Senin, 26 Maret 2018

Nasaruddin Umar: Pelajaran dari Luqmanul Hakim


Pelajaran dari Luqmanul Hakim
Oleh: Nasaruddin Umar

SOSOK Luqmanul Hakim banyak menginspirasi para arifin. Dalam riwayat Ibnu Abbas, Luqmanul Hakim seorang manusia biasa yang pekerjaan sehari-harinya pencari kayu bakar di Habsy. Ia bukan nabi, bukan rasul, bukan bangsawan, dan bukan pula ulama besar.

Ada riwayat menyebutkan ia seorang hakim di zaman Nabi Daud. Riwayat lain menyebutkan ia hidup sesudah Nabi Isa sebelum Nabi Muhammad lahir. Ia memiliki banyak kelebihan di balik kesederhanaannya sehingga namanya diabadikan di dalam Alquran sebagai Surah Luqman.

Menurut Ibnu Katsir, nama panjang Luqman ialah Luqman bin Unaqa’ bin Sadun. Ia digambarkan bertubuh pendek dan berhidung mancung dari Nubah dan ada juga yang berpendapat ia berasal dari Sudan. Secara fisik sesungguhnya tidak ada yang menarik dari Luqmanul Hakim. Hanya kecerdasan dan kearifan yang dimilikinya membuatnya terkenal dan selalu terkenang.

Sebagai salah satu contoh kasusnya ialah ketika suatu saat Luqmanul Hakim masuk ke pasar menaiki seekor himar (keledai), sedangkan anaknya mengikuti dari belakang. Setelah melihat tingkah laku Luqman, ada sekumpulan orang yang berkata, ”Lihatlah orangtua yang tidak punya perasaan, ia keenakan sementara anaknya berjalan kaki.” Setelah mendengarkan kata-kata itu, Luqman turun dari keledai lalu anaknya disuruh naik ke atas keledai, sedangkan ia sendiri berjalan kaki.

Setelah melihat kenyataan itu, orang-orang pasar kembali mencemoh, “Lihat orangtua itu, ia berjalan kaki, sedangkan anaknya keenakan di punggung keledai, sungguh anak itu tidak tahu malu.” Setelah mendengar itu, Luqmanul Hakim juga naik ke keledai bersama-sama anaknya. Orang-orang pasar kembali mencemoh, ”Lihat itu ada dua orang menaiki seekor keledai, sungguh menyiksa keledai itu.”

Karena tidak suka mendengar cemohan itu, Luqmanul Hakim dan anaknya turun dari keledai. Orang-orang pasar kembali mencibir, ”Lihat itu, dua orang berjalan kaki, sedangkan keledai tidak dikendarai.” Akhirnya Luqmanul Hakim mencari solusi berdasarkan apa yang diyakininya benar, tanpa harus terpengaruh orang lain.

Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari Luqmanul hakim ialah hampir mustahil memenuhi seluruh harapan dan kehendak masyarakat, apalagi kalau masyarakat itu majemuk dan heterogen. Jika kita ingin memperbaiki situasi, masyarakat harus istikamah di atas tataran nilai luhur yang banyak disepakati orang. Dengan berpegang teguh pada aturan yang standar, itu akan mengurangi risiko kehidupan.

Sama juga dengan menghadapi raja yang zalim, masyarakat atau rakyat harus mampu beradaptasi dengan rajanya dengan baik. Sebab dalam kaidah (sunni), lebih utama dipimpin pemimpin yang buruk 100 tahun dari pada kosong kepemimpinan sehari, yang akan berakibat lebih fatal dan berlaku hukum rimba, yang besar memangsa yang kecil. Kaidah inilah yang dianut mayoritas umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlu Sunnah wa al-Jamaah.

Perlu dikenang bahwa apa yang dinasihatkan Luqmanul Hakim terhadap anaknya bahwa sesungguhnya dalam setiap keadaan tidak akan pernah bebas dari komentar orang. Maka orang yang berakal sehat dan dan beriman tidak akan memilih pertimbangan selain pertimbangan dan petunjuk dari Yang Mahaobjektif, yaitu petunjuk dari Allah SWT”.  

Kebenaran itu universal dan ada di mana-mana. Kemudian Luqmanul Hakim berpesan kepada anaknya, “Wahai anakku, tuntutlah rezeki yang halal supaya kamu tidak menjadi fakir. Sesungguhnya orang fakir itu akan menjumpai tiga perkara. Pertama, tipisnya keimanan dalam beragama. Kedua, lemahnya akal (mudah tertipu dan diperdaya) dan hilang kemuliaan hatinya. Jika hal ini dapat diperhatikan, langkah kehidupan kita di masa depan akan lebih mudah. []

MEDIA INDONESIA, 23 Maret 2018
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar