Sisi Senyap KH Idham
Chalid
Idham Chalid. Saya
mengenalnya tanpa pernah bersua. Perkenalan dengan tokoh ini bersifat imajiner,
diwariskan oleh orang tua dan orang-orang yang mengenalnya. Kebanyakan dari
mereka berasal dari kota yang sama dengan asal Idham, Amuntai, atau memiliki
hubungan famili dengannya. Dari merekalah kesan mengenai Idham mulai merasuk
pikiran saya.
Idham lahir tahun
1922 dan baru 60 tahun kemudian saya dilahirkan. Suatu masa yang jauh. Selama
itu, Idham telah menjalani kehidupannya, dikenal banyak orang, dikenang dan
diceritakan satu orang pada lainnya. Seperti pada waktu itu, ayah saya
bercerita bahwa dia pernah mengunjungi Idham. Idham menerimanya dengan ramah
dan menceritakan sebagian pengalamannya.
Alkisah, sewaktu
berziarah ke makam Imam Bukhari, Idham didatangi seorang laki-laki tua yang tak
dikenal. Laki-laki itu memberinya selembar kain putih dan menceritakan bahwa
pada malam sebelum pertemuan itu dirinya bertemu Rasulullah dalam mimpi.
Laki-laki itu diperintahkan untuk menyerahkan selembar kain kepada seseorang
yang ciri-ciri fisiknya seperti Idham Chalid. Dengan gembira kain pemberian
laki-laki itu diterima Idham dan dibawanya pulang.
Ayah saya kemudian
diberi Idham sejumput kain tersebut untuk disimpan. Menurut cerita, beberapa
orang yang mengunjungi Idham diberi sangu yang sama. Selain “oleh-oleh”
tersebut, ayah juga diijazahi suatu amalan berupa sejumlah shalawat susunan
Syaikh Muhammad bin Sulaiman al Jazuly. Amalan itu lazim disebut Dalail al
Khairat. Terdiri dari 8 kumpulan shalawat yang disebut hizb.
Masing-masing shalawat diberi nama sesuai nama hari. (Karena hanya ada 7 hari
dalam seminggu) ada 2 hizb untuk hari Senin, disebut Senin Awal dan Senin
Akhir.
Suatu pengalaman
berkaitan dengan amalan ini pernah diceritakan Idham pada cucu keponakannya.
Saat itu sekitar akhir 1997. Cucu keponakan Idham mengunjungi sang kakek.
Seperti biasa, Idham memberinya nasehat, berbagi pengalaman dan tak lupa
memberinya amalan. Adalah Dalail al Khairat amalan yang dianjurkan Idham pada
cucunya untuk dibaca secara rutin setiap hari. Secara khusus Idham menyatakan
bahwa tiga kalimat pertama Dalail al Khairat hizb hari Selasa memiliki
faedah yang luar biasa. “Untuk menghadapi orang yang sulit, bacalah kalimat-kalimat
itu tiga kali dan ditutup dengan salam qaul min rabb ar rahim [Yasin (36) : 58,
pen] tiga kali”, ujar Idham. Idham lalu menceritakan bahwa hal itu telah
dibuktikannya.
Suatu hari di bulan
Januari 1974. Hari itu gedung wakil rakyat diselimuti ketegangan. Para
mahasiswa berhasil merangsek masuk ke dalam gedung megah itu. Mereka
mendudukinya. Teriakan dan yel-yel bergema. Suasana memanas. Para wakil rakyat
kebingungan menghadapi situasi ini. Ada yang berdiri gelisah, ada yang duduk
tak bergerak. Ada yang mondar-mandir tak tentu arah.
Seorang mahasiswa menaiki mimbar dan meneriakkan tuntutan. Ia bicara tentang modal asing yang dianggap berbahaya bagi masa depan Indonesia. Juga tentang asisten pribadi presiden yang kelewat besar wewenangnya. Sebagian mahasiswa lain menduduki tempat yang biasa digunakan oleh ketua-ketua sidang. Awalnya keadaan gaduh, tetapi masih terkendali. Lama-kelamaan para mahasiswa menjadi tak bisa dinegosiasi.
Idham Chalid adalah
pimpinan lembaga perwakilan rakyat saat itu. Dia menjauh dari kursi yang biasa
didudukinya, menuju ke suatu sudut dari gedung itu. Sambil berdiri, ia
menenangkan diri. Lalu, tanpa mengeluarkan suara yang berarti, dibacanya
perlahan kalimat-kalimat dari Dalail al Khairat itu. Amalan itu memang
telah menjadi wiridannya sehari-hari. Beberapa saat kemudian Idham menuju kursi
ketua sidang.
Dengan sikap yang
tenang, namun pasti, Idham menduduki kursinya. Diraihnya pengeras suara dan
berucap: “assalamua’laikum wa rahmatullah wa barakatuh”…
Suasana berubah menjadi
lebih tenang. Masih terdengar suara-suara dari arah bawah, tetapi lambat laun
menghilang. Idham kemudian meneruskan ucapannya hingga selesai.
Dalail al Khairat merupakan amalan yang
“hidup” di daerah Kalimantan Selatan. Amalan ini dibaca di mesjid dan surau
secara rutin. Biasanya, mengiringi atau diiringi dengan pengajian. Tetapi,
tidak jarang dijadikan sebagai acara khusus tanpa tambahan acara lain. Ibu saya
menjadi salah seorang jemaah pembacaan Dalail di mesjid dekat kediaman kami.
Ada pula seorang kiai Banjar yang saya temui menceritakan bahwa dirinya telah
mengamalkan Dalail al Khairat selama 40 tahun atau hampir dua kali lipat
umur saya. Dia memiliki jamaah yang setia dan sekarang, sedikit demi sedikit,
tradisi ini diwariskan kepada generasi mudanya. Dan masih banyak lagi
orang-orang dan tempat-tempat lain yang menjadi saksi ‘hidupnya’ amalan ini.
Saya sendiri
mengenalnya sewaktu menjadi santri sebuah pesantren di Banjarbaru (sekitar 23
KM dari Banjarmasin). Setiap seminggu sekali kami membacanya bersama-sama
dengan dipimpin oleh seorang ustadz. Cara membacanya seperti membaca Al-Qur’an
secara tartil dengan tempo yang relatif cepat. Satu hizb mencapai
belasan halaman atau kira-kira sepanjang satu juz Al-Qur’an. Biasanya
diperlukan waktu antara 30 hingga 45 menit untuk menyelesaikan satu hizb.
Hidupnya amalan ini
barangkali mencerminkan pandangan hidup dan religiusitas masyarakat Banjar.
Pada kiai yang saya sebut di atas saya tanyakan, mengapa mengamalkan Dalail
al Khairat, apa manfaatnya? Dengan sigap dia menjawab bahwa manfaat nyata
dari mengamalkan amalan ini adalah bahwa semua jamaahnya sudah naik haji.
“Hanya seorang saja yang belum, itupun karena alasan khusus: anak-anaknya masih
membutuhkan biaya”, tambah kiai itu. Beliau lalu membukakan bagian doa Dalail
yang isinya permohonan agar dimudahkan untuk menunaikan ibadah ke Tanah
Suci.
Naik haji adalah
cita-cita yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Banjar. Naik haji tidak
hanya persoalan status sosial, yakni ciri kesuksesan seseorang di tengah
masyarakat. Ia juga merupakan pelengkap yang tanpanya hidup terasa tidak
sempurna. Sejak dulu sampai sekarang, orang Banjar khususnya, maupun Nusantara
umumnya, merupakan penziarah terbesar di Tanah Suci.
Idham Chalid
barangkali menangkap fenomena ini. Orientasi religius masyarakat yang tercermin
dalam kegemaran membaca amalan-amalan, maupun cita-cita naik haji
‘difasilitasinya’ dengan memberikan ijazah Dalail al Khairat ataupun
amalan lainnya.
Di antara versi Dalail
al Khairat yang beredar di wilayah Kalimantan Selatan, ada versi ringkas
yang dirujuk kepada Idham Chalid. Versi ini hanya memuat sebagian kecil dari
setiap hizb. Hanya terdiri dari satu-dua halaman, berisi paling banyak
belasan kalimat. Dikutip dari versi lengkapnya, ada yang di awal dan adapula
yang dikutip di tengah-tengah. Pada versi ringkas lainnya ada sedikit
perbedaan, sehingga sedikitnya ada 2 versi Dalail ringkas yang dirujuk
pada Idham. Sumber-sumber saya menyatakan bahwa peringkasan ini dilakukan oleh
Idham Chalid. Saya tidak akan membahas lebih jauh soal peringkasan itu di sini.
Hal itu menjadi kurang penting karena perujukan kepada Idham Chalid itulah yang
menjadi inti dari pembicaraan.
Perujukan ini
menunjukkan ingatan masyarakat tentang Idham Chalid sebagai seorang ulama.
Siapakah yang ‘berani’ meringkas amalan yang terkenal lalu mengijazahkannya
jika bukan seorang yang memiliki pengetahuan mendalam (‘alim)? Atau siapa pula
yang mendapat ‘hadiah dari Rasulullah’ bila ia bukan seorang yang istimewa?
Ingatan macam itulah yang terpatri dalam masyarakat. Ditambah lagi, Idham
pernah memimpin sebuah pesantren besar di Amuntai dan di Jakarta .
Selain sebagai ulama,
Idham juga dikenang sebagai seorang doktor (bukan dokter). Di halaman depan
buku Dalail al Khairat ringkas yang saya dapatkan selalu tercantum
kalimat: “Ijazahnya diambil dari Doktor Kiai Haji Idham Chalid”, dalam ejaan
Arab-Melayu. Jika kiai atau ulama adalah gelar keagamaan, maka doktor adalah
gelar ‘duniawi’ yang diberikan oleh suatu lembaga pendidikan. Idham memiliki
keduanya dan diingat baik sebagai doktor maupun kiai.
Memang ada yang
mengingat beliau sebagai seorang politisi. Kebanyakan dari mereka merasa bahwa
Idham Chalid merupakan guru dan sumber inspirasi dalam kehidupan berpolitik.
Tetapi, jumlah mereka sangat sedikit dan tergolong elite. Sementara, kebanyakan
orang mengingatnya sebagai ulama.
Mengapa sebagai
ulama? Adakah ini berkaitan dengan ‘istana imajiner’, meminjam istilah
al-Jabiri, masyarakat Banjar bahwa menjadi ulama adalah yang paling ideal? Atau
lengkapnya : alim, kaya (dan karenanya bisa naik haji), serta meraih gelar
pendidikan ‘duniawi’? Hal ini tentunya memerlukan studi lebih lanjut. Yang
jelas, jarang sekali orang-orang ingat bahwa Idham pernah menjadi wakil perdana
menteri, memimpin lembaga perwakilan rakyat ataupun DPA. Sepertinya
jabatan-jabatan itu kurang penting. Pokoknya, Idham adalah seorang yang alim,
cukup-ai sudah.
Kini, di atas
pembaringannya, dengan alat bantu pernafasan, Idham terbaring menahan sakit
yang dideritanya selama bertahun-tahun. Untuk bisa bertemu dengannya, seseorang
harus masuk ke kamarnya. Tidak banyak hal lagi yang dapat dilakukannya, dan
namanya sudah jarang disebut-sebut. Namun demikian, keadaan tersebut tidak
menghalangi orang untuk mengingatnya secara berbeda. Mengenangnya lewat sebuah
amalan rutin berupa Dalail al Khairat atau melalui sosok keulamaannya.
Dekat dan akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Cerita-cerita di atas
bukan dimaksudkan untuk penulisan sebuah manaqib yang berisi cerita luar biasa
tentang seorang tokoh. Sungguh, bukan itu maksud saya. Saya ingin memotret
bagaimana seorang Idham Chalid dikenang dan bagaimana kenangan tersebut
disebarkan pada orang-orang.
Masalah
kenang-mengenang ini terasa penting ketika saya menemukan kenyataan jarang
sekali ada tulisan yang secara khusus membahas Idham Chalid. Ketika saya
melakukan penelitian untuk tugas akhir, saya sangat risau. Saya berkeinginan
menulis tentang Idham Chalid, seorang tokoh fenomenal yang kebetulan satu
daerah dengan saya. Pemilihan tokoh ini sesungguhnya bersifat pragmatis. Dalam
pikiran saya, mengangkat tokoh dari daerah yang sama akan lebih mudah. Tapi,
ternyata tak semudah itu.
Sejarah “resmi”
mengenai Idham Chalid yang tertulis di berbagai buku berkaitan dengan
aktivitasnya sebagai politisi dan pimpinan organisasi Muslim tradisional
terbesar - yang pernah menjadi partai politik, di Indonesia. Membahas
organisasi itu hampir tak mungkin tanpa menyebut Idham Chalid yang selama
hampir tiga dekade memimpinnya. Hanya saja, penelitian mengenai organisasi ini
sangat sedikit dan dibarengi dengan nada yang minor. Baru di tahun 1980-an
hingga sekarang, perhatian para peneliti mulai tumbuh dan semakin besar
terhadapnya. Hal ini terutama berkaitan dengan perubahan orientasi organisasi
tersebut, dengan menarik diri dari kehidupan politik praktis. Kemunculan
tokoh-tokoh muda energik yang mewartakan wacana kultural inovatif dan
segar menambah daya tarik organisasi itu. Tetapi, Idham Chalid bukan bagian
dari pembaharu, melainkan seseorang yang “disingkirkan”. Sehingga, wajar kalau
kemudian Idham semakin tersisih dari wacana dan menjadi terlupakan. Hanya dalam
sebuah kajian Greg Fealy yang “mengacak-acak” fase paling politis organisasi
itu, Idham mendapatkan porsi pembahasan yang sesuai.
Keadaan ini
diperburuk dengan hampir tidak ditemukannya suatu tulisan yang membahas
“riwayat hidup” Idham Chalid, kecuali catatan berisi deretan jabatan yang
pernah didudukinya. Semua itu tidak banyak membantu mengkonstuksikan sosoknya.
Padahal, menurut saya, tokoh sefenomenal Idham Chalid pantas mendapat perhatian
lebih.
Hal ini berbeda
dengan tokoh asal Kalimantan Selatan yang juga “menasional”, seperti Kol.
Hassan Basry atau Hasan Basri. Yang pertama adalah pemimpin Gerilya Kalimantan
dan yang kedua merupakan tokoh Masyumi dan pernah menjabat ketua Majelis Ulama
Indonesia di masa Orde Baru. Kedua-duanya satu zaman dengan Idham Chalid. Kol.
Hassan Basry bahkan terhitung murid Idham. Sedangkan Hasan Basri memulai karir
politik tingkat nasionalnya dengan menjadi anggota perwakilan sementara di
tahun yang sama dengan Idham, 1950. Ada banyak buku atau karya ilmiah
yang disusun untuk menjelaskan kedua tokoh tersebut : siapa mereka, bagaimana
perjalanan hidupnya dan apa kontribusinya bagi negara dan masyarakat.
Begitulah, mereka berdua mendapatkannya, sementara Idham tidak. Itulah
adanya.
Namun, ketika pulang
ke Banjarmasin setelah skripsi saya diujikan, saya menemukan kesan yang
berbeda. Cerita-cerita ‘tersembunyi’ yang luput dari rekaman peristiwa sejarah
“resmi” mengenai Idham mulai mengemuka. Cerita-cerita itu memberi kesan yang
berbeda mengenai Idham. Inilah barangkali ‘sisi balik senyap’ Idham Chalid yang
selama ini tersembunyi namun hidup dalam ingatan masyarakat. Tulisan ini hadir
hanya untuk memperkaya pemahaman kita mengenai Idham Chalid. Wallahu A’lam.
Tulisan ini merupakan
epilog dalam buku saya berjudul Idham Chalid: Guru Politik Orang NU (Pustaka
Pesantren-LKiS, 2007)
[]
Ahmad Muhajir,
kandidat doktor Ilmu Politik Australian National University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar