Mempersiapkan Umat Masa Depan
Oleh: Nasaruddin Umar
MEMPERSIAPKAN umat masa depan harus menjadi agenda bersama semua
pihak. Tugas tersebut bukan hanya tugas pimpinan umat beragama, melainkan juga
pemerintah. Pemerintah berkepentingan terpeliharanya umat yang kukuh karena
semakin kukuh umat beragama semakin kukuh pula bangsa Indonesia. Salah satu
sendi Indonesia ialah umat beragama.
Mestinya agenda penyiapan umat masa depan paralel dengan penyiapan
warga bangsa di dalam menghadapi perubahan sosial, terutama yang sering
didengungkan ialah Indonesia pasca-Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kita perlu
secara sadar menyiapkan pangkalan pendaratan umat, khususnya bagi generasi muda
kita. Apa jadinya jika MEA datang dan berlanjut sementara kita masih tenggelam
di dalam sejumlah kerumitan masalah. Boleh jadi kita tidak bisa mengintip
masalah yang sudah di depan rumah karena kita masih sibuk menyelesaikan masalah
di dalam rumah.
Masalah di dalam rumah kita yang pokok antara lain adanya jarak
antara umat dan ajaran agama yang dianutnya. Agama mengajarkan apa, tetapi
keinginan umatnya apa, masih amat berjarak. Hal ini menimbulkan kepribadian
ganda (split personality) yang amat dalam dan susah dideteksi orang banyak.
Penyelesaian masalah umat kita selama ini lebih banyak membicarakan akibat,
bukan sebab yang menyebabkan masalah itu terjadi. Dengan kata lain, kita hanya
lebih banyak bicara tentang sesuatu yang dihilir, bukan penyebabnya yang ada di
hulu. Analoginya, kita lebih banyak sibuk mengusir awan, bukan menyelesaikan
masalah pembakar hutan sehingga pesta pemadaman asap berlangsung secara rutin
di musim kemarau, sebuah musim yang dicari oleh pelancong barat untuk menjalani
musim liburnya.
Sederet masalah dalam rumah lain yang tidak mungkin dimuat di
dalam kolom sempit ini. Di antaranya yang amat mendasar ialah fenomena maraknya
aliran sempalan, seperti sempalan keyakinan, budaya, dan politik. Sudah mulai
muncul saling kafir mengafirkan seperti pemandangan yang terjadi di abad
pertengahan yang mengantar runtuhnya kerajaan-kerajaan Islam. Radikalisme di
dalam beragama sudah masif.
Bukan rahasia lagi di media-midia sosial sudah dikuasai oleh
kelompok garis keras. Sebuah hasil survei menunjukkan forum-forum agama di
Media Sosial 80% didominasi kelompok garis keras. Ironisnya organisasi Islam
besar seperti NU, Muhammadiah, dll tidak antisipatif. Apa jadinya umat kita di
masa depan jika 'guru agama' mereka adalah garis keras?
Masalah sosial lainnya ialah semakin maraknya angka perceraian.
Semenjak 10 tahun lalu penulis meneriakkan masalah ini. Angka perceraian sudah
menembus angka lebih dari 10% per tahun. Artinya, jika perkawinan setiap tahun
2 juta pasang (sama dengan 4 juta orang), tahun tekahir sudah menembus ke angka
115 ribu pasang perceraian per tahun. Bahayanya lagi, perceraian tersebut
didominasi (80%) oleh pasangan usia muda, usia rumah tangga lima tahun ke
bawah. Itu artinya anak-anak mereka masih kecil-kecil, para jandanya masih
mudah, pikiran dan kepribadian belum matang, dan menariknya lagi, 3/4
perceraian itu ialah cerai gugat, artinya istri yang menceraikan suami, yang
risiko hukumnya akan memberatkan kaum perempuan. Tidak mengherankan jika
terjadi perceraian, akan terjadi orang miskin baru, yaitu perempuan (muda) dan
anak-anak. Menjadi janda muda serbasalah di dalam budaya masyarakat Indonesia.
Bersolek salah, tidak juga salah. Keluar rumah salah, tidak keluar rumah lebih
salah. Sementara anak-anak yang tadinya di sekolah unggulan kini terpaksa
sekolah di dekat rumah dengan alasan tidak ada biaya dan tidak ada yang
antar-jemput.
Perceraian
usia dini ini berbanding lurus dengan menaiknya angka nikah siri, yang juga
meninggalkan masalah yang tidak sedikit karena sistem hukum kita di Indonesia
masih sangat tidak memihak kepada perkawinan poligami, apalagi nikah siri.
Istri nikah siri tidak diakui negara. Karena itu, ia tidak bisa mendapatkan
tunjangan apa pun dari suaminya. Anak-anaknya juga demikian halnya. Anak-anak
dari pasangan nikah siri sulit mendapatkan akte kelahiran karena persyaratannya
harus ada akta nikah. Tanpa akta kelahiran yang bersangkutan tidak bisa dicatat
dalam kartu keluarga (KK), tanpa KK tidak mungkin mendapatkan kartu tanda
penduduk (KTP), tanpa KTP tidak mungkin mendapatkan surat izin mengemudi. Orang
tanpa SIM hidupnya sempit. Tanpa KTP juga tidak mungkin dapat paspor, dan tanpa
paspor tidak mungkin bisa menyelesaikan rukun Islam kelima (haji).
Belum lagi masalah kenakalan remaja dan korban kekerasan anak yang
semakin meningkat. Ledakan penduduk yang belum bisa diatasi, polisi kendaraan
tidak simetris dengan kondisi jalan yang tidak simetris, akibatnya kemacetan
bukan saja melumpuhkan jalanan, tetapi melumpuhkan pikiran. Stres dan
ketegangan hidup semakin meningkat. Akibatnya, lingkungan sosial semakin tidak
kondusif untuk bersaing di era MEA. Betapa pun sulitnya tantangan masa depan
kita sebagai umat ataupun sebagai warga bangsa tidak boleh surut di dalam
menghadapi masa depan. []
MEDIA INDONESIA, 16 Maret 2018
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar