran kebencian dan hoaks melalui medsos belum memperlihatkan tanda-tanda surut.

Menurut berbagai data, pada 2017 Polri menangani 3.325 kasus ujaran kebencian. Angka itu meningkat 44,99 persen dibandingkan dengan 2016 yang berjumlah 1.829 kasus. Kasus ujaran kebencian ini terutama terkait dengan penghinaan dan pencemaran nama baik figur, tokoh, atau warga tertentu.

Bisa dipastikan, kasus hoaks jauh lebih banyak lagi. Menurut estimasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pada akhir 2016, ada sekitar 800.000 situs penyebar hoaks di dunia maya, khususnya medsos. Jumlah ini bisa dipastikan meningkat tajam pada 2017. Dari jumlah yang begitu besar, hanya sekitar 6.000 pada 2016 yang telah diblokir Kemkominfo dan lembaga lain terkait yang bertugas memantau penyebaran hoaks dalam medsos.

Penyebaran hoaks yang masif dan cepat terkait dengan adanya kelompok yang secara khusus memproduksi hoaks. Di antara mereka yang telah diungkap Direktorat Tindak Pidana Kejahatan Siber Polri (dibentuk Februari 2017), misalnya, adalah Saracen dan yang terakhir Muslim Cyber Army (MCA).

Bahaya hoaks sudah jelas. Hoaks lazimnya merupakan pemutarbalikan fakta, penghasutan, dan provokasi terkait terutama isu suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) dan juga terkait pemimpin serta figur tertentu. Dalam kasus menghebohkan tentang ”penganiayaan terhadap ulama”, misalnya, menurut Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, dari 45 berita tentang hal itu, 42 berita merupakan hoaks; hanya 3 berita sesuai fakta.

Cenderung menerima begitu banyak hoaks yang beredar dalam medsos, wacana di kalangan warga terlihat cukup memanas. Hal ini terutama terkait pernyataan tentang pelaku penganiayaan yang disebut kalangan Polri sebagai ”orang gila”. Polri berada dalam posisi defensif sehingga Kapolri dan petinggi Polri lain harus berulang kali menjelaskan faktanya kepada publik.

Mengamati perkembangan seperti itu, bisa diduga gangguan dan ancaman terhadap ketahanan sosial bakal terus berlanjut. Meskipun Polri berhasil menangkap pelaku penyebar hoaks dan ujaran kebencian—apakah kelompok terorganisasi atau individu lone wolf—penyebarannya yang tampaknya sulit dihentikan terus pula mengancam ketahanan sosial. Oleh karena itu, perlu upaya serius memperkuat ketahanan sosial.

Ketahanan sosial semestinya tak hanya dipahami sebagai ”ketahanan nasional” yang bernuansa hankam dan militeristik. Pemahaman seperti ini beredar sudah lama dalam masyarakat; apalagi istilah ”ketahanan nasional” merupakan nomenklatur dan prioritas penting dalam masa pemerintahan Orde Baru.

Ketahanan nasional tentu banyak terkait dengan ketahanan sosial. Semakin tangguh ketahanan sosial, kian kuat pula ketahanan nasional. Sebaliknya, kian lemah ketahanan nasional, juga terkait banyak dengan semakin lemahnya ketahanan sosial.

Ketahanan sosial secara sederhana dapat dipahami sebagai kemampuan individu dan kelompok warga beradaptasi menghadapi berbagai perubahan global dan cepat dalam bidang politik, ekonomi, agama, sosial-budaya, teknologi dan informasi yang terjadi di lingkungannya. Kegagalan atau ketidakmampuan melakukan adaptasi mengakibatkan terganggunya kehidupan serta ketahanan individu dan sosial.

Ketahanan sosial merupakan konsep baru di kalangan ilmuwan sosial. Berkembang dalam dasawarsa terakhir, konsep ketahanan sosial semula terkait kemampuan adaptasi dan penyesuaian diri warga individu dan masyarakat menghadapi perubahan disruptif dalam ekosistem, ekologis, dan lingkungan hidup fisik. Perubahan cepat dan disruptif yang terjadi di luar bidang ini membuat konsep ketahanan sosial kemudian juga mencakup berbagai bidang kehidupan lain.

Dalam kaitan dengan dunia informasi instan yang disruptif dan divisif terhadap kehidupan dan ketahanan individu dan masyarakat luas yang beredar di dunia maya atau medsos lewat ujaran kebencian dan hoaks, semua warga memerlukan pengembangan kemampuan beradaptasi. Ketahanan sosial dalam menghadapi dunia maya dan medsos dapat diperkuat dengan sikap kritis dan skeptis; tidak secara instan menelan mentah- mentah dan taklid apa saja yang beredar sebagai kebenaran.

Dengan demikian, setiap individu dan masyarakat perlu melakukan transformasi adaptabilitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman terhadap diri dari komunitasnya. Hanya dengan kemampuan transformasi ini, ketahanan sosial dapat senantiasa diperkuat di tengah gejolak perubahan disruptif, khususnya akibat banjir hoaks dan ujaran kebencian. []

KOMPAS, 15 Maret 2018
Azyumardi Azra | Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar