Jumat, 16 Maret 2018

(Ngaji of the Day) Larangan Debat Berkepanjangan



Larangan Debat Berkepanjangan

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefisinikan debat sebagai “Pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.” Debat semacam ini positif selama kedua belah pihak masih bisa beragumentasi dengan baik. Akan tetapi ketika keduanya sudah dikuasai emosi dan bahkan saling serang pribadi masing-masing, maka perdebatan seamcam ini bisa berkepanjangan dan berpotensi menimbulkan madharat. 

Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah (Dar Al-Hawi, 1994, halaman 147) menjelaskan larangan debat berkepanjangan sebagai berikut:

وعليك بالحذر من المراء والجدال فإنهما يوغران الصدور ويوحشان القلوب ويولِّدان العداوة والبغضاء فإن ماراك أوجادلك محِقٌّ فعليك بالقبول منه, لأن الحق أحق أن يتبع, أو مبطل فعليك بالإعراض عنه, لإنه جاهل والله تعالى يقول: "واعرض عن الجاهلين

Artinya: “Jangan sekali-kali melibatkan dirimu dalam perdebatan berkepanjangan, sebab hal itu akan mengobarkan kemarahan, merusak hati, menimbulkan permusuhan, dan membangkitkan kebencian. Apabila seseorang mendebatmu dengan suatu kebenaran, terimalah, sebab kebenaran selalu lebih patut diikuti. Apabila ia terus mendebatmu dengan suatu kebatilan, berpalinglah dan tinggalkan orang itu, sebab ia adalah seorang jahil, sedangkan Allah SWT telah berfirman, “Berpalingklah dari orang-orang jahil.”

Dari kutipan diatas dapat diuraikan larangan debat berkepanjangan disebabkan berpotensi menimbulkan hal-hal negatif seperti berikut:

Pertama, mengobarkan kemarahan di salah satu atau kedua belah pihak. Hal ini bisa terjadi jika salah satu pihak mulai tidak fokus pada topik pembicaraan tetapi sudah menyerang secara verbal pada pribadi pihak lainnya. Sikap marah dari salah satu pihak biasa dibalas dengan sikap yang sama oleh pihak lainnya.   

Kedua, merusak hati kedua belah pihak karena masing-masing terbakar emosinya. Emosi yang tak terkendali pada akhirnya akan menghilangkan akal masing-masing. Keadaan makin parah ketika masing-masing pihak mulai menggunakan okol (otot) dari pada akal sehingga yang terjadi kemudian adalah adu kekuatan fisik dan bukannya adu mulut. 

Ketiga, menimbulkan permusuhan di antara kedua belah pihak karena pihak yang awalnya merasa menang secara retoris bisa jadi pada akhirnya mengalami kekalahan secara fisik. Hal ini terjadi ketika pihak yang kalah secara retoris ternyata memiliki kekuatan fisik yang lebih kuat. Permusuhan bisa makin melebar jika pihak-pihak yang berdebat merupakan representasi dari suatu kelompok tertentu sehingga menyulut solidaritas kelompok. 

Keempat, menumbuhkan kebencian di antara kedua belah pihak yang sewaktu-waktu dapat membakar emosi mereka. Kebencian yang tak bisa dipadamkan pada akhirnya akan menjadi bara dendam kesumat dan berpotensi melanggengkan permusuhan baik di antara individu yang berdebat maupun anggota kelompoknya. 

Untuk menghindari hal-hal negatif diatas, Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad sangat menekankan agar kita memiliki sportivitas dalam berdebat, yakni bersikap jujur terhadap suatu kebenaran dari pihak lain. Artinya jika pihak lain itu ternyata pendapatnya memang benar, maka secara jujur kita harus bersedia mengakui dan menerimanya. Sikap semacam ini sangat terpuji karena kebenaran dari manapun asalnya harus diterima dan diikuti tanpa memandang siapa yang menyatakannya.  

Sebaliknya, apabila kita menyakini bahwa pendapat kita benar dan pihak lawan bicara pendapatnya salah karena kejahilannya, maka sebaiknya kita segera meninggalkan orang itu karena tidak sepatutnya kebenaran dikaburkan oleh kejahilan dan apalagi dikalahkan oleh kebatilan. Dengan cara seperti ini, maka debat berkepanjangan dapat dihindari sehingga tidak menimbulkan hal-hal negatif sebagaimana disebutkan di atas. Anjuran meninggalkan pihak yang jahil ini sejalan dengan perintah Allah SWT di dalam Al-Qur’an, surah Al-A’raf, ayat 199, “Waa’ridh ‘anil jahilin (Berpalinglah dari orang-orang jahil)." []

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Univeristas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar