Manakah Lebih Utama,
Merahasiakan Ibadah atau Menampakkannya?
Salah satu dosa besar adalah perbuatan riya’.
Hal ini membuat sebagian orang ingin merahasiakan ibadah-ibadahnya karena takut
riya’, tetapi tidak mungkin sebab banyak ibadah tidak bisa dirahasiakan seperti
haji, shalat jamaah, menuntut ilmu, jihad di jalan Allah, dan sebagainya.
Terkait dengan hal ini seseorang bertanya kepada Allamah Sayyid Abdullah
bin Alawi Al-Haddad, manakah lebih utama merahasiakan ibadah atau
menampakkannya?
Ulama asal Hadhramaut Yaman yang masih
dzuriah Rasulullah SAW tersebut memberikan jawaban atas pertanyaan di atas
sebagaimana termaktub dalam kitab beliau berjudul an-Nafâis al-Uluwiyyah fil
Masâil As-Shûfiyyah (Dar Al-Hawi, 1993, hal. 25) sebagai berikut:
اعلم
أن الإظهار أفضل لمن لا يخشى على نفسه الرياء ويرجو أن يقتدى به فيما يظهره أحد من
إخوانه المؤمنين، والإخفاء افضل لمن يخشى الرياء ولا يرجو الإقتداء، فإن أمن
الرياء ولم يرج الإقتداء أو عكسه فالإخفاء أفضل أيضا.
Artinya: “Ketahuilah menampakkan ibadah adalah
lebih utama bagi seseorang yang tidak khawatir akan dihinggapi rasa riya’ di
dalam dirinya, terlebih jika orang tersebut mengharapkan perbuatannya dicontoh
oleh saudaranya sesama Muslim; sedangkan merahasiakan ibadah lebih utama bagi
seseorang yang khawatir akan dihinggapi rasa riya’ dalam ibadahnya
sementara ia tidak ingin amalnya dijadikan contoh. Adapun seseorang yang dapat
menghindari riya’ dan ia tidak ingin amalnya dijadikan contoh, atau sebaliknya,
maka lebih utama ia merahasiakan ibadahnya.”
Dari kutipan di atas dapat dijelaskan hal-hal
sebagai berikut:
Pertama, seseorang yang sudah mampu menguasai
keadaan batinnya, seperti mencegah perbuatan riya’, tidak ada persoalan baginya
menampakkan ibadah-ibadahnya, terlebih jika ia juga bermaksud melakukan syiar
Islam, atau agar ibadahnya diikuti orang lain. Hal seperti ini masuk akal
sebab jika semua orang merahasiakan amal ibadahnya, tentu tidak ada syiar dan
juga tidak ada contoh konkrit bagaimana sebuah ibadah diamalkan dengan baik dan
benar.
Kedua, seseorang yang masih dihinggapi rasa
riya’ dalam hatinya, sebaiknya merahasiakan atau tidak menampakkan
ibadah-ibadahnya, apalagi jika ia memang tidak ingin menjadi contoh karena,
misalnya, menyadari ibadahnya belum bisa ikhlas. Orang seperti ini kalau
bersedekah sebaiknya secara rahasia dari pada berisiko dihinggapi rasa riya’.
Bagaimanapun riya’ itu sudah pasti berdosa dan akan mengakibatkan ibadahnya
tidak diterima oleh Allah SWT.
Ketiga, seseorang yang telah mampu
mengendalikan rasa riya’, tetapi ia sendiri tidak menginginkan dirinya menjadi
contoh karena sebab-sebab tertentu seperti takut tidak kuat mendapat pujian
dari orang lain, orang seperti ini lebih utama tidak menampakkan ibadah-ibadahnya.
Namun demikian orang tersebut sebaiknya
secara bertahap belajar melatih diri kuat menerima pujian dari orang lain
sehingga pujian sebesar dan sebanyak apapun tidak mempengaruhi keadaan
batinnya, seperti manjadi riya’, takabur ataupun ujub. Bagaimanapun dalam
masyarakat harus ada orang-orang yang bisa dicontoh atau menjadi teladan dalam
kebaikan.
Keempat, seseorang yang masih dihinggapi rasa
riya’ tetapi ia menginginkan dirinya dicontoh orang lain dalam ibadahnya, orang
seperti ini lebih utama tidak menampakkan ibadah-ibadahnya karena riya’
termasuk dosa besar. Dalam hal ini berlaku prinsip Dar'ul mafasid muqaddamun
'ala jalbil mashalih (Upaya mencegah madharat harus lebih didahulukan dari pada
upaya memperoleh kemanfaatan).
Dari seluruh uraian diatas, dapat disimpulkan
bahwa menampakkan ibadah adalah baik bagi mereka yang memang sudah mampu
mengendalikan rasa riya’nya. Orang-orang seperti ini justru lebih utama tidak
merahasiakan ibadahnya, apalagi mereka merupakan orang-orang berpengaruh dan
menjadi panutan masyarakat. Sedangkan mereka yang belum mampu
mengendalikan rasa riya’nya, lebih utama tidak menampakkan ibadah-ibadahnya
walaupun dengan maksud memberikan contoh dan demi syiar Islam. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar