Tema-Tema Pokok Alquran (I)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
“Resonansi” ini adalah revisi dan pengayaan dari materi yang saya
sampaikan di Forum Kajian Eksekutif di Jakarta pada 21 Februari 2018, sebuah
forum warisan alm Prof Dr Nurcholish Madjid dan kemudian diikuti diskusi dengan
tema serupa oleh Penerbit Mizan di kampus UIN Sunan Kalijaga pada 28 Februari
2018.
Tema-Tema Pokok al-Qur’an karya Fazlur Rahman (1919-1988) ini
terbit pertama kali tahun 1980 (lih Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an.
Minneapolis-Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980). Sejauh bacaan saya,
pendekatan terhadap Alquran jenis ini belum pernah ada dalam khazanah literatur
Islam di mana pun dan di zaman apa pun.
Umumnya Alquran diterjemahkan dan ditafsirkan ayat demi ayat, dan
bila perlu diberi ulasan panjang atau singkat agar pembaca lebih memahami
ayat-ayat yang ditafsirkan itu.
Keunikan karya ini terletak pada kemampuan penulisnya untuk
memetakan pesan-pesan Alquran itu secara sintetik berdasarkan tema-tema utama
tentang: Tuhan, Manusia sebagai Individu, Manusia dalam Masyarakat, Alam,
Kenabian dan Wahyu, Eskatologi, Setan dan Kejahatan, dan Bangkitnya Komunitas
Muslim sebagaimana yang akan dibicarakan secara singkat berikut ini berdasarkan
karya aslinya di atas dalam bahasa Inggris.
Harapan saya agar para pembaca punya minat untuk setidak-tidaknya
mengikuti terjemahan oleh Ervan Nurtawab dan Ahmad Baiquni dari Penerbit Mizan
tahun 2018 dari edisi terbitan The University of Chicago Press 2009 dengan
judul di atas.
Dijelaskan bahwa karya ini merupakan jawaban mendesak sebagai
sebuah pengantar tentang tema-tema utama Alquran yang tidak dijumpai dalam
karya-karya yang ditulis sekian jauh oleh para sarjana Muslim dan sarjana
non-Muslim. Tujuannya agar orang dapat mengenal tema-tema di atas dengan
membiarkan Kitab Suci berbicara sendiri tentang dirinya (hlm vi).
Tentu saja pemahaman penulisnya tentang Alquran tidak lepas dari
pengaruh latar belakang pendidikan dan pengalaman dan pengembaraan spiritual
dan intelektualnya yang panjang, baik di Pakistan, di Universitas Cambridge,
Inggris, dan kemudian melalui interaksinya yang luas dan intens dengan
peradaban Barat modern.
Karya yang kita bicarakan ini ditulis saat F Rahman bertugas
sebagai guru besar pada Universitas Chicago sejak 1969 sampai wafat pada 1988.
Di kampus inilah F Rahman berhasil mengembangkan pemikiran keislamannya secara
bebas dan berani, sesuatu yang tidak didapatinya di Pakistan.
Dikatakan oleh penulisnya bahwa melalui hanya pemaparan sintetik
ini sajalah sebagai satu-satunya cara yang dapat memberikan kepada pembaca
cita-rasa sejati terhadap Alquran sebagai perintah Tuhan untuk manusia (hlm
vii). Karya-karya sarjana Barat, sekalipun berguna untuk diikuti, pendekatan
yang mereka gunakan tidak memungkinkan pembaca memahami dan menghayati Alquran
secara benar, jujur, dalam, dan komprehensif.
Sama halnya, tafsir-tafsir Alquran oleh kalangan sarjana Muslim
lainnya akan berbeda sama sekali pendekatannya dibandingkan dengan karya F
Rahman ini. Sayang, usia F Rahman tidak cukup panjang untuk menulis sebuah karya
yang lebih luas tentang pandangan dunia Alquran, sesuatu yang sebenarnya juga
mendesak untuk menembus jalan buntu yang tengah dihadapi peradaban Muslim
kontemporer.
Selanjutnya, berikut ini tema-tema utama Alquran itu kita coba
membicarakannya, sekalipun pasti tidak akan mencakup substansinya secara utuh.
1. Tuhan.
Alquran adalah sebuah dokumen yang benar-benar ditujukan untuk
manusia, atau sebagai “petunjuk bagi manusia” (Q 2: 185). Dengan demikian,
petunjuk itu sepenuhnya bersifat fungsional, punya nilai praktikal, baik untuk
kehidupan perorangan maupun untuk kehidupan kolektif.
Alquran bukanlah sebuah risalah tentang Tuhan dan sifat-Nya. Dia
Pencipta, Pemelihara alam semesta dan manusia, dan khususnya Pemberi petunjuk
kepada manusia dan pada saatnya mengadilinya, baik perorangan maupun kolektif,
dengan keadilan yang penuh kasih sayang. Dia Tunggal, tidak berbagi dengan yang
lain. “Dia adalah dimensi yang membuat dimensi-dimensi yang lain menjadi
mungkin” (hlm 4).
Mengapa harus Tuhan? Mengapa alam semesta, isi, dan prosesnya
tidak berjalan dengan sendirinya tanpa menyambungkannya dengan wujud yang lebih
tinggi-sesuatu yang hanya memperumit realitas dan meletakkan beban yang tidak perlu
atas intelek dan jiwa manusia?
Alquran menyebut ini sebagai “keyakinan dan kesadaran tentang yang
gaib.” Tetapi, yang gaib ini sampai kadar tertentu bagi orang-orang khusus
seperti nabi menjadi “nyata” melalui wahyu, sekalipun hakikat wahyu ini tidak
bisa diketahui sepenuhnya oleh siapa pun, kecuali oleh Tuhan.
Kehadiran Tuhan dapat dirasakan oleh mereka yang melakukan
perenungan, yaitu “orang yang takut kepada Yang Maha Pengasih dalam keadaan
gaib dan menghadap dengan hati yang bertobat.”(QS 50: 33). Kasih sayang Tuhan
tidak saja ditunjukkan dalam pengampunan-Nya terhadap dosa manusia, tetapi juga
melalui apa yang dikurniakan-Nya kepada kita dalam bentuk bumi dan seisinya.
Maka seluruh rantai—penciptaan—pemeliharaan—petunjuk—pengadilan,
yang semuanya sebagai perwujudan kasih sayang Tuhan—menjadi sangat masuk akal
sehingga Alquran menyatakan keheranannya mengapa masalah ini dipersoalkan. Dua
masalah yang sering dipertanyakan adalah yang awal dan yang akhir: peran Tuhan
sebagai Pencipta dan peran-Nya sebagai Hakim (hlm 9).
Manurut Alquran, hanya tersedia satu jalan lurus menuju Tuhan,
sedangkan yang lain itu bengkok (QS 16:9). Kepada jalan lurus inilah umat
manusia diarahkan oleh Alquran. []
REPUBLIKA, 13 Maret 2018
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar