Selasa, 27 Maret 2018

Nadirsyah Hosen: Al-Muntashir: Darah itu Merah, Wahai Khalifah!


Al-Muntashir: Darah itu Merah, Wahai Khalifah!
Oleh: Nadirsyah Hosen

Khalifah kesepuluh Dinasti Abbasiyah, al-Mutawakkil, telah dibunuh dengan tragis lewat konspirasi politik para Jenderal Turki yang disetujui oleh anaknya sendiri, al-Muntashir. Sebelumnya saya kisahkan pula bagaimana Khalifah keenam Abbasiyah, al-Amin bin Harun ar-Rasyid, tewas terbunuh dipenggal kepalanya oleh pasukan saudaranya sendiri, al-Ma’mun. Maka, bertambahlah catatan berdarah persaingan perebutan kekuasaan dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Saudara membunuh saudaranya sendiri; bahkan anak membunuh bapaknya sendiri.

Lantas, bagaimana dengan jalannya pemerintahan Khalifah kesebelas, al-Muntashir, setelah bertakhta dengan membunuh bapaknya sendiri? Simak yuk lanjutan ngaji sejarah politik Islam di bawah ini.

Imam Suyuthi menggambarkan sosok al-Muntashir dengan wajah yang ganteng, hidung mancung, tinggi, gemuk, dan berwibawa serta kharismatik. Sesaat setelah menjadi Khalifah, dia menghapus kebijakan khalifah sebelumnya yang melarang kaum Syi’ah berziarah ke makam Sayidina Husein. Bahkan menurut Imam Suyuthi, tanah fadak—yang pernah menjadi sengketa antara Khalifah Abu Bakar dan Siti Fathimah, putri Nabi—dikembalikan kembali ke keluarga Ali bin Abi Thalib oleh Khalifah al-Muntashir.

Saya ceritakan sebelumnya bagaimana al-Mutawakkil menyiapkan paket penggantinya secara berurutan: al-Muntashir, kemudian al-Mu’tazz, dan nanti dilanjutkan oleh al-Mu’ayyad. Ketika al-Muntashir menjadi khalifah, dia memanggil kedua saudaranya dan meminta keduanya berbai’at kepadanya. Teks bai’at telah disiapkan, dan keduanya membai’at al-Muntashir. Begitu juga khalayak umum. Teks bai’at tersebut dimuat dalam kitab Tarikh Thabari. Saya kutip sebagian isinya:

Bismillahirrahmanirrahim

Anda menyerahkan bai’at anda kepada hamba Allah, al-Muntashir billah, Amirul Mu’minin, dalam kepatuhan dan kepuasan, dengan kesetiaan, penerimaan, dan niat yang tulus; tidak dipaksa melainkan karena persetujuan, sadar bahwa bai’at ini berisikan kepatuhan dan ketaatan kepada Allah, meninggikan agama Allah, kesejahteraan hamba Allah, persatuan umat, dan seterusnya….

Anda tidak akan meragukan, menipu, menyimpang atau perasaan waswas dari Khalifah. Anda akan memperhatikan dan memberi support, kesetiaan, menasihati—secara privat atau terbuka, dan menaati apa pun yang diperintahkan oleh Amirul Mu’minin. Anda akan menjadi sekutu (awliya) dari kawan-kawannya dan musuh dari musuh-musuhnya, baik jauh maupun dekat. Hatimu akan menjadi lisanmu, dan pikiranmu akan menjadi lidahmu, mengikuti apa pun yang diinginkan Amirul Mu’minin untukmu baik sekarang maupun akan datang.

Teks bai’at diakhiri dengan ancaman bagi yang melanggar bai’at sebagai bentuk pelanggaran terhadap Allah, dan hartanya akan disita. Dan Allah menjadi saksi atas bai’at ini.

Jadi, begitulah perbedaannya dengan demokrasi modern saat ini, di mana pemimpin yang diangkat (baik sebagai Presiden atau Perdana Menteri), maka pemimpin itulah yang bersumpah atas nama Tuhan untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Di masa khilafah, kalau pemimpin diangkat sebagai Khalifah, maka rakyatlah yang harus bersumpah—dengan segala konsekuensinya—untuk menaati Khalifah.

Para Jenderal Turki yang semula kesal dengan pudarnya pengaruh mereka di masa al-Mutawakkil sehingga mereka terlibat konspirasi membunuhnya, tentu berharap Khalifah al-Muntashir yang telah mereka bantu naik menjadi khalifah akan bisa mereka kendalikan. Ternyata mereka keliru.

Al-Muntashir mendengar bisikan di kalangan rakyat yang diam-diam merasakan dialah yang berada di belakang pembunuhan ayahnya. Maka, al-Muntashir terang-terangan menimpakan kesalahan atas terbunuhnya al-Mutawakkil kepada para Jenderal Turki. Sang Khalifah berusaha cuci tangan. Sikap ini membuat murka para pimpinan militer.

Al-Muntashir dengan cepat mengonsolidasikan kekuasaannya dengan meminta Jenderal Wasif Turki untuk berangkat ke medan perang melawan Bizantin. Ini membuat Wasif meninggalkan ibu kota Samarra dan tidak bisa melibatkan diri pada jalannya pemerintahan di ibu kota.

Ketika kondisi mulai stabil, Ibn al-Khasib, wazir dari Khalifah al-Muntashir, melobi Jenderal Bugha untuk meyakinkan al-Muntahsir agar mencopot kedua saudaranya (al-Mu’tazz dan al-Mu’ayyad) dari jalur suksesi. Alasannya sederhana, kalau al-Muntashir tidak lagi menjadi Khalifah, maka bisa jadi al-Mu’tazz yang naik menggantikannya akan membalas dendam atas wafatnya ayah mereka, al-Mutawkkil, kepada mereka yang terlibat konspirasi. Mereka usul agar yang meneruskan tampuk kepemimpinan adalah putra al-Muntashir, yaitu Abdul Wahhab.

Usulan ini kemudian disetujui oleh Khalifah. Maka, utusan segera dikirim kepada kedua saudaranya untuk mengundurkan diri dari jalur suksesi. Al-Mu’ayyad langsung menyetujuinya. Sementara al-Mu’tazz menolak. Walhasil, al-Mu’tazz ditangkap dan dipenjara. Lantas al-Mu’ayyad datang membujuknya, meski dengan berat hati al-Mu’tazz akhirnya setuju.

Di bawah tekanan pasukan Khalifah, masing-masing dari kedua bersaudara ini menulis surat pengunduran diri sebagai putra mahkota. Mereka menuliskan apa yang didiktekan untuk mereka. Setelah surat itu diantar kepada Khalifah, maka Khalifah memanggil keduanya. Di depan publik, dan dijaga ketat oleh pasukan, Khalifah bertanya:

“Benarkah ini surat dari kalian berdua?”

Al-Mu’ayyad menjawab, “benar dan ini memang kehendak kami sendiri untuk mengundurkan diri.”

Al-Mu’tazz dipaksa bicara dan hanya menjawab singkat membenarkan itu surat yang mereka tulis.

Begitulah hebatnya konspirasi politik yang dilakukan oleh al-Muntashir dan pasukannya. Mereka memaksa kedua saudaranya untuk mundur, tapi dikesankan di depan publik bahwa keduanyalah yang dengan rela mengundurkan diri. Surat tersebut kemudian diserahkan kepada ketua Mahkamah Agung, Ja’far bin Abdul Wahid. Kejadian ini terjadi pada 27 April 862.

Imam Thabari mencantumkan teks surat pengunduran diri tersebut, dan saya terjemahkan di bawah ini:

Bismillahirrahmanirrahim

Amirul Mu’minin, al-Mutawakkil ‘ala Allah, semoga Allah meridhainya, telah menunjuk saya dalam urusan [khilafah] ini, dan telah memberi ba’iat kepada saya, tanpa persetujuan saya, ketika saya masih kecil. Sekarang saya memahami kondisi saat ini dan menyadari bahwa saya tidak mampu menjalakannya dan bukan orang yang tepat untuk menjadi Khalifah. Siapa saja yang dulu telah telanjur memberikan ba’iat kepada saya, mereka bebas untuk membatalkannya. Saya bebaskan anda dari ba’iat itu. Saya tidak punya kesepakatan ataupun perjanjian apa pun dengan anda. Anda bebas dari ikatan (ba’iat) itu.

Sang wazir, Ibn al-Khasib, kemudian membacakan surat ini dengan suara keras dan meminta masing-masing dari al-Mu’tazz dan al-Mu’ayyad berdiri dan menyatakan di depan publik, “Ini adalah dokumen milik saya dan inilah pernyataan saya. Saksikanlah. Saya bebaskan Anda dari bai’at Anda.”
Khalifah al-Muntashir lantas berdiri dan memuji kedua saudaranya, “Tuhan memberkati anda dan umat Islam.” Kedua saudaranya kemudian mencium tangan Khalifah. Berdasarkan surat pengunduran diri ini, maka keesokan harinya Khalifah al-Muntashir mengirim surat ke semua gubernur dan pejabat militer di daerah, menjelaskan proses pengunduran diri kedua saudaranya, dan kemudian menyatakan secara resmi bahwa keduanya tidak lagi berada di jalur suksesi. Sempurnalah konspirasi ini.

Akan tetapi, kekuasaan al-Muntashir tidak bertahan lama. Anda hendak membuat makar, namun Allah-lah sebaik-baik pembuat makar (Wamakaru wamakarallah; Wallahu khairul makirin). Anda punya rencana buruk, Allah pun punya skenario buruk untuk Anda. Al-Muntashir dengan segala konspirasinya membunuh ayahnya dan kemudian menyingkirikan kedua saudaranya, ternyata hanya mampu berkuasa selama enam bulan.

Imam Thabari mencatat mimpi al-Muntashir yang didatangi ayahnya, al-Mutawakkil, yang kemudian mengecamnya: “Celakalah kamu! Kamu bunuh saya dan ambil kekuasaan dari saya. Kamu hanya akan menikmatinya beberapa hari, setelah itu kamu akan masuk neraka!” Dilaporkan bahwa al-Muntashir terguncang setelah mimpi itu.

Masih dalam catatan Imam Thabari, banyak versi akan kematian al-Muntashir. Satu cerita menyebutkan bahwa dia diracun oleh perintah Jenderal Militer Turki yang kesal karena al-Mutawakkil tidak bisa dijadikan boneka mereka. Tapi dengan apa diracun dan siapa yang meracun? Satu riwayat bilang dia diracun oleh ahli bedah yang mengoperasi penyakitnya di mana pisau bedahnya sudah dilumuri racun, dan sebagai upahnya dia menerima 30 ribu dinar dari Jenderal Turki. Riwayat lain dia diracun saat makan buah di mana pisau untuk mengupas buah pir itu sudah dilumuri racun. Wa Allahu a’lam

Yang jelas menjelang wafatnya, al-Muntashir sempat curhat kepada ibunya, Habasyiyah, “Demi Allah, saya telah kehilangan dunia dan setelahnya (akhirat). Kubunuh ayahku, maka kini pun aku dibunuh.”

Dia wafat saat berusia sekitar 25 tahun. Al-Muntashir wafat 44 hari setelah menurunkan kedua saudaranya dari jalur suksesi. Lantas bagaimana dengan nasib Dinasti Abbasiyah? Siapa yang akan menggantikan al-Muntashir? Bagaimana pula dengan al-Mu’tazz dan al-Mu’ayyad yang sudah telanjur dihapus dari jalur suksesei? Apakah mereka akan kembali meminta haknya? Bagaimana pula dengan para Jenderal Turki? Simak bahasan selanjutnya di kolom Jum’at pekan depan, bi idznillah! []

GEOTIMES, 5 Januari 2018
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan dosen senior di Faculty of Law, Monash University

Tidak ada komentar:

Posting Komentar