Senin, 26 Maret 2018

(Buku of the Day) Kitab Belut Nusantara


Membela Kehormatan Nusantara di Timur Tengah


Judul asli                      : As-Shawa’iqul Muhriqah lil Auhamil Kazibah fi Bayani Hillil Baluti war Raddu ‘ala man Haramahu
Penulis                         : Syekh Mukhtar Atharid Al-Bughuri
Judul terjemahan           : Kitab Belut Nusantara
Penerjemah                   : Amirul Ulum dan Khairul Anwar
Tebal                            : xii+98 halaman
Cetakan                        : Juli, 2017
Penerbit                        : CV. Global Press
ISBN                             : 978-602-61890-0-4
Peresensi                      : Abdullah Alawi

Orang-orang Nusantara pada abad 17 hingga19 banyak menimba ilmu di Haramain. Tak sedikit para santri itu di kemudian hari mencapai keilmuan yang setaraf ulama internasional. Mereka menjadi khatib, imam, memimpin pengajian dengan murid dari berbagai negara. Tak hanya itu, keilmuan mereka ditunjukkan dengan menulis banyak karya. Di antara ulama yang mencapai taraf seperti itu adalah Syekh Mukhtar Atharid Al-Bughuri. 

Meski demikian, komentar miring kadang sering dilontarkan orang Arab kepada orang Nusantara dengan perkataan “Ya Jawah-jawah baqar. Ya jawah, ya jawah ya’kul hanasy, hai orang Jawa, hai orang jawa yang seperti sapi. Hai orang Jawa, hai orang Jawa yang memakan sejenis ular. (hal.93)

Konon pada masa Syekh Mukhtar Atharid Al-Bughuri berkiprah di Masjidil Haram, terjadi polemik tentang hukumnya belut yang sering dikonsumsi orang-orang Nusantara. Pada masa tersebut, ulama Timur Tengah ada yang mengharamkan memakan belut karena dianggap sebagai bagian dari jenis ular. Syekh Mukhtar Atharid mengatakan:

“Pada permulaan tahun 1329 H, terjadilah debat di antara orang yang disandarkan kepada ilmu dengan orang selevelnya dari para ulama Jawa mengenai masalah belut. Di antara mereka terjadilah korespondensi tanya jawab. Salah satu di antara mereka berdua berkata mengenai keharaman belut. Dia menyandarkan hal tersebut dengan beberapa hal samar yang akan saya terangkan serta sanggahannya, tanpa menukil pendapat ulama madzhab dan kitab-kitab mereka. Sedang pihak lain menyanggah jawaban tersebut dan berkata mengenai kehalalan belut itu dengan bersandar bahwa belut termasuk dalam keumuman halalnya hewan laut, di mana yang dikehendaki adalah air secara mutlak seperti keterangan yang akan datang, dengan menukil dari kitab-kitab tafsir dan tidak mampunyai hewan itu hidup di daratan.” (hal. 1-2) 

Sebagai orang Nusantara yang pernah memakan dan menyukai belut, Syekh Mukhtar Atharid Al-Bughuri memberikan penjelasan dalam bentuk karya “As-Shawa’iqul Muhriqah lil Auhamil Kazibah fi Bayani Hillil Baluti war Raddu ‘ala man Haramahu”. Karya yang diselesaikan pada 8 Muharram 1329 H itu kini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Amirul Ulum dan Khairul Anwar. Pada kitab itu, ia membela kehormatan orang-orang Nusantara. 

Kitab tersebut disusun ke dalam 10 bagian. Bagian pertama pengantar dari pengarang yang menjelaskan asal-mula polemik masalah belut tersebut. Bagian kedua membahas hal-hal yang berkaitan dengan belut yaitu pembagian jenis-jenis hewan. Bagian ketiga membahas tentang makna lautan yang disandarkan pengarang kepada ulama-ulama lain. 

Pada bagian ini, pengarang menyebutkan, bahwa firman Allah dalam surat Al-Maidah: 96, sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Jamal yang mengutip Tafsir Khazin; yang dimaksud lautan adalah semua air, baik yang tawar maupun asin, sungai, lautan, ataupun kolam. (hal. 29). 

Pada bagian keempat, pengarang menjuduli babnya dengan “Ancaman Terlalu Mudah Memberi Hukum Halal atau Haram atas Suatu Perkara Tanpa Dalil Syar’i”.  

“Bagi orang yang tidak memiliki kemampuan berfatwa, tidak diperkenankan berfatwa mengenai perkara yang tidak dia temukan tertulis dalam kitab. Walaupun dia menemukan satu perkara yang sama, atau beberapa perkara. Orang yang ahli dalam faqih adalah orang yang ahli dalam kaidah ushul imamnya, semua bab dari ilmu Fiqih. Sekiranya dia mampu menganalogikan suatu perkara yang tidak dinash oleh imamnya. Ini adalah suatu kedudukan yang sangat agung, dan tidak ditemukan pada saat ini. Karena itu adalah kedudukan para Ashab al-Wujuh, dan mereka telah terputus sejak masa 400 tahun.” (hal. 33)

Bagian lima, pengarang menukil penjelasan Imam Ibnu Hajar dalam kitab “Fatawi Kubra” yang menukil Imam Nawawi dalam kitab “al-Majmu” yang berkaitan dengan cara berpendapat dalam hukum agama. Bagian keenam membahas pendapat para imam mengenai kehalalan hewan seperti belut dan belut itu sendiri. Bagian ketujuh membahas bentuk dan dingkah laku belut. Pada bagian kedelapan, menyebutkan bahwa belut adalah hewan yang hidup di air.  

Pada bagian kesembilan, barulah pengarang menetapkan hukum belut. Pada bagian ini, pengarang mencantumkan berbagai pendapat ulama yang mengatakan haramnya belut. Kemudian pengarang membantahnya dan menjelaskan argumentasinya. Sementara bagian kesepuluh, pengarang menjelaskan hukum memakan beberapa jenis hewan seperti remis, keong, tutut. 

Pada versi terjemahan Amirul Ulum, dicantumkan naskah asli “As-Shawa’iqul Muhriqah lil Auhamil Kazibah fi Bayani Hillil Baluti war Raddu ‘ala man Haramahu”, tapi sayangnya tidak terlalu jelas. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar