Konspirasi Politik Anak yang Membunuh Khalifah Al-Mutawakkil
Oleh: Nadirsyah Hosen
Baik dan buruk, kesalehan dan kesalahan, serta kenikmatan dan
tragedi berjalan berdampingan bersama Khalifah kesepuluh Dinasti Abbasiyah,
Ja’far al-Mutawakkil ‘ala Allah. Sesuai gelar dalam namanya, pada akhirnya
Ja’far hanya bisa bertawakal kepada Allah. Mari kita simak kisahnya.
Ketika Khalifah al-Watsiq wafat tanpa sempat menunjuk
penggantinya, maka Ja’far al-Mutawakkil yang berusia 26 tahun diangkat menjadi
khalifah oleh para pejabat pemerintahan. Saya ceritakan sebelumnya pemerintahan
al-Watsiq dipengaruhi oleh pejabat sekitarnya seperti Perdana Menteri Ibn
az-Zayyat, Ketua Mahkamah Agung Ahmad bin Abi Du’ad, dan Jenderal Itakh dari
pasukan Turki.
Semula mereka hendak mengangkat Muhammad bin al-Watsiq, namun anak
al-Watsiq ini masih kecil. Lantas mereka teringat dengan Ja’far, saudara
Khalifah, yang sedang menunggu di luar kamar. Maka dipanggilah Ja’far masuk ke
kamar dan diberi ba’iat sebagai Khalifah kesepuluh pada tahun 847 Masehi.
Para pejabat itu tentu berharap mereka akan terus mengendalikan jalannya
pemerintahan, sebagaimana yang berhasil mereka lakukan kepada al-Watsiq
layaknya boneka mereka. Tetapi mereka keliru. Ja’far tidak bisa mereka atur
semaunya saja.
Khalifah al-Mutawakkil bergerak cepat dengan mencopot Perdana
Menteri Ibn Zayyat, yang telah mengangkat dia sebelumnya. Apa pasal? Tarikh
Thabari menceritakan bahwa Ibn Zayyat pernah mempermalukan al-Mutawakkil dulu
sewaktu dia belum punya kekuasaan.
Sang Perdana Menteri dengan pongahnya membiarkan al-Mutawakkil
menunggu berjam-jam dan kemudian mencemoohnya di depan publik, bahkan
melaporkannya kepada Khalifah al-Watsiq yang ikut-ikutan mempermalukan adiknya
ini dengan memotong rambutnya dan memukul wajahnya. Ini semua akibat pengaruh
dari Ibn Zayyat. Itulah sebabnya, begitu al-Mutawakkil berkuasa, tanpa ragu Ibn
Zayyat langsung dicopot.
Al-Mutawakkil meminta Jenderal Itakh menangkap Ibn Zayyat,
merampas semua harta bendanya, lantas memasukkan Ibn Zayyat ke penjara pada 22
September 847. Dia mengalami penyiksaan luar biasa–yang diceritakan dengan
detail oleh Imam Thabari, akhirnya Ibn Zayyat wafat dan dikubur layaknya
seorang kriminal pada 2 November 847. Tidak ada upacara kenegaraan bagi mantan
perdana menteri yang telah memimpin sejak masa dua khalifah sebelumnya.
Jenderal Itakh boleh saja menduga bahwa perintah menangkap Ibn
Zayyat sebagai ujian loyalitasnya kepada khalifah baru, dan setelah sukses
menjalankan tugasnya ini dia akan menjadi teman kepercayaan khalifah. Sang
Jenderal pun keliru. Al-Mutawakkil dengan cerdik mengizinkan Itakh untuk naik
haji. Dengan demikian, Itakh akan terpisah dari pasukannya.
Di perjalanan menuju tanah suci, Itakh ditangkap dan kemudian
dimasukkan ke dalam penjara. Kedua anaknya, Mansur dan Muzaffar, pun ikut
dimasukkan ke dalam penjara. Tanpa diberi minum, akhirnya sang jenderal pun
tumbang dan meninggal dunia.
Begitulah model pemerintahan khilâfah itu. Tanpa adanya the rule of law, semuanya
tergantung keinginan sang khalifah. Kalau khalifah senang dengan Anda, maka
Anda akan mendapat jabatan dan harta. Tapi kalau khalifah tidak senang lagi,
maka kelar hidup loe!
Tinggal tersisa satu pejabat lagi: Ibn Abi Du’ad, Ketua Mahkamah
Agung yang di masa dua khalifah sebelumnya (al-Mu’tashim dan al-Watsiq) berada
di belakang peristiwa mihnah
(ujian keagamaan yang berujung pada persekusi) yang membuat banyak ulama Ahlus
Sunnah wal Jama’ah menderita dan bahkan dihukum mati. Ibn Abi Du’ad tidak perlu
dibunuh oleh Khalifah al-Mutawakkil karena beberapa saat setelah pergantian
kekuasaan dia sudah duluan terkena stroke yang mengakibatkan tubuhnya lumpuh.
Imam Suyuthi mengomentari bahwa tubuh Ibn Abi Du’ad bagaikan
seonggok batu yang tidak berguna. Posisinya diambil sementara oleh Muhammad,
yang merupakan anaknya sendiri. Namun pada tahun 851 Khalifah al-Mutawakkil
memutuskan mencopot secara resmi Ibn Abi Du’ad dan anaknya, serta sejumlah
hakim lainnya yang bermazhab Mu’tazilah.
Harta mereka diambil negara dan tiga tahun kemudian Ibn Abi Du’ad
meninggal dunia. Apakah ini azab Allah? Tentu tidak bisa semudah itu kita
membuat asumsi, meski Ibn Katsir dalam al-Bidayah
wan Nihayah menceritakan sejumlah orang melihat dalam mimpi mereka
Ibn Abi Du’ad mendapat murka Allah. Wa
Allahu a’lam.
Berakhirnya kekuasaan Ibn Abi Du’ad, maka berakhir pula mihnah. Khalifah
al-Mutawakkil secara resmi menghentikan mihnah
yang telah berlangsung sejak tahun 833 itu. Imam Ahmad bin Hanbal dibebaskan
dari penjara. Bahkan al-Mutawakkil memerintahkan tubuh Ahmad ibn Nashr
al-Khuza’i yang telah terpisah dari kepalanya dan digantung selama 6 tahun di
gerbang kota oleh Khalifah al-Watsiq, untuk diturunkan, disalatkan dan kemudian
dikuburkan.
Maka, kembalilah para ulama tradisional menguasai mimbar dan
majelis. Yang bertahun-tahun mereka sembunyi dari kejaran khalifah, kini mereka
diundang ke istana dan diperbolehkan kembali mengajar. Namun kembalinya
kelompok tradisionalis ini juga “kebablasan”. Al-Mutawakkil menjadi sangat
rigid terhadap kelompok non-Ahlus Sunnah. Menurut Imam Suyuthi, al-Muatwakkil
menjadi fanatik.
Misalnya, dia memerintahkan agar kuburan Sayidina Husein diratakan
dengan tanah. Dia juga memberi instruksi agar orang Nasrani memakai gelang
warna kuning sebagai penanda bahwa mereka bukan golongan Muslim. Sejumlah
gereja diambil alih dan dijadikan masjid. Dan gambar setan ditaruh di pintu
rumah mereka sebagai penanda ini bukan rumah orang Islam.
Orang Nasrani juga dilarang belajar di sekolah Islam. Kuburan
mereka pun tidak boleh sejajar tingginya dengan kuburan Muslim. Begitu
penuturan Imam Thabari dalam kitab Tarikh.
Siapa pun yang berbeda dengan pemahaman tradisional Khalifah
al-Mutawakkil, maka dia akan disiksa seperti yang dialami Abu Bakar bin
al-Laits, hakim di Mesir yang dituduh bagian dari kelompok Jahmiyah. Nasib
lebih tragis menimpa Ibn Sikkit, ahli sastra Arab yang menjadi guru kedua putra
Khalifah al-Mutawakkil, yaitu al-Mu’tazz dan al-Mu’ayyad.
Khalifah bertanya kepada Ibn Sikkit, “Siapa yang lebih engkau
senangi: dua anak saya atau Hasan-Husein dua anak Ali bin Abi Thalib?”
Ibn Sikkit menjawab, “Bahkan Qanbar, budak Ali bin Abi Thalib, bagiku lebih aku
senangi dibanding kedua anakmu.”
Tentu jawaban Ibn Sikkit yang apa adanya itu bisa kita pahami.
Bagaimana mungkin al-Mutawakkil membandingkan dirinya dengan Sayidina Ali bin
Abi Thalib? Bagaimana mungkin pula Ibn Sikkit disuruh memilih antara kedua anak
Khalifah atau Sayidina Hasan dan Sayidina Husein, yang bukan saja putra
Sayidina Ali tapi merupakan cucu kesayangan Rasulullah.
Pertanyaanya sudah salah. Dan jawaban Ibn Sikkit lebih nyelekit lagi. Maka,
Khalifah al-Mutawakkil segera memerintahkan pengawalnya untuk menginjak perut
Ibn Sikkit hingga wafat. Imam Suyuthi mencatat bahwa ada riwayat lain yang
mengatakan al-Mutawakkil memerintahkan pengawalnya mencabut lidah Ibn Sikkit
hingga wafat. Ibn Sikkit pun dihujat sebagai Syiah ekstrem.
Gempa bumi, angin puyuh, petir menyambar, dan hujan batu es serta
longsor adalah berbagai bencana alam yang dialami umat pada masa Khalifah al-Mutawakkil
seperti dicatat oleh Imam Suyuthi dan Imam Thabari dengan detail. Puluhan ribu
orang wafat karenanya dan berhari-hari tidak bisa keluar rumah. Sekali lagi,
apakah ini azab Allah? Tentu tidak semudah itu kita membuat klaim seperti yang
sering digunakan kids jaman
now. Alam boleh jadi memberi pertanda akan berbagai kerusakan yang
dilakukan manusia terhadap lingkungannya.
Kenikmatan duniawi juga tidak dilewatkan oleh Khalifah
al-Mutawakkil. Beliau menyenangi minum-minuman. Bahkan dikabarkan memiliki 4
ribu budak perempuan. Dalam kitab Tarikh
Khulafa Imam Suyuthi, dikatakan bahwa semua budaknya itu pernah
digauli oleh al-Mutawakkil. Alamak!
Sekitar tahun 850 Masehi, Khalifah al-Mutawakkil mengatur dengan
sangat detail pembagian kekuasaan di antara ketiga putranya, yaitu
al-Muntashir, al-Mu’tazz, dan al-Mu’ayyad. Imam Thabari mencamtunkan teks
lengkap surat penunjukkan ini dalam kitab Tarikh
Thabari.
Penunjukkan satu paket ini berarti selepas al-Mutawakil berkuasa,
maka yang akan menggantikannya secara berurutan adalah ketiga anaknya itu.
Sebuah rencana yang matang dan detail untuk melanggengkan kekuasan Dinasti
Abbasiyah.
Namun, sepuluh tahun kemudian angin politik berubah. Al-Mutawakkil
terpengaruh oleh sekretarisnya, al-Fath ibn Khaqqan, yang lebih menyukai
al-Mu’tazz. Khalifah berubah pikiran dan hendak mencopot al-Muntashir dari
jalur suksesi. Al-Muntashir tentu tidak menerimanya.
Pada saat yang sama, Jenderal Washif juga jengkel dengan Khalifah
dan sekretarisnya. Ini akibat Khalifah memerintahkan harta benda Washif disita
dan diberikan kepada sekretaris negara al-Fath ibn Khaqqan.
Maka, disusunlah konspirasi dari pasukan Washif untuk membunuh
Khalifah al-Mutawakkil dengan persetujuan al-Muntashir yang khawatir tidak akan
berada di jalur suksesi selama ayahnya masih hidup. Imam Thabari menceritakan
bahwa rencana itu berhasil dan al-Mutawakkil, saat dalam kondisi mabuk, dibunuh
dengan mudah. Al-Muntashir kemudian menuduh al-Fath yang membunuh khalifah, dan
karenanya al-Fath pun ikut dibunuh. Sebuah konspirasi politik yang luar biasa.
Berakhirlah kekuasaan Khalifah al-Mutawakkil pada 11 Desember 861.
Beliau wafat pada usia 40 tahun setelah 14 tahun berkuasa. Al-Muntashir yang
berusia 25 tahun naik menggantikan ayahnya lewat konspirasi politik berdarah.
Lantas bagaimana dengan nasib kedua adiknya, yaitu al-Mu’tazz dan al-Mu’ayyad?
Ikuti kisah berikutnya pada kolom Jum’at pekan depan. Insya Allah. []
GEOTIMES, 29 Desember 2017
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar