Waktu-waktu yang Makruh
untuk Shalat
Shalat merupakan ibadah paling utama dalam
Islam karena ia adalah seumpama tiang agama. Sejak disyariatkan bagi umat Nabi
Muhammad pada peristiwa Isra dan Mi’raj, shalat merupakan ibadah favorit
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan bahwa selain melaksanakan
shalat fardhu sebanyak lima kali dalam sehari semalam pada waktu-waktu yang
telah ditentukan, Rasulullah juga rutin melaksanakan shalat sunnah di luar
waktu-waktu tersebut. Di antara shalat sunnah yang menjadi rutinitas Nabi ialah
shalat dluha di pagi hari dan tahajjud di tengah malam.
Namun demikian, ternyata ada beberapa waktu
yang makruh untuk melaksanakan shalat. Syekh Muhammad bin Qasim dalam Fathul
Qarib (Surabaya: Kharisma, tt), hal. 12, menjelaskannya sebagai berikut:
{فصل} في الأوقات التي تكره الصلاة ... (وخمسة أوقات لا يصلى فيها
إلا صلاة لها سبب) إما متقدمٌ كالفائتة، أو مقارنٌ كصلاة الكسوف والاستسقاء … (بعد
صلاة الصبححتى تطلع الشمس. وعند طلوعهاحتى تتكامل وترتفعَ قدر رمحوإذا استوت حتى
تزول) ... ويستثنى من ذلك يوم الجمعة؛ …، وكذا حرمُ مكةَ، المسجد وغيره؛ …، سواء صلى سنة
الطواف أو غيرها. (وبعد صلاة العصر حتى تغرب الشمسوعند الغروبحتى يتكامل غروبها).
“(Pasal) tentang waktu-waktu yang makruh
untuk shalat…(ada lima waktu yang makruh untuk shalat tanpa sebab) adakalanya
sebab tersebut mendahului seperti shalat qadla, adakalanya yang berbarengan
seperti shalat gerhana atau istisqa. (Sesudah shalat shubuh hingga keluar
matahari, ketika terbit matahari hingga naik sepenggalah, ketika waktu istiwa
sampai tergelincir) kecuali di hari jumat, demikian juga ketika dilaksanakan di
tanah haram Makkah, baik di masjid atau luarnya, … baik shalat sunnah tawaf
atau lainnya. (Sesudah shalat ashar sampai terbenam matahari dan saat terbenam
sampai sempurna terbenamnya).”
Dari keterangan di atas, kesimpulannya bahwa
shalat yang makruh dilakukan di waktu tertentu tersebut hanyalah shalat sunnah
mutlak, adapun shalat lainnya yang memiliki sebab seperti shalat qadla, shalat
gerhana, dan shalat istisqa’, maka tidak makruh.
Kelima waktu tersebut ialah:
1. Sesudah shalat subuh hingga terbit
matahari
2. Saat terbit matahari hingga matahari naik
sepenggalah
3. Saat waktu istiwa, yakni waktu ketika
matahari tepat di atas kepala kita, ditandai dengan tidak adanya bayangan
benda. Kecuali di hari Jumat.
4. Sesudah shalat ashar sampai matahari
terbenam
5. Saat matahari sedang terbenam hingga
sempurna tenggelamnya.
Beberapa keterangan menyebutkan bahwa
makruhnya mengerjakan shalat di waktu-waktu tersebut ialah karena yang demikian
merupakan tingkah polah orang munafik dan karena pada saat-saat tersebut
merupakan saat di mana setan sedang mengeluarkan sepasang tanduknya. Ini
sebagaimana keterangan hadits dalam Shahih Muslim No. 662 dari riwayat sahabat
Anas bin Malik:
تِلْكَ
صَلاَةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ
قَرْنَىِ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهَا
إِلاَّ قَلِيلاً
“Ini adalah shalat orang munafik. Ia duduk
hingga matahari berada antara dua tanduk setan. Lalu ia mengerjakan shalat
‘Ashar empat raka’at dengan cepatnya. Ia hanyalah mengingat Allah dalam waktu
yang sedikit.”
Perlu diingat bahwa semua kemakruhan ini
tidak berlaku jika kita melaksanakan shalat di kota Makkah. Di Makkah, kita
bisa shalat sunnah mutlak kapan pun kita mau meski itu di dalam Masjidil Haram
ataupun di luarnya. Wallahu a’lam bish-shawab. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar