Pesantren
Salafi (5)
Oleh:
Azyumardi Azra
Bagaimana
prospek pesantren Salafi? Ini pertanyaan yang tidak mudah dijawab karena
terkait dengan dinamika paham dan gerakan Salafi itu sendiri, baik di Indonesia
maupun di Arab Saudi, Yaman, dan Timteng keseluruhan.
Berbagai
perubahan politik, agama, sosial-budaya, dan ekonomi yang terjadi di
negara-negara ini mengandung implikasi serta konsekuensi bagi gerakan
Salafi—termasuk pesantren Salafi—di Indonesia.
Pada saat
yang sama, dinamika dan perubahan kehidupan politik, agama, dan sosial-budaya
di Indonesia juga memengaruhi gerakan Salafi dan pesantrennya.
Dinamika
ormas-ormas Islam arus utama yang kian mawas terhadap gerakan dan pesantren
Salafi menciptakan iklim yang tidak lagi begitu kondusif bagi paham dan gerakan
transnasional ini untuk bergerak menyebarkan pengaruhnya.
Perkembangan
ini sedikit banyak memengaruhi pesantren Salafi. Kontrawacana dan bahkan
kontragerakan dari lingkungan ormas Islam arus utama terhadap paham, gerakan,
dan pesantren Salafi cenderung kian meningkat dari ormas Islam arus utama,
seperti NU.
Bagi
banyak ormas Islam arus utama, di antara doktrin Salafi-Wahabi yang bertumpu
pada Tauhid Rububiyah,
Tauhid Uluhiyah,
Asma wa Sifat,
dan Mulkiyah,
yang paling diwaspadai adalah al-Wala’
wa al-Bara’. Doktrin terakhir ini berarti "cinta dan
benci" atau "asosiasi dan disasosiasi".
Menurut
doktrin ini, umat Islam harus menyukai berbagai usaha untuk memuliakan Islam
dan umatnya. Umat Islam juga harus membenci segala sesuatu yang membenci Islam
dan umatnya.
Dalam
praktiknya, pengikut Salafi-Wahabi membatasi pergaulan agar tidak
terkontaminasi pemikiran Islam lain yang mereka anggap keliru, atau bahkan
sesat. Sebab itulah, mereka menjadi kelihatan eksklusif.
Faktor
lain yang dapat membuat surutnya pesantren Salafi adalah pendanaan. Bukan
rahasia lagi, pesantren Salafi mendapat banyak dana dari instansi pemerintah,
lembaga swasta, dan individu di Arab Saudi.
Selain
itu, mereka Salafi juga mendapat kucuran dana, misalnya dari Jam’iyah Ihya
al-Turats al-Islami (Kuwait) dan Yayasan Syekh Aid al-Tsani al-Khayriyah.
Namun,
sejak peristiwa 9/11 (2001) di Amerika Serikat, aliran dana dari Timur Tengah
atau negara-negara lain menjadi lebih ketat. Beberapa lembaga yang sebelumnya
menyuplai dana dibekukan karena terindikasi terkait terorisme.
Pemerintah
Indonesia juga kian ketat memantau transfer dana dari negara-negara Arab; walau
pihak-pihak terkait kemudian menemukan cara-cara baru dalam pengiriman dana.
Sumber
keuangan kian sulit juga terkait "krisis keuangan" yang dihadapi Arab
Saudi dalam beberapa tahun terakhir. Kemerosotan harga minyak membuat
pendapatan negara merosot tajam; APBN 2017 Saudi juga defisit sampai 15 persen.
Semua ini memengaruhi keuangan lembaga donor dan dermawan Arab Saudi.
Selain
itu, dalam beberapa tahun Arab Saudi membelanjakan dana sangat besar untuk
persenjataan. Hal ini bukan hanya sebagai antisipasi terhadap
"ancaman" Iran, tetapi juga untuk mempersenjatai koalisi militer
pimpinan Saudi yang berperang menghadapi kaum Houthi di Yaman.
Oleh
karena itulah, gerakan dan pesantren Salafi di Indonesia harus lebih berusaha
menggali dana dalam negeri Indonesia sendiri. Pesantren Salafi dengan mutu
pendidikan yang baik dapat menarik sumbangan biaya pendidikan yang cenderung
meningkat jumlahnya dari orangtua dan santri. Selain itu, juga ada dana zakat,
infak, dan sedekah dari donatur.
Perkembangan
lain yang bisa jadi juga berdampak pada gerakan Salafi-Wahabi di Indonesia
adalah kebijakan putra mahkota Pangeran Muhammad bin Salman (MbS) yang menyatakan
akan meninggalkan paham Wahabiyah. Atas alasan itu, Pemerintah Saudi menahan
sejumlah ulama Saudi Wahabi. Menurut dia, paham radikal ini telah merusak citra
Arab Saudi. Dia menyatakan kembali kepada paham dan praktik Islam yang damai
dan toleran.
Sejauh
mana kebijakan dan langkah Pangeran MbS berdampak terhadap gerakan
Salafi-Wahabi di Indonesia masih perlu dicermati. Tetapi jelas, sedikit banyak
dapat membuat menyurutnya momentum gerakan Salafi-Wahabi beserta pesantren
Salafi-nya di Indonesia.
Pasang
dan surutnya gerakan Salafi juga banyak tergantung dari internalnya sendiri.
Bukan rahasia lagi, gerakan Salafi tidaklah homogen atau monolitik; sebaliknya
terfragmentasi ke dalam banyak kelompok berdasar tingkat "Salafisme"
(lebih literal atau lebih longgar), orientasi gerakan (politik atau
dakwah/pendidikan), figur panutan di Arab Saudi atau Yaman atau tempat lain. []
REPUBLIKA,
01 Maret 2018
Azyumardi
Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan
Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar