Kabul, Afghanistan (1)
Oleh: Azyumardi Azra
Kabul, Afghanistan, pengujung Februari 2018. Langit cerah sejak
pesawat memasuki Anak Benua India. Sebagian besar daratan Bangladesh, India,
dan Pakistan terlihat abu-abu kecokelatan. Melintasi Pakistan memasuki wilayah
Afghanistan, hampir tidak terlihat bumi yang menghijau.
Sebagian puncak pegunungan masih terselimuti salju. Menjelang
mendarat, yang terlihat adalah gunung dan bukit kecokelatan; tidak terlihat
kehijauan tetumbuhan dan pepohonan—sejumputan pohon meranggas menunggu musim
semi.
Lanskap Kabul atau sebagian besar Afghanistan kontras dengan tanah
air Indonesia. Jika langit cerah, di kebanyakan bandara manapun, yang terlihat
kehijauan tetumbuhan, pohon, hutan, dan persawahan. Dengan begitu, bumi
Indonesia bukan tidak mirip dengan gambaran surga di dalam Al-Qur’an: taman
menghijau, bebuahan yang ranum, lengkap dengan gemericik air sungai.
Syukur dan bersyukur atas nikmat Allah SWT pada Indonesia. Bukan
hanya atas anugerah bumi dan laut yang indah dan kaya, melainkan juga karena
harmoni dan kerukunan suku-suku bangsa, sosial-budaya, dan agama yang begitu
beragam—kekayaan atau aset yang dapat menjadi liabilities, potensi konflik jika tidak
disikapi secara arif dan bijaksana.
Namun, berkat kearifan warga, Indonesia tidak pernah dilanda
perang antarsuku atau antaragama yang lama dan luas. Jika ada konflik komunal
(agama dan suku), itu terbatas dan berlangsung relatif singkat.
Kabul. Inilah ibu kota negara Islam Afghanistan. Kontras dengan
Indonesia, Afghanistan terkoyak konflik dan perang yang melibatkan berbagai
kekuatan dalam negeri dan asing selama lebih 40 tahun. Sejauh ini, juga belum
terlihat tanda-tanda meyakinkan bahwa konflik dan kekerasan yang telah
mengorbankan ratusan ribu penduduk berakhir; dan sebaliknya perdamaian dan
kedamaian dapat tercipta.
Kabul. Memasuki ibu kota ini, suasana sekuriti sangat ketat.
Polisi dan tentara dengan persenjataan berat beserta tank juga dapat dilihat di
mana-mana. Gedung-gedung pemerintah, properti swasta, dan kompleks kedutaan tak
ubah seperti benteng dengan pagar beton tebal dan tinggi. Jalan raya juga
dipenuhi banyak blokade atau rintangan dengan tembok beton tinggi dan tebal
untuk mengantisipasi kendaraan yang membawa bom bunuh diri, misalnya.
Kabul, kota yang muram dan kusam. Bagian kota lama—mulai
berkembang sejak 1700-1100 SM—di mana Istana Harim Sarai, tempat raja-raja
Afghanistan pernah berdiam dan kini menjadi kantor presiden, dan kedutaan besar
negara asing berlokasi, hampir tidak ada bangunan baru. Kebanyakan bangunan
berlantai satu yang kebanyakan seperti kedai yang semrawut, berantakan, dan
suram.
Itulah pertanda paling telanjang dari konflik, kekerasan, dan
perang yang tidak pernah berhenti melanda Kabul dan pelosok lain Afghanistan
dalam 40 tahun terakhir. Konflik dan perang persis bermula sejak 1978 ketika
pada 28 April 1978, Presiden Muhammad Daud Khan dan seluruh anggota keluarganya
dibunuh kelompok paramiliter pro Uni Soviet di bawah pimpinan Nur Muhammad
Taraki.
Taraki kemudian mengambil alih kekuasaan sebagai presiden sampai
dia juga dibunuh pada September 1979 oleh rivalnya, Hafizullah Amin. Yang
terakhir ini pada gilirannya dibunuh dinas intelijen Soviet; dan pada 24
Desember 1979 Soviet menduduki Kabul dan seluruh wilayah Afghanistan lain.
Sulit membayangkan adanya kota semacam Kabul di tempat lain,
kecuali agaknya di wilayah konflik dan perang semacam Irak, Suriah, atau Yaman.
Jelas, tidak ada padanan suasana konflik dan perang seperti di Kabul dengan
wilayah manapun di Indonesia—bahkan di daerah yang dulu pernah ada konflik
semacam Aceh, Poso, atau Papua.
Penduduk Kabul (kini sekitar 2,6 juta jiwa) tampak sudah terbiasa
dengan konflik dan perang berkelanjutan. Di wilayah kota lama Kabul, banyak
warga terlihat di pinggir jalan—tampaknya tidak punya pekerjaan. Lebih banyak
lagi warga berkerumun di bazar—menjual dan membeli berbagai kebutuhan hidup
sehari-hari. Jalanan di lingkungan bazar macet parah karena sulit mencari
alternatif jalan lain yang kebanyakan diblokir aparat keamanan.
Pemandangan sedikit berbeda terlihat di Kabul baru—di sebelah
timur Kabul lama. Di kawasan ini, terdapat gedung-gedung baru yang sebagiannya
cukup jangkung antara lima sampai 10 lantai. Toko dan kedai juga lebih rapi;
tidak terlihat bazar besar di mana warga berkerumun.
Kawasan Kabul baru ini memiliki makna penting bagi Indonesia dan
Afghanistan. Di kawasan ini, persisnya Ahmad Shah Baba Mina, adalah lokasi
tempat berdirinya Masjid as-Salam, bagian dari Indonesian Islamic Center (IIC)
Kabul yang diresmikan Menlu Retno LP Marsudi, 9 Agustus 2016. Berlokasi di
kawasan di mana masjid lingkungan lain susah ditemukan, kehadiran Masjid
as-Salam sangat strategis dan penting. []
REPUBLIKA, 08 Maret 2018
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA
(Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar