Kaus Kaki
Bolong
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Ada kisah
inspiratif yang akan saya kemukakan kembali dirubrik ini yang berjudul: Kaus
Kaki Bolong.
Hiduplah
sebuah keluarga kaya dan bahagia di sebuah kota kecil. Sang ayah yang telah
sukses membangun ekonomi keluarga, kesehatannya mulai menurun diusianya
berjalan mendekati senja.
Di
samping bangga melihat keturunannya berhasil membangun ekonomi mengikuti
jejaknya, di benak sang ayah muncul ke khawatiran kala memperhatikan
anak-anaknya justru menunjukkan tanda-tanda persaingan antar mereka dalam
memupuk kekayaan.
Sang ayah
juga melihat anak-anaknya kurang sekali memperhatikan nasib tetangga yang
kurang beruntung. Mengingat ajal bisa datang sewaktu-waktu agar tidak menyesal
di hadapan pengadilan Tuhan dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai seorang
pemimpin keluarga, maka sejak itu sang ayah selalu memanfaatkan forum keluarga
untuk berbagi pengalaman hidup dan tausiyah.
Misalnya,
ketika acara makan bersama, sang ayah mengingatkan, semua makanan yang
terhidang ini bukanlah hasil tanaman kita. Bukan hasil jerih payah keringat kita.
Jangan merasa punya uang, lalu kita bisa makan seenaknya, sombong dengan
kekayaan yang dimiliki, karena yang kita makan bukanlah uang.
Makanan
bisa tersaji lantaran berkat sentuhan dan kerja keras petani yang mungkin
mereka itu tetangga kita. Tanpa tangan mereka, kita akan kelaparan. Bahkan,
tanpa bantuan pekerja dapur, makanan ini tak akan terhidang di atas meja ini.
Karena itu, kata ayah, jangan sekali-sekali meremehkan para petani yang
hidupnya tidak sekaya keluarga kita.
Mereka
telah menyubsidi kita, bukan sebaliknya. Kita selalu berteriak protes setiap
harga panen naik tidak seberapa sehingga nasib petani semakin merasa tercekik
dan miskin hidupnya. Selanjutnya sang ayah juga meminta anak-anaknya jangan
suka mencemooh makanan yang sudah terhidang. Apa pun makanan yang terhidang,
itulah jatah rezeki kita ha ri itu.
Syukuri
apa pun yang ada, sekali-sekali jangan kita cela dan cemooh. Banyak pihak
tersinggung jika kita mencela rezeki yang sudah terhidang. Mungkin sekali
pembantu juru masak di dapur akan sedih ketika mendengar hasil masakannya
dicela. Bahkan, juga makanan itu akan menangis, tetapi kita tidak paham
bahasanya.
Selain
itu, juga orang tuamu yang telah berusaha mencari rezeki dan ingin memberikan
yang terbaik akan sedih hatinya melihat anak-anaknya tidak bisa mensyukuri
rezeki yang datang menemuimu hari itu. Jika tidak senang, kata ayah tadi, cukup
di hati dan lain kali pilih menu yang disukai.
Saya
sendiri merasa kisah itu terasa ringan dan mudah diceritakan kembali, tapi
mengandung pesan mendalam dan bisa jadi banyak di antara kita yang jarang
mengamalkannya. Pesan sang ayah yang membuat anak-anaknya sulit memahami adalah
ketika dia berpesan, ”Nanti kalau saya mati, harap dikubur dengan mengenakan
kaus kaki usang dan bolong yang sudah dia siapkan.”
Dia
tekankan, jangan sampai lupa tentang kaus kaki bolong itu. Ternyata firasat
kematian tersebut jadi kenyataan, tak lama setelah itu ajal menjemputnya. Dalam
suasana duka, anak-anaknya mengurus jenazah sampai dengan memandikan dan mengafani.
Ketika
tiba saat jenazah hendak dibawa kekuburan, salah satu anaknya memberitahu pada
ustaz yang memimpin upacara pelepasan tentang pesan kaus kaki bolong yang
dikenakan almarhum, maka terjadi diskusi antara ustaz dan anak-anaknya. Kata
ustaz, tak boleh mengenakan pakaian apa pun pada jenazah kecuali sehelai kain
kafan. Terlebih lagi perhiasan.
Silang
pendapat antara ustaz dan anak-anaknya sulit dipertemukan. Anak merasa terikat
dengan pesan almarhum, ustaz berpegang pada pemahaman agamanya. Tiba-tiba
ibunya ingat sebuah surat wasiat almarhum yang disertai pesan agar dibuka
ketika ajalnya tiba. Lalu, dia mengambil dan membacanya di depan anak-anak dan
ustaz.
Bunyinya,
Anak-anakku, mungkin sekali kamu heran mengapa saya berpesan agar kamu mengenakan
kaus kaki bolong yang sudah usang itu pada kakiku yang membujur kaku. Menurut
ajaran agama tentu saja tidak diperbolehkan. Tetapi sesungguhnya saya akan
meninggalkan nasihat dan pesan pada kalian semua.
Bahwa
ketika ajal tiba, seseorang tak akan memeluk dan membawa harta kekayaan yang
dikejar-kejarnya seumur hidup. Sekadar mengenakan kaus kaki usang dan bolong
saja tidak diperbolehkan. Begitu ajal tiba, seseorang langsung di sebut jenazah
dan mesti buru-buru dikubur ke dalam tanah karena bangkai tubuh itu cepat
membusuk.
Ketika
itu harta yang kamu kejar-kejar tetap saja tak bergerak menunjukkan kesedihan
di hari perpisahan itu, karena harta memang tidak punya hati. Lalu keluarga,
tetangga, dan teman terdekat juga hanya mengantar dan menyaksikanmu ditelan
bumi. Ingat, tak ada yang menemani dalam perjalanan panjang setelah kematianmu
kecuali iman dan rekaman amal saleh. []
KORAN
SINDO, 02 Maret 2018
Komaruddin
Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar