Menjadi Dewasa dalam Berbangsa
Oleh: Haedar Nashir
Bani Israel mengalami kekacauan peradaban di tangan diktator
Firaun, konglomerat hitam Qarun, dan birokrat korup Hammam. Adolf Hitler,
Mussolini, dan para tokoh pongah mengobarkan Perang Dunia II sebagai tragedi
kelam dalam sejarah abad modern.
Pada lintasan sejarah bangsa-bangsa di seantero buana selalu hadir
sosok-sosok fasad fil-ardl
yang merusak tatanan kehidupan. Jenghis Khan mengobarkan ekspansi yang
mengalirkan darah jutaan insan. Prancis hancur di tangan rezim otoritarian Raja
Luis XVI. Vietnam menjadi “The Killing Field” atau ladang pembantaian oleh
tangan besi rezim Pol-Pot.
Dunia akhir-akhir ini juga menjadi gaduh oleh kepongahan presiden
negara adidaya yang menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel secara
sepihak. Sikap politik ultraradikal tersebut kian menambah arogansi Israel yang
terus mengobarkan agresi di Timur Tengah. Sebuah kepongahan politik global yang
sampai kapan pun akan menjadi sumber petaka kehidupan antarbangsa.
Sederet petualang dan pialang politik masih dapat didaftar dari A
sampai Z di negeri mana pun. Mungkin tidak selalu memiliki posisi puncak dalam
kekuasaan, tetapi memiliki sikap digdaya ala Hitler atau Firaun. Virus kuasa
menjalar dalam dirinya hingga merasa paling perkasa untuk menebar ancaman dan
berbuat sekehendaknya.
Para elite dan anak bangsa perlu belajar sejarah dari
bangsa-bangsa lain dan di negeri sendiri dari sejumlah petistiwa dramatis
akibat ulah sosok-sosok angkuh yang merasa paling berkuasa. Sikap pongah karena
kuasa takhta, harta, ilmu, dan kedudukan apa pun yang menjadikan dirinya
perkasa sering menyeret kehidupan pada anarki, yang serbagaduh dan kacau.
Virus digdaya
Takhta, harta, ilmu, dan segala kuasa dunia dapat menjadikan
manusia pongah diri. Meski kuasa atas segala perhiasan dunia itu sifatnya nisbi
dan fana, tidak jarang manusia lupa diri seraya menjadikannya mutlak dan abadi.
Dari persepsi kuasa dunia yang diabsolutkan itulah tumbuh benih pongah, angkuh,
sombong, dan takabur diri. Lalu lahirlah sikap-sikap sewenang-wenenang dan
sekehendak diri yang melampaui takaran. Si empunya di mana pun dia berada
selalu merasa diri paling digdaya.
Virus takabur diri mekar karena manusia merasa digdaya atau
serbakuasa. Firman Allah yang artinya: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia
benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serbacukup.” (QS
al-‘Alaq: 6-7).
Dalam hadis Nabi, ciri orang pongah atau takabur ialah batharu al-haq (menolak
kebenaran) dan ghamtu al-nas
(merendahkan orang lain). Dirinya merasa paling benar sehingga tidak mau
menerima pandangan orang lain. Pendapat apa pun salah jika datang dari pihak
lain meskipun isinya benar.
Sebaliknya, jika keluar dari kalangan sendiri, selalu dianggap
benar meskipun salah. Salah dan benar bukan dari substansinya, melainkan dari
mana datang muasalnya. Kebenaran menjadi sangat situasional bergantung pada
subjeknya. Akibatnya, tak ada objektivitas dan keadilan, yang muncul
subjektivitas dan sikap berat sebelah.
Sikap pongah juga ditunjukkan dengan perangai suka merendahkan
orang lain. Karena merasa hebat dan kuasa, maka siapa pun direndahkan posisi
dan martabatnya agar dirinya tetap kokoh. Mereka yang bertakhta memperlakukan
buruk kepada siapa pun yang ada di bawahnya.
Mereka yang berharta memperlakukan kaum papa sekehendaknya, bahkan
mengeksploitasinya. Mereka yang berilmu tinggi merendahkan orang awam dan siapa
pun yang dianggap rendah pengetahuannya. Kepongahan itulah yang menjadikan
siapa pun berperangai sewenang-wenang, rakus, dan ugal-ugalan seolah dirinya
pemilik dan penentu segala denyut nadi kehidupan di muka bumi.
Kepongahan sebenarnya tidak menunjukkan kedigdayaan manusia,
tetapi menggambarkan belum akil-balignya sang subjek selaku insan dewasa. Nabi
bersabda yang artinya, “Orang pandai ialah orang yang rendah hati dan beramal
untuk bekal sesudah mati. Dan orang bodoh ialah orang yang memperturutkan hawa
nafsunya dan mengharapkan kepada Allah dengan berbagai harapan dan angan-angan
hampa.” (HR Bukhari).
Sikap pongah itu meniru perangai Fuehrer dan Firaun yang secara
langsung maupun tak langsung menunjukkan luruhnya jiwa hanif pada diri
seseorang selaku makhluk Tuhan yang mulia.
Sungguh tak ada guna bersombong diri, baik dengan sesama Muslim
maupun pihak lain. Sikap takabur itu sesungguhnya menunjukkan kedunguan
manusia. “Dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan berlagak sombong, karena
sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi, dan engkau tidak akan dapat
menyamai setinggi gunung-gunung.” (QS al-Isra: 37).
Demikian peringatan Tuhan kepada siapa pun yang pongah dalam
hidupnya. Nabi pun mengingatkan, ”Tidak akan masuk surga orang yang dalam
hatinya ada sifat sombong walaupun hanya seberat biji sawi.” (HR Muslim).
Namun, virus kepongahan selalu bersembunyi dalam diri setiap insan
yang merasa dirinya benar dan digdaya. Apakah pejabat, ilmuwan, hartawan, tokoh
agama, hingga rakyat biasa jika terkena virus takabur diri sama perangainya
berbuat sekehendaknya.
Dalam memperjuangkan kebenaran sekalipun, mereka yang terjangkiti
virus takabur merasa paling benar sendiri sehingga menjadi true believer atau pemilik
keyakinan buta yang berlebihan terhadap pikirannya sendiri. Dialah yang paling
benar, pihak lain salah, sehingga selalu bersikap absolut paling benar sendiri.
Kuasa harta berlimpah dapat pula menjadikan siapa pun sebagai
monster kehidupan ala Qarun. Segala aset bumi, air, udara, dan kekayaan negeri
dikuasainya secara rakus hingga seluruh sudut negara menjadi miliknya. Mereka
sedikit tetapi menurut World Bank dapat menguasai 55,5 persen kekayaan
Indonesia.
Kelompok kecil ini dapat membeli apa pun, bahkan menjadi pemilik
modal atau bohir
dalam setiap kontestasi politik. Kuasa ekonomi berlebih inilah yang menyebabkan
kesenjangan sosial tinggi dan mayoritas rakyat sengsara.
Kepongahan karena kuasa takhta tak kalah garang. Dengan kuasa di
tangan, siapa pun secara leluasa dapat mengancam dan menentukan nasib orang
lain secara semena-mena. Di masa Orde Lama, para ilmuwan kritis seperti Buya
Hamka dan HB Jassin dipenjara. Rezim Orda Baru di ujung kekuasaannya juga
mempraktikkan politik tangan besi.
Kedudukan tinggi sering membuat orang ugal-ugalan. Salah dan benar
tidak peduli, yang penting perkasa. Negara dan bangsa seolah miliknya sendiri,
lupa kalau negeri ini milik bersama seluruh komponen dan warga bangsa.
Padahal, sejatinya kekuasaan yang ada di tangan siapa pun itu
sungguh fana, tiada yang mutlak dan abadi. Kekuasaan itu titipan Tuhan yang
bisa diberikan atau sebaliknya dicabut kapan pun oleh-Nya, sebagaimana
firman-Nya: “Katakanlah, ‘Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan
kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari
orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan
Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala
kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.’” (QS Ali ‘Imrân:
26).
Lalu, untuk apa sebenarnya manusia takabur diri dan merasa paling
digdaya?
Spirit kebersamaan
Di negeri ini tak boleh ada orang atau golongan pongah yang
bersikap paling benar dan digdaya sendiri. Indonesia itu milik semua, ia tegak
di atas bangunan kebersamaan. Mereka yang mendapatkan mandat kekuasaan penting
memberikan ruang bagi pihak yang di luar pemerintahan untuk menjalankan fungsi
kritik dan berkontribusi membangun negeri sehingga tidak monolitik dan bersikap
otoritarian.
Sebaliknya, siapa pun yang ada di luar pagar pemerintahan perlu
belajar lapang hati dan tetap berkhidmat membangun bangsa dengan jiwa
kenegarawanan tinggi. Satu sama lain dalam posisi yang berbeda dapat saling
berkomunikasi, berdialog, saling kritik secara argumentatif, berbagi, dan
sama-sama berkhidmat untuk negeri secara elegan layaknya para negarawan demi
kejayaan bangsa dan negara.
Mereka yang besar mengayomi yang kecil, yang kecil menghormati
yang besar. Kebersamaan dibangun di atas perbedaan tanpa perlu menyatukan
keberbedaan menjadi satu warna. Mereka yang memiliki akses dan aset besar
secara ekonomi dan politik mesti mau berbagi dan berkiprah menegakkan keadilan
sosial bagi semua serta menjauhi sikap rakus yang tak berkesudahan.
Golongan mana pun penting untuk saling asah, asih, dan asuh secara
autentik dan tidak mengembangkan sikap dan tindakan manipulasi yang merusak
keutuhan berbangsa bernegara. Keberagaman itu anugerah Allah yang mesti dirawat
dan diberi makna luhur secara tulus dan jujur untuk kehidupan bersama.
Bung Karno memberi pesan luhur untuk seluruh anak bangsa, “Kita
hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan
buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi
semua buat semua."
Maka ketika ada keresahan di tubuh bangsa ini akan berbagai
ketimpangan dan ketidakadilan, semuanya perlu berintrospeksi diri. Jangan ada
siapa pun di negeri ini yang bebas dalam keserakahan dan kerakusan, yang
menyebabkan mayoritas anak bangsa hidup tak beruntung dan menjadi budak di
negerinya sendiri. Indonesia tidak boleh dibiarkan menjadi milik segelintir
orang yang tidak bertanggungjawab.
Para tokoh bangsa juga dituntut jiwa kenegarawanannya untuk
mendahulukan kepentingan negara dan rakyat di atas segalanya. Bukan menuruti
ego sendiri yang berlebihan. Beri keteladanan untuk satu sama lain saling mau
bersilaturahmi, berdialog, bekerja sama, dan saling berbagi layaknya para
negarawan sejati. Luruhkan ego-ego perkasa yang merasa diri paling benar dan
digdaya seraya bangun kebersamaan antartokoh yang dapat memimpin bangsa ini
makin maju dan berkeunggulan. Bukan saling menajamkan perbedaan dan silang
sengketa yang menjadikan retak sesama anak bangsa serta membawa pada runtuhnya
bangunan berbangsa dan bernegara.
Pada keyakinan buta setiap orang, di mana pun tidak akan pernah
ada ruang dialog dan saling bertukar pandangan, yang mencuat ialah sikap saling
memaksakan dan menegasikan. Pandangan ultranasionalis, ultraagamis,
ultraideologis, serta berbagai pikiran ekstrem atau radikal pun keluar dari
kepongahan jenis ini.
Masing-masing merasa benar sendiri sambil menutup diri dalam
sangkar-besi apologia yang naif, kerdil, dan pongah. Setiap pikiran dan ujaran
pun disertai aura marah dan keangkuhan. Ilmuwan pun dapat berubah menjadi kaum
apologia yang angkuh dengan kuasa-ilmunya karena tak menyertakan kearifan dan
sikap budi luhur.
Belajarlah pada sudut kelam dari sejarah bangsa ini agar tak
diulangi hari ini. Para tokoh bangsa yang bersuara kritis digiring ke penjara
karena berbeda pandangan dengan penguasa. Tak perlu ada palu godam keangkuhan
kuasa dalam menyikapi suara kritis dan perbedaan pandangan.
Sikap kritis para elite pun tetap meniscayakan kearifan agar
tampak elok dan berjiwa negarawan, seraya lapang hati membuka ruang dialog yang
mencerahkan tanpa merasa benar sendiri. Semua pihak perlu saling menundukkan
diri dalam keagungan sikap kenegarawanan sejati demi menjaga keutuhan dan masa
depan negeri yang sarat masalah dan tantangan tak ringan.
Belajar pula pada jiwa kenegarawan tokoh bangsa di masa pergerakan
dan awal Indonesia merdeka. Setajam apa pun perselisihan pandangan antara
Soekarno dan Mohammad Natsir, keduanya masih membuka dialog dan saling
menghormati dalam kenegarawanan yang tinggi. Natsir yang Islamis berkawan dekat
dengan J Kasimo, tokoh Katholik yang rendah hati.
Natsir bahkan secara personal berhubungan baik dengan Aidit dan
Hatta di kala terlibat dalam perdebatan sengit secara politik dan ideologi.
Jejak emas para tokoh bangsa itu dapat menjadi pelajaran berharga bagi para
elite bangsa saat ini untuk makin dewasa sebagai garda negarawan dan begawan
nan cerdas bijaksana menuju Indonesia milik bersama yang berkemajuan! []
REPUBLIKA, 25 Maret 2018
Haedar Nashir | Ketua Umum Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar