Al-Muntashir: Darah itu Merah, Wahai Khalifah!
Oleh: Nadirsyah Hosen
Khalifah kesepuluh Dinasti Abbasiyah, al-Mutawakkil, telah dibunuh
dengan tragis lewat konspirasi politik para Jenderal Turki yang disetujui oleh
anaknya sendiri, al-Muntashir. Sebelumnya saya kisahkan pula bagaimana Khalifah
keenam Abbasiyah, al-Amin bin Harun ar-Rasyid, tewas terbunuh dipenggal
kepalanya oleh pasukan saudaranya sendiri, al-Ma’mun. Maka, bertambahlah
catatan berdarah persaingan perebutan kekuasaan dalam pemerintahan khilafah
Abbasiyah. Saudara membunuh saudaranya sendiri; bahkan anak membunuh bapaknya
sendiri.
Lantas, bagaimana dengan jalannya pemerintahan Khalifah kesebelas,
al-Muntashir, setelah bertakhta dengan membunuh bapaknya sendiri? Simak yuk
lanjutan ngaji sejarah politik Islam di bawah ini.
Imam Suyuthi menggambarkan sosok al-Muntashir dengan wajah yang
ganteng, hidung mancung, tinggi, gemuk, dan berwibawa serta kharismatik. Sesaat
setelah menjadi Khalifah, dia menghapus kebijakan khalifah sebelumnya yang
melarang kaum Syi’ah berziarah ke makam Sayidina Husein. Bahkan menurut Imam
Suyuthi, tanah fadak—yang pernah menjadi sengketa antara Khalifah Abu Bakar dan
Siti Fathimah, putri Nabi—dikembalikan kembali ke keluarga Ali bin Abi Thalib
oleh Khalifah al-Muntashir.
Saya ceritakan sebelumnya bagaimana al-Mutawakkil menyiapkan paket
penggantinya secara berurutan: al-Muntashir, kemudian al-Mu’tazz, dan nanti
dilanjutkan oleh al-Mu’ayyad. Ketika al-Muntashir menjadi khalifah, dia
memanggil kedua saudaranya dan meminta keduanya berbai’at kepadanya. Teks
bai’at telah disiapkan, dan keduanya membai’at al-Muntashir. Begitu juga
khalayak umum. Teks bai’at tersebut dimuat dalam kitab Tarikh Thabari. Saya kutip
sebagian isinya:
Bismillahirrahmanirrahim
Anda menyerahkan bai’at anda kepada hamba Allah, al-Muntashir
billah, Amirul Mu’minin, dalam kepatuhan dan kepuasan, dengan kesetiaan,
penerimaan, dan niat yang tulus; tidak dipaksa melainkan karena persetujuan,
sadar bahwa bai’at ini berisikan kepatuhan dan ketaatan kepada Allah,
meninggikan agama Allah, kesejahteraan hamba Allah, persatuan umat, dan
seterusnya….
Anda tidak akan meragukan, menipu, menyimpang atau perasaan waswas
dari Khalifah. Anda akan memperhatikan dan memberi support, kesetiaan,
menasihati—secara privat atau terbuka, dan menaati apa pun yang diperintahkan
oleh Amirul Mu’minin. Anda akan menjadi sekutu (awliya) dari kawan-kawannya dan
musuh dari musuh-musuhnya, baik jauh maupun dekat. Hatimu akan menjadi lisanmu,
dan pikiranmu akan menjadi lidahmu, mengikuti apa pun yang diinginkan Amirul
Mu’minin untukmu baik sekarang maupun akan datang.
Teks bai’at diakhiri dengan ancaman bagi yang melanggar bai’at
sebagai bentuk pelanggaran terhadap Allah, dan hartanya akan disita. Dan Allah
menjadi saksi atas bai’at ini.
Jadi, begitulah perbedaannya dengan demokrasi modern saat ini, di
mana pemimpin yang diangkat (baik sebagai Presiden atau Perdana Menteri), maka
pemimpin itulah yang bersumpah atas nama Tuhan untuk melaksanakan tugas
sebaik-baiknya. Di masa khilafah, kalau pemimpin diangkat sebagai Khalifah,
maka rakyatlah yang harus bersumpah—dengan segala konsekuensinya—untuk menaati
Khalifah.
Para Jenderal Turki yang semula kesal dengan pudarnya pengaruh
mereka di masa al-Mutawakkil sehingga mereka terlibat konspirasi membunuhnya,
tentu berharap Khalifah al-Muntashir yang telah mereka bantu naik menjadi
khalifah akan bisa mereka kendalikan. Ternyata mereka keliru.
Al-Muntashir mendengar bisikan di kalangan rakyat yang diam-diam
merasakan dialah yang berada di belakang pembunuhan ayahnya. Maka, al-Muntashir
terang-terangan menimpakan kesalahan atas terbunuhnya al-Mutawakkil kepada para
Jenderal Turki. Sang Khalifah berusaha cuci tangan. Sikap ini membuat murka
para pimpinan militer.
Al-Muntashir dengan cepat mengonsolidasikan kekuasaannya dengan
meminta Jenderal Wasif Turki untuk berangkat ke medan perang melawan Bizantin.
Ini membuat Wasif meninggalkan ibu kota Samarra dan tidak bisa melibatkan diri
pada jalannya pemerintahan di ibu kota.
Ketika kondisi mulai stabil, Ibn al-Khasib, wazir dari Khalifah
al-Muntashir, melobi Jenderal Bugha untuk meyakinkan al-Muntahsir agar mencopot
kedua saudaranya (al-Mu’tazz dan al-Mu’ayyad) dari jalur suksesi. Alasannya
sederhana, kalau al-Muntashir tidak lagi menjadi Khalifah, maka bisa jadi al-Mu’tazz
yang naik menggantikannya akan membalas dendam atas wafatnya ayah mereka,
al-Mutawkkil, kepada mereka yang terlibat konspirasi. Mereka usul agar yang
meneruskan tampuk kepemimpinan adalah putra al-Muntashir, yaitu Abdul Wahhab.
Usulan ini kemudian disetujui oleh Khalifah. Maka, utusan segera
dikirim kepada kedua saudaranya untuk mengundurkan diri dari jalur suksesi.
Al-Mu’ayyad langsung menyetujuinya. Sementara al-Mu’tazz menolak. Walhasil,
al-Mu’tazz ditangkap dan dipenjara. Lantas al-Mu’ayyad datang membujuknya,
meski dengan berat hati al-Mu’tazz akhirnya setuju.
Di bawah tekanan pasukan Khalifah, masing-masing dari kedua
bersaudara ini menulis surat pengunduran diri sebagai putra mahkota. Mereka
menuliskan apa yang didiktekan untuk mereka. Setelah surat itu diantar kepada
Khalifah, maka Khalifah memanggil keduanya. Di depan publik, dan dijaga ketat
oleh pasukan, Khalifah bertanya:
“Benarkah ini surat dari kalian berdua?”
Al-Mu’ayyad menjawab, “benar dan ini memang kehendak kami sendiri
untuk mengundurkan diri.”
Al-Mu’tazz dipaksa bicara dan hanya menjawab singkat membenarkan
itu surat yang mereka tulis.
Begitulah hebatnya konspirasi politik yang dilakukan oleh
al-Muntashir dan pasukannya. Mereka memaksa kedua saudaranya untuk mundur, tapi
dikesankan di depan publik bahwa keduanyalah yang dengan rela mengundurkan
diri. Surat tersebut kemudian diserahkan kepada ketua Mahkamah Agung, Ja’far
bin Abdul Wahid. Kejadian ini terjadi pada 27 April 862.
Imam Thabari mencantumkan teks surat pengunduran diri tersebut,
dan saya terjemahkan di bawah ini:
Bismillahirrahmanirrahim
Amirul Mu’minin, al-Mutawakkil ‘ala Allah, semoga Allah
meridhainya, telah menunjuk saya dalam urusan [khilafah] ini, dan telah memberi
ba’iat kepada saya, tanpa persetujuan saya, ketika saya masih kecil. Sekarang
saya memahami kondisi saat ini dan menyadari bahwa saya tidak mampu
menjalakannya dan bukan orang yang tepat untuk menjadi Khalifah. Siapa saja
yang dulu telah telanjur memberikan ba’iat kepada saya, mereka bebas untuk
membatalkannya. Saya bebaskan anda dari ba’iat itu. Saya tidak punya
kesepakatan ataupun perjanjian apa pun dengan anda. Anda bebas dari ikatan
(ba’iat) itu.
Sang wazir, Ibn al-Khasib, kemudian membacakan surat ini dengan
suara keras dan meminta masing-masing dari al-Mu’tazz dan al-Mu’ayyad berdiri
dan menyatakan di depan publik, “Ini adalah dokumen milik saya dan inilah
pernyataan saya. Saksikanlah. Saya bebaskan Anda dari bai’at Anda.”
Khalifah al-Muntashir lantas berdiri dan memuji kedua saudaranya,
“Tuhan memberkati anda dan umat Islam.” Kedua saudaranya kemudian mencium
tangan Khalifah. Berdasarkan surat pengunduran diri ini, maka keesokan harinya
Khalifah al-Muntashir mengirim surat ke semua gubernur dan pejabat militer di daerah,
menjelaskan proses pengunduran diri kedua saudaranya, dan kemudian menyatakan
secara resmi bahwa keduanya tidak lagi berada di jalur suksesi. Sempurnalah
konspirasi ini.
Akan tetapi, kekuasaan al-Muntashir tidak bertahan lama. Anda
hendak membuat makar, namun Allah-lah sebaik-baik pembuat makar (Wamakaru wamakarallah; Wallahu
khairul makirin). Anda punya rencana buruk, Allah pun punya
skenario buruk untuk Anda. Al-Muntashir dengan segala konspirasinya membunuh
ayahnya dan kemudian menyingkirikan kedua saudaranya, ternyata hanya mampu
berkuasa selama enam bulan.
Imam Thabari mencatat mimpi al-Muntashir yang didatangi ayahnya,
al-Mutawakkil, yang kemudian mengecamnya: “Celakalah kamu! Kamu bunuh saya dan
ambil kekuasaan dari saya. Kamu hanya akan menikmatinya beberapa hari, setelah
itu kamu akan masuk neraka!” Dilaporkan bahwa al-Muntashir terguncang setelah
mimpi itu.
Masih dalam catatan Imam Thabari, banyak versi akan kematian
al-Muntashir. Satu cerita menyebutkan bahwa dia diracun oleh perintah Jenderal
Militer Turki yang kesal karena al-Mutawakkil tidak bisa dijadikan boneka
mereka. Tapi dengan apa diracun dan siapa yang meracun? Satu riwayat bilang dia
diracun oleh ahli bedah yang mengoperasi penyakitnya di mana pisau bedahnya
sudah dilumuri racun, dan sebagai upahnya dia menerima 30 ribu dinar dari
Jenderal Turki. Riwayat lain dia diracun saat makan buah di mana pisau untuk
mengupas buah pir itu sudah dilumuri racun. Wa
Allahu a’lam
Yang jelas menjelang wafatnya, al-Muntashir sempat curhat kepada
ibunya, Habasyiyah, “Demi Allah, saya telah kehilangan dunia dan setelahnya
(akhirat). Kubunuh ayahku, maka kini pun aku dibunuh.”
Dia wafat saat berusia sekitar 25 tahun. Al-Muntashir wafat 44
hari setelah menurunkan kedua saudaranya dari jalur suksesi. Lantas bagaimana
dengan nasib Dinasti Abbasiyah? Siapa yang akan menggantikan al-Muntashir?
Bagaimana pula dengan al-Mu’tazz dan al-Mu’ayyad yang sudah telanjur dihapus
dari jalur suksesei? Apakah mereka akan kembali meminta haknya? Bagaimana pula
dengan para Jenderal Turki? Simak bahasan selanjutnya di kolom Jum’at pekan
depan, bi idznillah!
[]
GEOTIMES, 5 Januari 2018
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar