Pelajaran dari Luqmanul Hakim
Oleh: Nasaruddin Umar
SOSOK Luqmanul Hakim banyak menginspirasi para arifin. Dalam
riwayat Ibnu Abbas, Luqmanul Hakim seorang manusia biasa yang pekerjaan
sehari-harinya pencari kayu bakar di Habsy. Ia bukan nabi, bukan rasul, bukan
bangsawan, dan bukan pula ulama besar.
Ada riwayat menyebutkan ia seorang hakim di zaman Nabi Daud.
Riwayat lain menyebutkan ia hidup sesudah Nabi Isa sebelum Nabi Muhammad lahir.
Ia memiliki banyak kelebihan di balik kesederhanaannya sehingga namanya
diabadikan di dalam Alquran sebagai Surah Luqman.
Menurut Ibnu Katsir, nama panjang Luqman ialah Luqman bin Unaqa’
bin Sadun. Ia digambarkan bertubuh pendek dan berhidung mancung dari Nubah dan
ada juga yang berpendapat ia berasal dari Sudan. Secara fisik sesungguhnya
tidak ada yang menarik dari Luqmanul Hakim. Hanya kecerdasan dan kearifan yang
dimilikinya membuatnya terkenal dan selalu terkenang.
Sebagai salah satu contoh kasusnya ialah ketika suatu saat Luqmanul
Hakim masuk ke pasar menaiki seekor himar (keledai), sedangkan anaknya
mengikuti dari belakang. Setelah melihat tingkah laku Luqman, ada sekumpulan
orang yang berkata, ”Lihatlah orangtua yang tidak punya perasaan, ia keenakan
sementara anaknya berjalan kaki.” Setelah mendengarkan kata-kata itu, Luqman
turun dari keledai lalu anaknya disuruh naik ke atas keledai, sedangkan ia
sendiri berjalan kaki.
Setelah melihat kenyataan itu, orang-orang pasar kembali mencemoh,
“Lihat orangtua itu, ia berjalan kaki, sedangkan anaknya keenakan di punggung
keledai, sungguh anak itu tidak tahu malu.” Setelah mendengar itu, Luqmanul
Hakim juga naik ke keledai bersama-sama anaknya. Orang-orang pasar kembali mencemoh,
”Lihat itu ada dua orang menaiki seekor keledai, sungguh menyiksa keledai itu.”
Karena tidak suka mendengar cemohan itu, Luqmanul Hakim dan
anaknya turun dari keledai. Orang-orang pasar kembali mencibir, ”Lihat itu, dua
orang berjalan kaki, sedangkan keledai tidak dikendarai.” Akhirnya Luqmanul
Hakim mencari solusi berdasarkan apa yang diyakininya benar, tanpa harus
terpengaruh orang lain.
Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari Luqmanul hakim ialah
hampir mustahil memenuhi seluruh harapan dan kehendak masyarakat, apalagi kalau
masyarakat itu majemuk dan heterogen. Jika kita ingin memperbaiki situasi,
masyarakat harus istikamah di atas tataran nilai luhur yang banyak disepakati
orang. Dengan berpegang teguh pada aturan yang standar, itu akan mengurangi
risiko kehidupan.
Sama juga dengan menghadapi raja yang zalim, masyarakat atau
rakyat harus mampu beradaptasi dengan rajanya dengan baik. Sebab dalam kaidah
(sunni), lebih utama dipimpin pemimpin yang buruk 100 tahun dari pada kosong
kepemimpinan sehari, yang akan berakibat lebih fatal dan berlaku hukum rimba,
yang besar memangsa yang kecil. Kaidah inilah yang dianut mayoritas umat Islam
Indonesia yang berhaluan Ahlu Sunnah wa al-Jamaah.
Perlu dikenang bahwa apa yang dinasihatkan Luqmanul Hakim terhadap
anaknya bahwa sesungguhnya dalam setiap keadaan tidak akan pernah bebas dari
komentar orang. Maka orang yang berakal sehat dan dan beriman tidak akan
memilih pertimbangan selain pertimbangan dan petunjuk dari Yang Mahaobjektif,
yaitu petunjuk dari Allah SWT”.
Kebenaran itu universal dan ada di mana-mana. Kemudian Luqmanul
Hakim berpesan kepada anaknya, “Wahai anakku, tuntutlah rezeki yang halal
supaya kamu tidak menjadi fakir. Sesungguhnya orang fakir itu akan menjumpai
tiga perkara. Pertama, tipisnya keimanan dalam beragama. Kedua, lemahnya akal
(mudah tertipu dan diperdaya) dan hilang kemuliaan hatinya. Jika hal ini dapat
diperhatikan, langkah kehidupan kita di masa depan akan lebih mudah. []
MEDIA INDONESIA, 23 Maret 2018
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar