Naik Haji ‘Bersama’
Kekasih Allah
Judul
: Pesona Ibadah Nabi: Shalat, Zakat, Puasa, Haji
Penulis
: Ahmad
Rofi’ Usmani
Penerbit
: Mizan Pustaka
ISBN
: 978-602-1337-35-6
Tebal
: 346 Halaman
Peresensi
: Saiful Fawait, Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika),
Sumenep.
Ibadah haji menempati
urutan terakhir dari beberapa rentetan rukun Islam, haji sedikit berbeda dengan
rukun-rukun Islam yang lain. Ibadah haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup,
dan itupun berlaku kepada orang yang mampu saja, baik secara fisik maupun materi.
Keadaan atau keputusan Islam ini memacu semangat juang sebagian kaum muslim
yang berada pada taraf ekonomi menengah ke bawah, mereka berusaha sekuat tenaga
dan sabar dalam mengumpulkan dana untuk menjadi tamu Allah.
Pada tahun 2017 ini,
ada beberapa kisah calon jamaah haji yang taraf ekonominya bisa dibilang cukup
rendah, akan tetapi mereka berhasil mendaftar haji dengan menabung selama
puluhan tahun. Di Klaten Jawa Tengah misalnya, Ngadiman Yitno Samito, seorang
tukang becak ini berhasil melaksanakan rukun Islam yang terakhir setelah
menabung selama 20 tahun dari hasil mengayuh becak. Lebih lama menabung dari
Ngadiman, ada Mansyur yang berprofesi sebagai tukang jahit, pria yang berasal
dari Banjarnegara Jawa Tengah itu bisa melaksanakan ibadah setelah menabung
selama 27 tahun. Selain untuk membiayai keluarga, hasil kerja keras dari usaha
kecil-kecilan mereka sisihkan untuk menabung. Sungguh proses dan usaha yang
begitu lama mereka lakukan hanya untuk memenuhi rukun Islam yang kelima.
Perjuangan dan kerja
keras untuk mengunjungi Rumah Allah tidak hanya terjadi pada sebagian warga
Indonesia saat ini, akan tetapi Nabi Muhammad dan para sahabatnya dulu juga
mengalami hal serupa. Pada tahun 6 H/628 M Rasulullah bersama sekitar 1.400
kaum Muslim yang berangkat dari Madinah berniat untuk mengunjungi Makkah,
setibanya di Hudaibiyah kedatangan mereka ditolak oleh kaum musyrik Quraisy
yang menguasai kawasan Makkah waktu itu. Terjadilah perundingan di antara kedua
belah pihak, dan disepakati beberapa perjanjian Hudaibiyah, salah satunya
Rasulullah beserta rombongannya baru bisa mengunjungi Kota Makkah selama tiga
hari pada tahun berikutnya (hal. 255).
Perjalanan panjang
yang sangat melelahkan harus ditambah dengan kekecewaan yang mendalam, Umar ibn
Al-Khattab termasuk sahabat yang merasa tidak puas dengan isi perjanjian
Hudaibiyah, karena kaum Muslim seperti direndahkan, padahal kaum Muslim berada
pada kebenaran sedang orang-orang musyrik berjalan di atas kebatilan. Umar ibn
Al-Khattab pun mengajukan beberapa keberatannya kepada Rasulullah dan Abu
Bakar, akan tetapi Rasulullah tetap berpegang pada isi perjanjian Hudaibiyah,
sehingga pada tahun itu beliau bersama rombongannya harus kembali ke Madinah.
Hal ini nampaknya
memberikan isyarat kepada kaum Muslim, bahwa terkadang memang tak mudah untuk
menapakkan kaki di Tanah Suci Makkah, butuh perjuangan dan tekad yang bulat,
apalagi bagi mereka yang memiliki taraf ekonomi rendah. Kisah Ngadiman Yitno
Samito dan Mansyur di atas mungkin sedikit bisa memberikan motivasi bagi mereka
yang taraf ekonominya rendah tetapi memiliki keinginan yang luar biasa untuk
menjadi tamu Allah.
Dalam sejarah
disebutkan bahwa Rasulullah pertama kali melaknasanakan ibadah haji pada tahun
10 H. pada akhir-akhir bulan Dzulqa’dah Rasulullah mulai berkemas-kemas untuk
berangkat, menyiapkan bekal perjalanan, memakai wangi-wangian, dan mengenakan
mantel. Sebelum niat berihram, beliau terlebih dahulu mandi, kemudian ‘Aisyah
binti Abu Bakar Al-Siddiq memercikkan wewangian ke tubuh dan kepala beliau, hingga
tetesan wewangian itu terlihat meleleh di anak-anak rambut dan jenggot, dan
beliau tidak membasuh tetesan wewangian itu. Pada tanggal 4 Dzulhijjah 10 H,
setelah memasuki Masjid Al-Haram beliau langsung melaksanakan tawaf
mengelilingi Ka’bah, lalu dilanjutkan dengan melaksanakan sa’i antara Shafa dan
Marwah tanpa bertahallul, karena beiau berniat melaksanakan Haji Qiran (hal.
268).
Selain menjelaskan
tentang bagaimana kisah Rasulullah bersama para sahabat menunaikan ibadah haji
yang dikemas dalam 20 bab, penulis juga mengutip pesan Ali Syariati dalam
karyanya, Haji. Menurut Ali Syariati, yang terpenting dari ibadah haji adalah
kesungguhan untuk menangkap pesan sejarah dari tokoh-tokoh yang diperankan,
dengan tokoh utamanya: Nabi Ibrahim. Perjalanan hidup beliau senantiasa
dicurahkan hanya kepada Allah, meski begitu beliau tetap harus menerima
beberapa cobaan dan ujian dari Allah, dengan diperintahkannya menyembelih putra
kesayangannya (hal. 251).
Dengan kata lain,
Muslim sejati dan apalagi sudah berpredikat sebagai “pak haji” harus selalu
tabah dan memasrahkan semuanya kepada Allah ketika ia ditimpa suatu musibah,
bisa saja saat itu Allah menguji kesabarannya. Muslim sejati tidak bisa
berlomba-lomba dengan ketetapan dan ketentuan Allah.
Ibadah haji juga
sebagai simbol kesederajatan sesama manusia, karena pada waktu pelaksanaannya
semua jamaah haji sama-sama berdiri di hadapan Khalik-Nya dalam pakaian yang
sama, tanpa perbedaan satu dengan yang lain. Sikap ini selayaknya harus tetap
dipelihara sampai kembali pada kampung halamannya, sehingga “pak haji” tidak
merasa “tinggi” sendiri dan tidak serta merta merendahkan dan apalagi menghina
orang-orang di sekitarnya. Para kerabat, sanak family, dan tetangga sebenarnya
mengharap “pak haji” atau orang yang pulang dari Tanah Suci sebagai sosok Nabi
Ibrahim di kampung halaman mereka. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar