Rabu, 14 Maret 2018

(Ngaji of the Day) Hukum Praktik Tawasul dalam Doa, Wirid, dan Zikir



Hukum Praktik Tawasul dalam Doa, Wirid, dan Zikir

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, masyarakat kita sudah lazim mempraktikkan tawasul dalam berdoa. Namun masalah ini tetap menjadi diskusi yang tak kunjung selesai di kalangan pemuka agama. Sebenarnya bagaimana pandangan Islam atas praktik tawasul ini? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Abdul Hadi – Malang

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Pada prinsipnya agama Islam memerintahkan pemeluknya untuk bertawasul atau upaya membangun jembatan penghubung antara mereka dan Allah. Perintah ini secara tersurat terdapat dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 35 berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ

Artinya, “Hai orang yang beriman, takwalah kepada Allah. Carilah wasilah kepada-Nya.”

Dari ayat ini, ulama memutuskan bahwa tawasul adalah sesuatu yang disyariatkan oleh Islam. Ayat ini dengan jelas meminta kita untuk membuat anak tangga yang menghubungkan seseorang dan Allah. Ulama dari pelbagai madzhab sepakat bahwa tawasul yang dimaksud adalah amal saleh sebagai jalan yang menyertai seseorang dalam doanya. Amal saleh dapat mendekatkan seseorang kepada-Nya. Amal saleh ini yang dijadikan tawasul agar hajat-hajat orang tersebut dalam doanya terkabul. Sampai di sini ulama tidak berbeda pendapat.

Perbedaan pendapat para ulama tampak ketika membahas sesuatu yang dijadikan tawasul (al-mutawassal bih). Sebagian ulama membolehkan seseorang untuk bertawasul dengan orang-orang atau benda tertentu. Sedangkan sekelompok ulama lainnya mengharamkannya. Tetapi sebenarnya perbedaan pandangan keduanya bukan perbedaan prinsipil, tapi perbedaan formalitas belaka sebagai penjelasan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki berikut ini:

ومحل الخلاف في مسألة التوسل هو التوسل بغير عمل المتوسِّل كالتوسل بالذوات والأشخاص... وسأبين كيف أن المتوسل بغيره هو في الحقيقة متوسِّل بعمله المنسوب إليه، والذي هو من كسبه. فأقول: اعلم أن من توسل بشخص ما فهو لأنه يحبه إذ يعتقد صلاحه وولايته وفضله تحسينا للظن به، أو لأنه يعتقد أن هذا الشخص محبّ لله سبحانه وتعالى يجاهد في سبيل الله، أو لأنه يعتقد أن الله تعالى يحبه كما قال تعالى يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ، أو لاعتقاد هذه الأمور كلها في الشخص المتوسَّل به... وبهذا ظهر أن الخلاف في الحقيقة شكلي ولا يقتضي هذا التفرق والعداء بالحكم بالكفر على المتوسلين وإخراجهم عن دائرة الإسلام، سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ

Artinya, “Titik perbedaan pendapat ulama dalam masalah tawasul adalah tawasul dengan bentuk lain selain amal yaitu tawasul dengan benda atau orang tertentu… Saya akan menjelaskan bagaimana orang yang bertawasul dengan selain amal itu hakikatnya adalah bertawasul dengan amalnya juga yang dinisbahkan kepadanya di mana itu merupakan bagian dari upayanya. Saya mengatakan begini, pahamilah bahwa seorang Muslim yang bertawasul dengan orang tertentu itu karena Muslim tersebut mencintainya karena ia dengan baik sangka meyakini kesalehan, kewalian, dan keutamaan orang itu, atau karena ia meyakini bahwa orang tersebut mencintai Allah dan berjuang di jalan-Nya, atau karena ia meyakini bahwa Allah mencintai orang tersebut sebagai firman-Nya, ‘Allah mencintai mereka. Mereka pun mencintai-Nya,’ atau karena meyakini semua varian itu hadir di dalam orang yang dijadikan tawasul tersebut… Dari uraian ini jelas bahwa perbedaan itu hakikatnya bersifat formal. Jangan sampai perbedaan formalitas ini membawa perpecahan dan pertikaian dengan memvonis kekufuran bagi umat Islam yang mengamalkan tawasul atau bahkan mengusir mereka dari lingkungan Islam sebagai firman-Nya, ‘Mahasuci Engkau, ini merupakan bohong besar,’” (Lihat Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Hasani Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, halaman 124-125).

Dari sini terang di mana titik kesepakatan dan perbedaan padangan ulama terkait tawasul. Semua ulama sepakat bahwa tawasul dengan amal saleh boleh menurut syariat. Tetapi mereka berbeda pendapat perihal tawasul dengan benda atau orang-orang tertentu yang dianggap saleh.

Berikut ini dua lafal tawasul yang biasa digunakan masyarakat:

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Allâhumma innî atawassalu ilaika binabiyyika muhammadin shallallâhu alaihi wa sallam.

Artinya, “Ya Allah, aku bertawasul kepada-Mu melalui kemuliaan nabi-Mu, Nabi Muhammad SAW.”

يَا رَبِّ بِالمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا وَاغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ الكَرَمِ

Yâ rabbi bil mushthafâ, balligh maqâshidanâ, waghfir lanâ mâ madhâ, yâ wâsi‘al karami.

Artinya, “Tuhanku, berkat kemuliaan kekasih pilihan-Mu Rasulullah, sampaikanlah hajat kami. Ampunilah dosa kami yang telah lalu, wahai Tuhan Maha Pemurah.”

Tetapi pada pandangan kami, masalah seriusnya bukan pada perbedaan pandangan ulama atau diskusi perihal tawasul yang tak kunjung selesai. Inti masalahnya terletak pada cara pandang kita terhadap wasilah itu sendiri. Bagaimana kita memandang wasilah tanpa mencederai tauhid? Ini yang disinggung oleh Abdurrahman Ba‘alawi dalam Bughyatul Mustarsyidin berikut ini:

التوسل بالأنبياء والأولياء في حياتهم وبعد وفاتهم مباح شرعاً ، كما وردت به السنة الصحيحة... نعم ينبغي تنبيه العوام على ألفاظ تصدر منهم تدل على القدح في توحيدهم، فيجب إرشادهم وإعلامهم بأن لا نافع ولا ضارّ إلا الله تعالى، لا يملك غيره لنفسه ضرّاً ولا نفعاً إلا بإرادة الله تعالى، قال تعالى لنبيه عليه الصلاة والسلام: قل إني لا أملك لكم ضرّاً ولا رشداً اهـ.

Artinya, “Tawasul kepada para nabi dan para wali ketika mereka hidup atau setelah mereka wafat adalah mubah menurut syar‘i sebagai tersebut dalam hadits shahih... Tetapi masyarakat awam perlu diingatkan terkait dengan kalimat-kalimat yang dapat mencederai tauhid mereka. Bimbingan dan pemberitahuan untuk mereka wajib dilakukan bahwa tiada yang dapat mendatangkan manfaat dan mudharat selain Allah. Tiada yang berkuasa untuk mendatangkan manfaat dan mudharat kecuali dengan kehendak-Nya. Dalam Surat Jin ayat 21, Allah berfirman kepada Nabi Muhammad SAW, ‘Katakanlah, aku tak kuasa mendatangkan mudharat dan petunjuk kepada kalian,’” (Lihat Abdurrahman Ba‘alawi, Bughyatul Mustarsyidin, Beirut, Darul Fikr, halaman 639).

Sayyid Abdurrahman Ba‘alawi menganggap penting pengajian akidah agar kita tidak salah memahami dan salah memosisikan wasilah atau al-mutawassal bih. Hal ini perlu diperhatikan agar tidak terjadi gagal paham hingga mengufurkan orang yang bertawasul dan untuk menjaga akidah masyarakat awam dari bahaya kemusyrikan.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar