Rabu, 14 Maret 2018

Gus Dur: Islam: Idiologis Ataukah Kultural?



Islam: Idiologis Ataukah Kultural?
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Beberapa partai masih mencantumkan Islam sebagai asas/dasar negara, begitu juga beberapa perkumpulan lain non-politis. Ketika hal itu ditanyakan pada penulis, maka jawabannya adalah biar saja, karena itu adalah kehendak mereka. Dengan rasa heran, yang bertanya mengemukakan: aneh sekali, anda dari dahulu selalu menentang negara Islam, mengapakah partai politik yang berasaskan Islam tidak anda tolak? Bukankah ini berarti anda menerima pandangan mereka? Bukankah kedua hal itu saling bertentangan, tapi anda terima?

Jawabannya justru karena penulis menolak negara Islam. Jadi jelas, penulis menolak negara Islam di Indonesia, tidak di tempat lain yang penduduknya homogen (berpandangan tunggal). Karena bangsa kita beraneka ragam dalam pandangan hidup, dengan sendirinya negara tidak dapat hanya melayani mereka yang berpandangan negara Islam saja. Orang muslim pun, seperti penulis yang tidak menerima negara Islam di Indonesia, harus dihargai pendapat dan sikap hidup mereka. Apalagi yang tidak beragama Islam, yang jumlahnya melebihi 10 % bangsa ini. Adalah tindakan gegabah untuk menganggap konsep negara Islam diterima kaum muslimin di negeri ini, hanya karena mereka merupakan mayoritas penduduk.

Itulah yang membuat mengapa penulis menolak gagasan negara Islam di sini, karena penulis tidak ingin menyangkal kebenaran yang dibawakan oleh statistik. Lain halnya dengan bangsa Pakistan, yang ingin mendirikan negara sendiri karena persamaan agama, dan untuk itu mereka berani berpindah tempat ke kawasan tersebut dari daerah asal dan di Pakistan membentuk kelompok kaum pendatang (muhajirin). Dapat dimengerti mengapa mereka menginginkan Republik Islam Pakistan pada waktu ini, walaupun tidak sejalan dengan pikiran penulis sendiri.

*****

Kembali pada masalah asas Islam bagi partai politik maupun perkumpulan lain. Karena yang beratribut Islam adalah partai politik dan/atau perkumpulan-perkumpulan lain, maka tidak ada sangkut pautnya dengan negara. Kalau mereka memperjuangkan Piagam Jakarta, untuk dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar kita, maka itu adalah hak mereka juga untuk merubah konstitusi dan dasar negara. Ini adalah konskwensi berdemokrasi, bahkan di Amerika Serikat pun ada orang yang ingin agar Undang-Undang Dasar-nya diubah menjadi Undang-Undang Dasar Komunis. Masalahnya tinggal apakah rakyat mau menerimanya dalam pemilu atau tidak. Sikap membedakan kehidupan negara dari kehidupan perkumpulan yang seperti ini, adalah sikap sehat dan demokratis yang harus ditegakkan, kalau kita ingin mengembangkan demokrasi di negara kita. Dasar dari sikap ini adalah keyakinan rakyat banyak yang tahu apa yang harus dilakukan, walaupun mayoritas tidak berpendidikan tinggi, dan bahkan masih besar prosentase mereka yang buta huruf. Kalau dalam hal ini saja kita sudah tidak memiliki keberanian, maka mereka yang bercita-cita mendirikan negara Islam tidak memperoleh tempat untuk menyuarakan kehendak, dan mereka akan menempuh jalan pemberontakan bersenjata.

Karenanya, kita harus memberikan tempat bagi perbedaan pendapat dan kemerdekaan berbicara, artinya adalah kebebasan menyatakan pikiran tanpa dikekang sama sekali. Inilah yang mendasari pendapat penulis, bahwa TAP MPRS No. 25 tahun 1966 harus dicabut. Karena TAP itu melarang penyebaran paham Marxisme-Leninisme atau Komunisme. Sebagai sebuah paham, pikiran itu hanya dapat diperangi oleh pendidikan dan penerangan, bukan oleh sebuah Ketetapan MPR ataupun produk hukum apapun. Lain halnya, kalau yang dilarang adalah lembaga atau institusi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), karena itu dapat dilarang oleh negara, seperti halnya kita melarang lembaga bernama free mason (lembaga yang berpikiran bebas tanpa agama). Di sinilah diperlukan ketelitihan kita, agar produk-produk kenegaraan kita tidak merugikan diri sendiri.

*****

Hal sekecil ini, yaitu perbedaan-perbedaan antara paham dan lembaga harus dilakukan dengan cermat. Tanpa kecermatan seperti itu, kita dapat berjalan di arah yang salah, yaitu menindak hal yang tidak perlu diperhatikan dan membiarkan sesuatu yang memerlukan tindakan. Inilah letaknya arti penting dari perembugan/permusyawaratan, seperti yang dibuat oleh Undang-Undang Dasar kita: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang seringkali dianggap sebagai ajang percaturan kekuasaan, antara dua hal yang berjalan sendiri-sendiri. Kekurangan memahami situasi seperti ini hanya akan memperparah keadaan, karena timbul dari kurangnya pengetahuan yang mendalam tentang peranan pemerintah dalam menjaga kepentingan negara.

Ini adalah sesuatu yang berjalan dari sebuah generasi yang diwariskan dari generasi penerus. Joko Tingkir, umpamanya, mempunyai keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakin dari Kajen, Pati, yang sangat tunduk pada Amangkurat IV di Surakarta. Ada semacam kontinuitas cara yang dipertahankan dengan segala kekuatan, karena Joko Tingkir alias Sultan Hadiwidjaya adalah penguasa kesultanan Demak yang digulingkan oleh Sutawidjaya, pendiri dinasti Mataram yang kemudian bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayyidin Panatagama Kalifatullah Ing Tanah Jawi. Karena penulis masih keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakin, berarti masih terkait dengan Sunan Benawa di Kendal, ayah Sunan Pakubuwana I, dengan sendirinya para penguasa Mataram masih menghormati penulis.

Kenyataan inilah yang harus diperhatikan dalam mengikuti sistem politik Jawa, karena kuatnya kontinuitas tradisi tersebut. Karena sistem politik Jawa masih memiliki bekasnya yang mendalam atas sistem politik nasional yang kita miliki sekarang, dengan sendirinya tali temali ini harus diperhatikan juga. Ini memperkuat pendapat penulis, bahwa kita tidak memiliki acuan negara Islam bagi sistem politik yang kita kembangkan. Karena hal ini diabaikan oleh sementara pihak dalam wujud sistem politik kita yang ada, maka pemilu adalah satu-satunya tempat untuk menguji kebenaran pendapat penulis ini.

Menurut dugaan penulis, kurang dari 20 % pemilih akan memberikan suara kepada partai-partai politik yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Sejarahlah yang akan menjawab, benarkah apa yang disangkakan penulis itu akan terjadi? []

Sumber: Kedaulatan Rakyat
Beijing, 7/4/2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar