Rabu, 28 Maret 2018

(Hikmah of the Day) Kisah Pengalaman Anak Pendeta Wukuf di Arafah


Kisah Pengalaman Anak Pendeta Wukuf di Arafah

Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya bersabda:

عَرَفَةَ مَنْ جَاءَ لَيْلَةَ جَمْعٍ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ الْحَجُّ

Artinya: “Haji itu adalah Arafah (wukuf di Arafah) maka barang siapa yang datang sebelum shalat Subuh dari malam jama’ (malam Mudzdalifah yang mengumpulkan semua jamaah haji di sana) maka sempurnalah hajinya...” (HR Tirmizi, al-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Maksud penggalan hadits tersebut adalah bahwa wukuf di Padang Arafah sedemikian penting melebihi pentingnya rukun-rukun haji lainnya, seperti thawaf mengelilingi Ka’bah di Masjidil Haram, sa’i dari Shafa ke Marwah, dan sebagainya. Seseorang tidak bisa disebut telah melaksanakan ibadah haji jika tidak melaksanakan wukuf ini. Maka mereka yang sakit pun harus datang ke Arafah untuk wukuf meski harus ditandu.

Selain itu, wukuf di Arafah merupakan pertemuan manusia terbesar di dunia yang berlangsung setiap tahun karena pada hari itu seluruh jamaah haji dari seluruh penjuru dunia berkonsentrasi di Arafah. Di Padang Arafah inilah mereka bertemu dan berdoa memohon ridha dan ampunan Allah SWT. Mereka bersimpuh di hadapan Allah dengan harapan-harapan yang sama meskipun mereka berbeda dalam warna kulit, ras, suku, dan bahasa. Di padang Arafah ini pula mereka berbaur menjadi satu dalam kebesaran Allah SWT.

Maka sejatinya esensi dari ibadah haji adalah kesamaan derajat diantara manusia yang disimbolkan dalam pakaian ihram yang tak terjahit. Sedangkan warna putih dari baju ihram itu sendiri menggambarkan kesucian mereka di hadapan Allah SWT. Oleh karena esensi ibadah haji adalah persamaan derajat, maka tidak mengherankan pengalaman spiritual ibadah haji bisa mengubah cara pandang seseorang. Sebagai contoh adalah Malcolm X yang semula sangat rasis kemudian berubah menjadi anti-rasis setelah mendapat pengalaman berharga dari wukuf di Padang Arafah.

Pengalaman tersebut meyakinkan Malcolm X bahwa semua orang adalah sama. Artinya setiap orang adalah setara. Mereka harus saling menghormati dan menghargai satu sama lain meskipun mungkin mereka berbeda dalam hal-hal duniawi, seperti status sosial, warna kulit, budaya, asal usul keturuan dan sebagainya. Hal yang membedakan diantara mereka hanyalah ketakwaan masing-masing kepada Allah SWT. Orang-orang yang telah melaksanakan ibadah haji diharapkan memiliki kesadaran tinggi akan makna kesetaraan ini. Tidak sebaiknya mereka justru lupa akan makna baju ihram yang pernah dipakainya.

Siapakah Malcolm X?

Malcolm X adalah seorang kulit hitam Amerika, anak seorang pendeta Kristen Baptis, yang kemudian memeluk Islam setelah bergabung dengan sebuah organisasi bernama The Nation of Islam. Ini terjadi setelah ia banyak berdiskusi dan membaca buku-buku Islam di balik jeruji besi. Ia dijebloskan ke penjara karena kasus perampokan yang dilakukannya pada tahun 1946 ketika berusia 20 tahun.

Di dalam penjara, ia sangat tertarik terhadap konsep-konsep ajaran Islam. Ia hidup di zaman rasisme Amerika yang berlangsung dari abad 17 hingga tahun 1964 dimana pada waktu itu orang-orang kulit hitam dilarang berbaur dengan orang-orang kulit putih. Mereka diperlakukan secara diskriminatif baik secara sosial, politik, budaya maupun ekonomi.

Sekeluarnya dari penjara pada tahun 1952, ia terus mendalami Islam dan tetap bergabung dengan The Nation of Islam. Organisasi ini terutama beranggotakan orang-orang Afro-Amerika Muslim yang berjuang untuk melepaskan diri dari Amerika Serikat dan berdiri sendiri sebagai negara yang terpisah. Di dalam organisasi ini ia terpilih menjadi juru bicara dan sering memberikan ceramah atau pidato dalam berbagai forum termasuk dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955.

Pengalaman Wukuf di Arafah

Pada tahun 1964, Malcolm X menunaikan ibadah haji di Makkah dan mendapatkan pengalaman yang sangat berharga sewaktu menjalankan wukuf di Arafah. Malcolm X adalah orang yang sangat benci kepada orang-orang kulit putih sebagai reaksi keras atas sikap diskriminatif mereka terhadap orang-orang kulit hitam. Namun, ia terbengong-bengong di Makkah ketika mendapati banyak orang yang sedang menunaikan ibadah haji ternyata berkulit putih, berambut pirang dan bermata biru.

Kenyataan tersebut sangat mengejutkan dirinya sebab di Amerika hal seperti ini tidak ia jumpai. Hal yang ia ketahui sebelum keberangkatnnya ke Tanah Suci adalah bahwa Islam itu bukan agama untuk orang-orang kulit putih, tetapi untuk mereka yang berkulit hitam seperti dirinya dan orang-orang berkulit warna seperti orang-orang Asia.

Puncak kebingungan Malcolm X yang kemudian memberinya pencerahan adalah ketika berwukuf di Padang Arafah di mana ia makan sepiring dengan orang-orang kulit putih. Ia minum dengan gelas yang sama dengan orang-orang kulit putih. Ia istirahat dan tidur sebantal dengan orang-orang kulit putih. Ia sholat berjamaah dengan orang-orang kulit putih. Ia berdoa bersama orang-orang kulit putih.

Orang-orang kulit putih yang ia jumpai sedang beribadah haji itu adalah orang-orang paling putih diantara yang putih. Mereka bermata paling biru diantara yang bermata biru. Mereka berrambut paling pirang diatara yang berambut pirang. Namun mereka semua beragama Islam.

Di sinilah di Padang Arafah Malcolm X menyadari bahwa apa yang ia pahami tentang Islam sebagaimana yang diajarkan di dalam The Nation of Islam belum atau tidak sesuai dengan Surat Al Hujurat ayat 13 sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan besuku-suku agar kalian saling mengenal.

Kata لتعارفوا dalam ayat di atas artinya “supaya saling mengenal”. Kata تعارفوا itu sendiri berasal dari akar kata عرف yang artinya mengenal. Disinilah ada hubungan yang jelas mengapa padang tempat wukuf itu disebut Padang Arafah, yakni karena di padang ini umat Islam seluruh dunia berkumpul menjadi satu pada hari dan tanggal yang sama untuk saling mengenal dengan cara berinteraksi satu sama lain.

Puncak wukuf di Arafah adalah khutbah wukuf. Dalam setiap khutbah wukuf, selalu diperdengarkan khutbah Rasulullah SAW yang pernah beliau sampaikan pada saat melaksanakan Haji Wada` sekitar tahun 10 Hijriyah. Diantara isi khutbah Rasulullah adalah sebagai berikut:

"Wahai manusia, Tuhanmu hanyalah satu dan asalmu juga satu. Kamu semua berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Keturunan, warna kulit, dan kebangsaan, tidak menyebabkan seseorang lebih baik dari yang lain. Orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling takwa. Orang Arab tidak lebih mulia dari yang bukan Arab, sebaliknya orang bukan Arab tidak lebih mulia dari orang Arab. Begitu pula orang berkulit terang dengan orang berkulit hitam; dan sebaliknya orang berkulit hitam dengan orang berkulit terang, kecuali karena takwanya kepada Allah.”

Isi khutbah Rasulullah SAW di atas menyadarkan Malcolm X bahwa Islam yang dia pahami dalam The Nation of Islam belum sesuai dengan Islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Islam ternyata adalah agama universal untuk seluruh bangsa tanpa memandang warna kulit. Maka sekembalinya Malcolm X ke Amerika Serikat dan berganti nama menjadi El-Hajj Malik El-Shabazz, ia menyatakan keluar dari organisasi itu dan mengikuti paham Islam Sunni.

Dikenang sebagai Tokoh Perdamaian

Keluarnya Malcolm X dari The Nation of Islam ternyata justru menaikkan reputasinya sebagai tokoh yang menyerukan persaudaraan diantara sesama manusia tanpa rasisme. Ketokohannya hampir menyaingi popularitas Presiden John F. Kennedey pada waktu itu. Ia tampil sebagai tokoh yang bisa diterima banyak kalangan termasuk mereka yang berkulit putih. Di kemudian hari ia mendapat pengakuan dari pemerintah Amerika Serikat sebagai tokoh perdamaian setelah berakhirnya politik rasisme di negara itu.

Nama Malcolm X pun diabadikan menjadi nama sebuah jalan di kota New York setelah ia tewas tertembus peluru pada tanggal 21 Pebrauri 1965 ketika sedang berpidato. Penembakan itu dilakukan oleh sebuah konspirasi politik yang tidak menginginkan reputasinya terus menanjak menyaingi tokoh-tokoh lainnya di Amerika Serikat, termasuk tokoh-tokoh dalam The Nation of Islam sendiri. Tokoh muda Muslim ini wafat dalam usia 39 tahun. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. []

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar