Rabu, 28 Maret 2018

Haedar Nashir: Menjadi Dewasa dalam Berbangsa


Menjadi Dewasa dalam Berbangsa
Oleh: Haedar Nashir

Bani Israel mengalami kekacauan peradaban di tangan diktator Firaun, konglomerat hitam Qarun, dan birokrat korup Hammam. Adolf Hitler, Mussolini, dan para tokoh pongah mengobarkan Perang Dunia II sebagai tragedi kelam dalam sejarah abad modern.

Pada lintasan sejarah bangsa-bangsa di seantero buana selalu hadir sosok-sosok fasad fil-ardl yang merusak tatanan kehidupan. Jenghis Khan mengobarkan ekspansi yang mengalirkan darah jutaan insan. Prancis hancur di tangan rezim otoritarian Raja Luis XVI. Vietnam menjadi “The Killing Field” atau ladang pembantaian oleh tangan besi rezim Pol-Pot.

Dunia akhir-akhir ini juga menjadi gaduh oleh kepongahan presiden negara adidaya yang menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel secara sepihak. Sikap politik ultraradikal tersebut kian menambah arogansi Israel yang terus mengobarkan agresi di Timur Tengah. Sebuah kepongahan politik global yang sampai kapan pun akan menjadi sumber petaka kehidupan antarbangsa.

Sederet petualang dan pialang politik masih dapat didaftar dari A sampai Z di negeri mana pun. Mungkin tidak selalu memiliki posisi puncak dalam kekuasaan, tetapi memiliki sikap digdaya ala Hitler atau Firaun. Virus kuasa menjalar dalam dirinya hingga merasa paling perkasa untuk menebar ancaman dan berbuat sekehendaknya.

Para elite dan anak bangsa perlu belajar sejarah dari bangsa-bangsa lain dan di negeri sendiri dari sejumlah petistiwa dramatis akibat ulah sosok-sosok angkuh yang merasa paling berkuasa. Sikap pongah karena kuasa takhta, harta, ilmu, dan kedudukan apa pun yang menjadikan dirinya perkasa sering menyeret kehidupan pada anarki, yang serbagaduh dan kacau.

Virus digdaya

Takhta, harta, ilmu, dan segala kuasa dunia dapat menjadikan manusia pongah diri. Meski kuasa atas segala perhiasan dunia itu sifatnya nisbi dan fana, tidak jarang manusia lupa diri seraya menjadikannya mutlak dan abadi. Dari persepsi kuasa dunia yang diabsolutkan itulah tumbuh benih pongah, angkuh, sombong, dan takabur diri. Lalu lahirlah sikap-sikap sewenang-wenenang dan sekehendak diri yang melampaui takaran. Si empunya di mana pun dia berada selalu merasa diri paling digdaya.

Virus takabur diri mekar karena manusia merasa digdaya atau serbakuasa. Firman Allah yang artinya: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serbacukup.” (QS al-‘Alaq: 6-7).

Dalam hadis Nabi, ciri orang pongah atau takabur ialah batharu al-haq (menolak kebenaran) dan ghamtu al-nas (merendahkan orang lain). Dirinya merasa paling benar sehingga tidak mau menerima pandangan orang lain. Pendapat apa pun salah jika datang dari pihak lain meskipun isinya benar.

Sebaliknya, jika keluar dari kalangan sendiri, selalu dianggap benar meskipun salah. Salah dan benar bukan dari substansinya, melainkan dari mana datang muasalnya. Kebenaran menjadi sangat situasional bergantung pada subjeknya. Akibatnya, tak ada objektivitas dan keadilan, yang muncul subjektivitas dan sikap berat sebelah.

Sikap pongah juga ditunjukkan dengan perangai suka merendahkan orang lain. Karena merasa hebat dan kuasa, maka siapa pun direndahkan posisi dan martabatnya agar dirinya tetap kokoh. Mereka yang bertakhta memperlakukan buruk kepada siapa pun yang ada di bawahnya.

Mereka yang berharta memperlakukan kaum papa sekehendaknya, bahkan mengeksploitasinya. Mereka yang berilmu tinggi merendahkan orang awam dan siapa pun yang dianggap rendah pengetahuannya. Kepongahan itulah yang menjadikan siapa pun berperangai sewenang-wenang, rakus, dan ugal-ugalan seolah dirinya pemilik dan penentu segala denyut nadi kehidupan di muka bumi.

Kepongahan sebenarnya tidak menunjukkan kedigdayaan manusia, tetapi menggambarkan belum akil-balignya sang subjek selaku insan dewasa. Nabi bersabda yang artinya, “Orang pandai ialah orang yang rendah hati dan beramal untuk bekal sesudah mati. Dan orang bodoh ialah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan mengharapkan kepada Allah dengan berbagai harapan dan angan-angan hampa.” (HR Bukhari).

Sikap pongah itu meniru perangai Fuehrer dan Firaun yang secara langsung maupun tak langsung menunjukkan luruhnya jiwa hanif pada diri seseorang selaku makhluk Tuhan yang mulia.

Sungguh tak ada guna bersombong diri, baik dengan sesama Muslim maupun pihak lain. Sikap takabur itu sesungguhnya menunjukkan kedunguan manusia. “Dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan berlagak sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi, dan engkau tidak akan dapat menyamai setinggi gunung-gunung.” (QS al-Isra: 37).

Demikian peringatan Tuhan kepada siapa pun yang pongah dalam hidupnya. Nabi pun mengingatkan, ”Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada sifat sombong walaupun hanya seberat biji sawi.” (HR Muslim).

Namun, virus kepongahan selalu bersembunyi dalam diri setiap insan yang merasa dirinya benar dan digdaya. Apakah pejabat, ilmuwan, hartawan, tokoh agama, hingga rakyat biasa jika terkena virus takabur diri sama perangainya berbuat sekehendaknya.

Dalam memperjuangkan kebenaran sekalipun, mereka yang terjangkiti virus takabur merasa paling benar sendiri sehingga menjadi true believer atau pemilik keyakinan buta yang berlebihan terhadap pikirannya sendiri. Dialah yang paling benar, pihak lain salah, sehingga selalu bersikap absolut paling benar sendiri.

Kuasa harta berlimpah dapat pula menjadikan siapa pun sebagai monster kehidupan ala Qarun. Segala aset bumi, air, udara, dan kekayaan negeri dikuasainya secara rakus hingga seluruh sudut negara menjadi miliknya. Mereka sedikit tetapi menurut World Bank dapat menguasai 55,5 persen kekayaan Indonesia.

Kelompok kecil ini dapat membeli apa pun, bahkan menjadi pemilik modal atau bohir dalam setiap kontestasi politik. Kuasa ekonomi berlebih inilah yang menyebabkan kesenjangan sosial tinggi dan mayoritas rakyat sengsara.

Kepongahan karena kuasa takhta tak kalah garang. Dengan kuasa di tangan, siapa pun secara leluasa dapat mengancam dan menentukan nasib orang lain secara semena-mena. Di masa Orde Lama, para ilmuwan kritis seperti Buya Hamka dan HB Jassin dipenjara. Rezim Orda Baru di ujung kekuasaannya juga mempraktikkan politik tangan besi.

Kedudukan tinggi sering membuat orang ugal-ugalan. Salah dan benar tidak peduli, yang penting perkasa. Negara dan bangsa seolah miliknya sendiri, lupa kalau negeri ini milik bersama seluruh komponen dan warga bangsa.

Padahal, sejatinya kekuasaan yang ada di tangan siapa pun itu sungguh fana, tiada yang mutlak dan abadi. Kekuasaan itu titipan Tuhan yang bisa diberikan atau sebaliknya dicabut kapan pun oleh-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah, ‘Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.’” (QS Ali ‘Imrân: 26).

Lalu, untuk apa sebenarnya manusia takabur diri dan merasa paling digdaya?

Spirit kebersamaan

Di negeri ini tak boleh ada orang atau golongan pongah yang bersikap paling benar dan digdaya sendiri. Indonesia itu milik semua, ia tegak di atas bangunan kebersamaan. Mereka yang mendapatkan mandat kekuasaan penting memberikan ruang bagi pihak yang di luar pemerintahan untuk menjalankan fungsi kritik dan berkontribusi membangun negeri sehingga tidak monolitik dan bersikap otoritarian.

Sebaliknya, siapa pun yang ada di luar pagar pemerintahan perlu belajar lapang hati dan tetap berkhidmat membangun bangsa dengan jiwa kenegarawanan tinggi. Satu sama lain dalam posisi yang berbeda dapat saling berkomunikasi, berdialog, saling kritik secara argumentatif, berbagi, dan sama-sama berkhidmat untuk negeri secara elegan layaknya para negarawan demi kejayaan bangsa dan negara.

Mereka yang besar mengayomi yang kecil, yang kecil menghormati yang besar. Kebersamaan dibangun di atas perbedaan tanpa perlu menyatukan keberbedaan menjadi satu warna. Mereka yang memiliki akses dan aset besar secara ekonomi dan politik mesti mau berbagi dan berkiprah menegakkan keadilan sosial bagi semua serta menjauhi sikap rakus yang tak berkesudahan.

Golongan mana pun penting untuk saling asah, asih, dan asuh secara autentik dan tidak mengembangkan sikap dan tindakan manipulasi yang merusak keutuhan berbangsa bernegara. Keberagaman itu anugerah Allah yang mesti dirawat dan diberi makna luhur secara tulus dan jujur untuk kehidupan bersama.

Bung Karno memberi pesan luhur untuk seluruh anak bangsa, “Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua."

Maka ketika ada keresahan di tubuh bangsa ini akan berbagai ketimpangan dan ketidakadilan, semuanya perlu berintrospeksi diri. Jangan ada siapa pun di negeri ini yang bebas dalam keserakahan dan kerakusan, yang menyebabkan mayoritas anak bangsa hidup tak beruntung dan menjadi budak di negerinya sendiri. Indonesia tidak boleh dibiarkan menjadi milik segelintir orang yang tidak bertanggungjawab.

Para tokoh bangsa juga dituntut jiwa kenegarawanannya untuk mendahulukan kepentingan negara dan rakyat di atas segalanya. Bukan menuruti ego sendiri yang berlebihan. Beri keteladanan untuk satu sama lain saling mau bersilaturahmi, berdialog, bekerja sama, dan saling berbagi layaknya para negarawan sejati. Luruhkan ego-ego perkasa yang merasa diri paling benar dan digdaya seraya bangun kebersamaan antartokoh yang dapat memimpin bangsa ini makin maju dan berkeunggulan. Bukan saling menajamkan perbedaan dan silang sengketa yang menjadikan retak sesama anak bangsa serta membawa pada runtuhnya bangunan berbangsa dan bernegara.

Pada keyakinan buta setiap orang, di mana pun tidak akan pernah ada ruang dialog dan saling bertukar pandangan, yang mencuat ialah sikap saling memaksakan dan menegasikan. Pandangan ultranasionalis, ultraagamis, ultraideologis, serta berbagai pikiran ekstrem atau radikal pun keluar dari kepongahan jenis ini.

Masing-masing merasa benar sendiri sambil menutup diri dalam sangkar-besi apologia yang naif, kerdil, dan pongah. Setiap pikiran dan ujaran pun disertai aura marah dan keangkuhan. Ilmuwan pun dapat berubah menjadi kaum apologia yang angkuh dengan kuasa-ilmunya karena tak menyertakan kearifan dan sikap budi luhur.

Belajarlah pada sudut kelam dari sejarah bangsa ini agar tak diulangi hari ini. Para tokoh bangsa yang bersuara kritis digiring ke penjara karena berbeda pandangan dengan penguasa. Tak perlu ada palu godam keangkuhan kuasa dalam menyikapi suara kritis dan perbedaan pandangan.

Sikap kritis para elite pun tetap meniscayakan kearifan agar tampak elok dan berjiwa negarawan, seraya lapang hati membuka ruang dialog yang mencerahkan tanpa merasa benar sendiri. Semua pihak perlu saling menundukkan diri dalam keagungan sikap kenegarawanan sejati demi menjaga keutuhan dan masa depan negeri yang sarat masalah dan tantangan tak ringan.

Belajar pula pada jiwa kenegarawan tokoh bangsa di masa pergerakan dan awal Indonesia merdeka. Setajam apa pun perselisihan pandangan antara Soekarno dan Mohammad Natsir, keduanya masih membuka dialog dan saling menghormati dalam kenegarawanan yang tinggi. Natsir yang Islamis berkawan dekat dengan J Kasimo, tokoh Katholik yang rendah hati.

Natsir bahkan secara personal berhubungan baik dengan Aidit dan Hatta di kala terlibat dalam perdebatan sengit secara politik dan ideologi. Jejak emas para tokoh bangsa itu dapat menjadi pelajaran berharga bagi para elite bangsa saat ini untuk makin dewasa sebagai garda negarawan dan begawan nan cerdas bijaksana menuju Indonesia milik bersama yang berkemajuan! []

REPUBLIKA, 25 Maret 2018
Haedar Nashir | Ketua Umum Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar