Rabu, 21 Maret 2018

Kang Komar: A Fallen Creature

A Fallen Creature
Oleh: Komaruddin Hidayat

MEMINJAM istilah Heidegger, manusia adalah makhluk yang terjatuh ke bumi, tidak tahu dari mana asalnya, dan sangat sadar kematian yang akan mengakhirinya. Jauh sebelum itu Alquran menyebutkan ungkapan serupa: manusia terusir dari surga, lalu jatuh ke bumi karena teperdaya oleh syaitan dan selanjutnya di muka bumi mereka saling bermusuhan satu dengan yang lain (QS, 2: 38).

Kondisi primer manusia tak ubahnya sosok pengembara yang bingung, yang menemukan dirinya tersesat di belantara semesta, tetapi lama-lama semesta ini menimbulkan rasa kagum dan takut. Dunia ini menakutkan dan memesona sekaligus.

Dunia ini nyata, tetapi penuh misteri. Dunia ini penuh tragedi, tapi manusia enggan berpisah. Bermunculan fakultas kedokteran, rumah sakit, dan pabrik farmasi serta sekian banyak layanan kesehatan yang disiapkan untuk mengusir penyakit yang mendekatkan pada kematian agar manusia selalu merasa fit bisa menikmati pengembaraannya di muka bumi.

Awal kehidupan ini dimulai dengan derita, diakhiri dengan kekalahan. Begitu bayi terlahir dari rahim sang ibu, jerit tangis menandatanganinya. Kaget dan sakit dalam pelukan dunia baru. Selanjutnya bayi tumbuh dalam asuhan budaya dan tradisi di sekitarnya.

Ibarat sebuah komputer baru, lingkungannya memasukkan software dan program ke dalamnya yang akan bekerja dan berpengaruh dalam menapaki hidupnya sampai tua. Yang menonjol adalah software selera makanan, bahasa, dan agama kesemuanya sangat efektif mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku seseorang yang tertanam sejak kecil.

Jika seseorang mencoba berbeda dari lingkungannya, terlebih melawan, muncul perasaan tidak nyaman, dianggap melawan tradisi yang telah membesarkannya, diberi label sebagai si Malin Kundang, anak yang durhaka, khususnya jika seseorang keluar dari tradisi agama keluarga dan komunitasnya.

Ketika seseorang tumbuh dewasa dan berpeluang melakukan ziarah budaya ke komunitas-komunitas lain yang lebih beragam, dia akan terbelalak dan tersadar bahwa sesungguhnya langit kehidupan ini sangat luas, tak bertepi. Ke mana pun kaki melangkah, baik fisikal maupun intelektual, tak pernah sampai di garis batas. Yang ada adalah perbatasan, sebuah kaki langit yang setiap didekati tetap saja ikut bergerak melangkah ke depan, mendahului langkah dan pandangan kita.

Letih dalam bereksplorasi dan meraba-raba dalam lorong labirin kehidupan yang serba-tidak pasti, rumah tradisi itu memberikan rasa nyaman. Bagaikan halte atau rumah singgah untuk menemukan ketenteraman hati bersama warga komunitasnya. Salah satu rumah tradisi yang kokoh untuk berteduh adalah rumah bahasa dan agama.

Dengan bahasa dan di dalam bahasa, seseorang merasa memiliki rumah sosial. Mereka diikat dan mengikatkan diri dengan bahasa sehingga berkembang dari suasana keakuan yang sepi sendiri menjadi kekamian dan kekitaan. Bahasa juga merupakan gudang makna dan pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Adapun agama memberikan rumah yang memberikan kepastian dan keyakinan serta pengetahuan sangkan paraning dumadi, asal usul dan tujuan hidup sehingga perasaan keterlemparan dan keterjatuhan di alam semesta ini bermetamorfosis menjadi sebuah ziarah agung mengikuti desain Tuhan.

Tuhan tidak main-main dan tidak iseng menciptakan manusia. Dalam diri manusia terdapat lokus tajally atau penampakan sifat-sifat Tuhan. Manusia sebagai bayang-bayang Tuhan.

Dalam diri manusia terdapat lahut dan nasut. Bertemu sifat dan kualitas keilahian untuk membimbing sifat kemanusiaannya. Oleh karenanya kita dianjurkan untuk menghargai manusia, apa pun agama dan etniknya, karena setiap manusia memiliki sifat keilahian dan kebajikan universal. []

KORAN SINDO, 16 Maret 2018
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar