Selasa, 27 Maret 2018

(Ngaji of the Day) Manakah Lebih Utama, Merahasiakan Ibadah atau Menampakkannya?


Manakah Lebih Utama, Merahasiakan Ibadah atau Menampakkannya?

Salah satu dosa besar adalah perbuatan riya’. Hal ini membuat sebagian orang ingin merahasiakan ibadah-ibadahnya karena takut riya’, tetapi tidak mungkin sebab banyak ibadah tidak bisa dirahasiakan seperti haji, shalat jamaah, menuntut ilmu, jihad di jalan Allah, dan sebagainya. Terkait dengan hal ini seseorang bertanya kepada  Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad, manakah lebih utama merahasiakan ibadah atau menampakkannya?

Ulama asal Hadhramaut Yaman yang masih dzuriah Rasulullah SAW tersebut memberikan jawaban atas pertanyaan di atas sebagaimana termaktub dalam kitab beliau berjudul an-Nafâis al-Uluwiyyah fil Masâil As-Shûfiyyah (Dar Al-Hawi, 1993, hal. 25) sebagai berikut: 

اعلم أن الإظهار أفضل لمن لا يخشى على نفسه الرياء ويرجو أن يقتدى به فيما يظهره أحد من إخوانه المؤمنين، والإخفاء افضل لمن يخشى الرياء ولا يرجو الإقتداء، فإن أمن الرياء ولم يرج الإقتداء أو عكسه فالإخفاء أفضل أيضا

Artinya: “Ketahuilah menampakkan ibadah adalah lebih utama bagi seseorang yang tidak khawatir akan dihinggapi rasa riya’ di dalam dirinya, terlebih jika orang tersebut mengharapkan perbuatannya dicontoh oleh saudaranya sesama Muslim; sedangkan merahasiakan ibadah lebih utama bagi seseorang yang khawatir akan dihinggapi rasa  riya’ dalam ibadahnya sementara ia tidak ingin amalnya dijadikan contoh. Adapun seseorang yang dapat menghindari riya’ dan ia tidak ingin amalnya dijadikan contoh, atau sebaliknya, maka lebih utama ia merahasiakan ibadahnya.” 

Dari kutipan di atas dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut: 

Pertama, seseorang yang sudah mampu menguasai keadaan batinnya, seperti mencegah perbuatan riya’, tidak ada persoalan baginya menampakkan ibadah-ibadahnya, terlebih jika ia juga bermaksud melakukan syiar Islam, atau  agar ibadahnya diikuti orang lain. Hal seperti ini masuk akal sebab jika semua orang merahasiakan amal ibadahnya, tentu tidak ada syiar dan juga tidak ada contoh konkrit bagaimana sebuah ibadah diamalkan dengan baik dan benar.  

Kedua, seseorang yang masih dihinggapi rasa riya’ dalam hatinya, sebaiknya merahasiakan atau tidak menampakkan ibadah-ibadahnya, apalagi jika ia memang tidak ingin menjadi contoh karena, misalnya,  menyadari ibadahnya belum bisa ikhlas. Orang seperti ini kalau bersedekah sebaiknya secara rahasia dari pada berisiko dihinggapi rasa riya’. Bagaimanapun riya’ itu sudah pasti berdosa dan akan mengakibatkan ibadahnya tidak diterima oleh Allah SWT.  

Ketiga, seseorang yang telah mampu mengendalikan rasa riya’, tetapi ia sendiri tidak menginginkan dirinya menjadi contoh karena sebab-sebab tertentu seperti takut tidak kuat mendapat pujian dari orang lain, orang seperti ini lebih utama tidak  menampakkan ibadah-ibadahnya. 

Namun demikian orang tersebut sebaiknya secara bertahap belajar melatih diri  kuat menerima pujian dari orang lain sehingga pujian sebesar dan sebanyak apapun tidak mempengaruhi keadaan batinnya, seperti manjadi riya’,  takabur ataupun ujub. Bagaimanapun dalam masyarakat harus ada orang-orang yang bisa dicontoh atau menjadi teladan dalam kebaikan.   

Keempat, seseorang yang masih dihinggapi rasa riya’ tetapi ia menginginkan dirinya dicontoh orang lain dalam ibadahnya, orang seperti ini lebih utama tidak menampakkan ibadah-ibadahnya karena riya’ termasuk dosa besar. Dalam hal ini berlaku prinsip Dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih (Upaya mencegah madharat harus lebih didahulukan dari pada upaya memperoleh kemanfaatan).

Dari seluruh uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa menampakkan ibadah adalah baik bagi mereka yang memang sudah mampu mengendalikan rasa riya’nya. Orang-orang seperti ini justru lebih utama tidak merahasiakan ibadahnya, apalagi mereka merupakan orang-orang berpengaruh dan menjadi panutan masyarakat.  Sedangkan mereka yang belum  mampu mengendalikan rasa riya’nya, lebih utama tidak menampakkan ibadah-ibadahnya walaupun dengan maksud memberikan contoh dan demi syiar Islam. []

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar