Membela Kehormatan Nusantara
di Timur Tengah
Judul asli
: As-Shawa’iqul Muhriqah lil Auhamil Kazibah fi Bayani Hillil Baluti war Raddu
‘ala man Haramahu
Penulis
: Syekh Mukhtar Atharid Al-Bughuri
Judul terjemahan
: Kitab Belut Nusantara
Penerjemah
: Amirul Ulum dan Khairul Anwar
Tebal
: xii+98 halaman
Cetakan
: Juli, 2017
Penerbit
: CV. Global Press
ISBN
: 978-602-61890-0-4
Peresensi
: Abdullah Alawi
Orang-orang Nusantara
pada abad 17 hingga19 banyak menimba ilmu di Haramain. Tak sedikit para santri
itu di kemudian hari mencapai keilmuan yang setaraf ulama internasional. Mereka
menjadi khatib, imam, memimpin pengajian dengan murid dari berbagai negara. Tak
hanya itu, keilmuan mereka ditunjukkan dengan menulis banyak karya. Di antara
ulama yang mencapai taraf seperti itu adalah Syekh Mukhtar Atharid
Al-Bughuri.
Meski demikian,
komentar miring kadang sering dilontarkan orang Arab kepada orang Nusantara
dengan perkataan “Ya Jawah-jawah baqar. Ya jawah, ya jawah ya’kul hanasy, hai
orang Jawa, hai orang jawa yang seperti sapi. Hai orang Jawa, hai orang Jawa
yang memakan sejenis ular. (hal.93)
Konon pada masa Syekh
Mukhtar Atharid Al-Bughuri berkiprah di Masjidil Haram, terjadi polemik tentang
hukumnya belut yang sering dikonsumsi orang-orang Nusantara. Pada masa
tersebut, ulama Timur Tengah ada yang mengharamkan memakan belut karena dianggap
sebagai bagian dari jenis ular. Syekh Mukhtar Atharid mengatakan:
“Pada permulaan tahun
1329 H, terjadilah debat di antara orang yang disandarkan kepada ilmu dengan
orang selevelnya dari para ulama Jawa mengenai masalah belut. Di antara mereka
terjadilah korespondensi tanya jawab. Salah satu di antara mereka berdua
berkata mengenai keharaman belut. Dia menyandarkan hal tersebut dengan beberapa
hal samar yang akan saya terangkan serta sanggahannya, tanpa menukil pendapat
ulama madzhab dan kitab-kitab mereka. Sedang pihak lain menyanggah jawaban
tersebut dan berkata mengenai kehalalan belut itu dengan bersandar bahwa belut
termasuk dalam keumuman halalnya hewan laut, di mana yang dikehendaki adalah
air secara mutlak seperti keterangan yang akan datang, dengan menukil dari
kitab-kitab tafsir dan tidak mampunyai hewan itu hidup di daratan.” (hal.
1-2)
Sebagai orang
Nusantara yang pernah memakan dan menyukai belut, Syekh Mukhtar Atharid
Al-Bughuri memberikan penjelasan dalam bentuk karya “As-Shawa’iqul Muhriqah lil
Auhamil Kazibah fi Bayani Hillil Baluti war Raddu ‘ala man Haramahu”. Karya
yang diselesaikan pada 8 Muharram 1329 H itu kini telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh Amirul Ulum dan Khairul Anwar. Pada kitab itu, ia membela
kehormatan orang-orang Nusantara.
Kitab tersebut
disusun ke dalam 10 bagian. Bagian pertama pengantar dari pengarang yang
menjelaskan asal-mula polemik masalah belut tersebut. Bagian kedua membahas
hal-hal yang berkaitan dengan belut yaitu pembagian jenis-jenis hewan. Bagian
ketiga membahas tentang makna lautan yang disandarkan pengarang kepada
ulama-ulama lain.
Pada bagian ini,
pengarang menyebutkan, bahwa firman Allah dalam surat Al-Maidah: 96,
sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Jamal yang mengutip Tafsir Khazin; yang
dimaksud lautan adalah semua air, baik yang tawar maupun asin, sungai, lautan,
ataupun kolam. (hal. 29).
Pada bagian keempat,
pengarang menjuduli babnya dengan “Ancaman Terlalu Mudah Memberi Hukum Halal
atau Haram atas Suatu Perkara Tanpa Dalil Syar’i”.
“Bagi orang yang
tidak memiliki kemampuan berfatwa, tidak diperkenankan berfatwa mengenai
perkara yang tidak dia temukan tertulis dalam kitab. Walaupun dia menemukan
satu perkara yang sama, atau beberapa perkara. Orang yang ahli dalam faqih
adalah orang yang ahli dalam kaidah ushul imamnya, semua bab dari ilmu Fiqih.
Sekiranya dia mampu menganalogikan suatu perkara yang tidak dinash oleh
imamnya. Ini adalah suatu kedudukan yang sangat agung, dan tidak ditemukan pada
saat ini. Karena itu adalah kedudukan para Ashab al-Wujuh, dan mereka telah
terputus sejak masa 400 tahun.” (hal. 33)
Bagian lima,
pengarang menukil penjelasan Imam Ibnu Hajar dalam kitab “Fatawi Kubra” yang
menukil Imam Nawawi dalam kitab “al-Majmu” yang berkaitan dengan cara berpendapat
dalam hukum agama. Bagian keenam membahas pendapat para imam mengenai kehalalan
hewan seperti belut dan belut itu sendiri. Bagian ketujuh membahas bentuk dan
dingkah laku belut. Pada bagian kedelapan, menyebutkan bahwa belut adalah hewan
yang hidup di air.
Pada bagian
kesembilan, barulah pengarang menetapkan hukum belut. Pada bagian ini,
pengarang mencantumkan berbagai pendapat ulama yang mengatakan haramnya belut.
Kemudian pengarang membantahnya dan menjelaskan argumentasinya. Sementara
bagian kesepuluh, pengarang menjelaskan hukum memakan beberapa jenis hewan
seperti remis, keong, tutut.
Pada versi terjemahan
Amirul Ulum, dicantumkan naskah asli “As-Shawa’iqul Muhriqah lil Auhamil
Kazibah fi Bayani Hillil Baluti war Raddu ‘ala man Haramahu”, tapi sayangnya
tidak terlalu jelas. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar