Jumat, 16 Maret 2018

BamSoet: Produktivitas Pekerja dan Kesejahteraan



Produktivitas Pekerja dan Kesejahteraan
Oleh: Bambang Soesatyo

KLAIM pemerintah tentang meningkatnya produktivitas pekerja Indonesia melahirkan pertanyaan tentang relevansinya dengan kesejahteraan pekerja. Apakah komunitas pekerja juga menikmati nilai tambah dari peningkatan produktivitas itu?

Sepanjang pekan pertama Maret 2018 ini pemerintah menyoal isu atau masalah ketenagakerjaan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoal perlakuan terhadap tenaga kerja asing (TKA) dengan kualifikasi tertentu. Presiden mendorong para menteri untuk tidak terlalu kaku dalam menyikapi kebutuhan TKA dengan kualifikasi khusus. Pemerintah harus luwes jika investasi baru memang butuh TKA dengan keahlian khusus.

"Pasar tenaga kerja sudah melewati batas-batas negara. Kita banyak mengirim tenaga kerja atau sering kita sebut sebagai buruh migran ke berbagai negara di Timur Tengah, di Asia Tenggara, maupun di Asia Timur, dan pada saat yang bersamaan sejalan dengan masuknya investasi kita juga menerima masuknya tenaga kerja asing dengan kualifikasi tertentu yang dibutuhkan dalam proses investasi," kata Presiden saat membuka rapat terbatas (ratas) soal TKA di Jakarta, Selasa (6/3).

Menindaklanjuti perintah Presiden itu, pemerintah merancang peraturan presiden (perpres) yang menjadi payung hukum bagi TKA dengan keahlian khusus. Perpres itu akan membuat mekanisme baru proses perizinan hingga pengawasan terkait TKA khusus. Dipastikan bahwa TKA bisa diterima untuk jenis pekerjaan yang belum ada di Tanah Air.

Pada hari yang sama, Kementerian Tenaga Kerja juga memublikasikan progres produktivitas pekerja Indonesia. Di sela-sela Conference and Workshop on Innovation Development di Jakarta, pejabat Kemenaker mengemukakah pada 2015 produktivitas per pekerja Indonesia mencapai USD24,3 ribu. Angka ini dua kali lipat lebih tinggi dibanding produktivitas pada 1990. Artinya, selama 25 tahun produktivitas Indonesia tumbuh 3,1% per tahun. Gambaran ini diambil dari data Asian Productivity Organization (APO). Hampir sama dengan APO, The Conference Board dalam Total Economy Database mencatat produktivitas per pekerja Indonesia pada 2017 telah menembus USD24,6 ribu.

Berdasarkan data-data itu, produktivitas per pekerja Indonesia saat ini berada di peringkat 11 dari 20 negara anggota APO. Sementara di lingkungan ASEAN, produktivitas per pekerja Indonesia di peringkat keempat. Daya saing Indonesia di peringkat ke-36 di antara 137 negara. Sedangkan di lingkungan ASEAN, Indonesia berada di peringkat keempat dari sembilan negara ASEAN yang tercatat dalam The Global Competitiveness Report 2017-2018.

Memang, jika diperbandingkan dengan banyak negara lain, termasuk di lingkungan ASEAN, progres data tentang peringkat produktivitas dan daya saing Indonesia itu belum cukup memuaskan. Agar bisa menjadi pemain utama di kancah perekonomian global, produktivitas pekerja Indonesia harus terus dipacu. Kemenaker pun merekomendasikan agar kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia terus ditingkatkan. Inovasi, pemanfaatan teknologi, dan perbaikan manajemen menjadi faktor-faktor yang penting untuk terus dieksplorasi guna meningkatkan produktivitas dan daya saing nasional.

Saat ini tantangannya adalah bagaimana menjaga keberlangsungan peningkatan grafik produktivitas pekerja Indonesia (sustainable productivity ) itu. Tentu saja syarat utamanya adalah terjaganya stabilitas nasional yang memungkinkan terwujudnya kegiatan produksi yang kondusif. Tentang stabilitas nasional dan kondusivitas ini, biarlah menjadi porsi pemerintah, Polri, dan TNI serta aparatur penegak hukum yang mengelolanya. Sedangkan pekerjaan meningkatkan produktivitas pekerja menjadi ranah para pemimpin perusahaan.

Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa produktivitas pekerja sangat ditentukan oleh kualitas kebijaksanaan manajemen perusahaan dalam memperlakukan karyawan atau para pekerjanya. Kualitas kebijakan itu tentu saja harus selalu berpijak pada prinsip keseimbangan. Dalam arti, mampu menyejahterakan pekerja dan mampu terus menumbuhkembangkan bisnis perusahaan sesuai dengan tantangan yang akan dihadapi pada tahun-tahun berikutnya.

Nilai Tambah

Informasi dan data mengenai peningkatan produktivitas pekerja Indonesia itu patut diapresiasi. Namun, gambaran tentang progres produktivitas itu sudah barang tentu menghadirkan pertanyaan tentang relevansinya dengan kesejahteraan pekerja Indonesia. Menjadi konsekuensi logis jika produktivitas naik, kesejahteraan pekerjaan pun idealnya membaik pula.

Maka itu, jika produktivitas pekerja Indonesia tumbuh sebesar 3,1% per tahun, apakah persentase pertumbuhan itu punya nilai tambah bagi perbaikan kesejahteraan pekerja Indonesia? Publik tentu berharap Kemenaker juga punya penjelasan atas pertanyaan ini. Pertanyaan ini patut dikedepankan karena hampir setiap tahun pekerja dan manajemen perusahaan bersama pemerintah daerah harus berdebat ketika menetapkan upah minimum provinsi (UMP).

Contohnya di Jakarta. Ketika pada Oktober 2018 Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menetapkan UMP DKI Jakarta 2018 sebesar Rp3.648.035, ketetapan ini diprotes pekerja. Para pekerja yang kecewa melancarkan demo, menuntut besaran UMP Rp3,9 juta. Selain itu, setiap kali memperingati hari buruh, para pekerja pun selalu berdemo. Pada 2017 para pekerja menuntut penghapusan pola outsourcing  dan sistem magang, menuntut jaminan sosial pekerja, dan menolak upah murah.

Artinya, pekerja Indonesia masih fokus pada aspirasi dan perjuangan mereka untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL). Pertanyaannya adalah apakah pertumbuhan produktivitas pekerja  Indonesia yang 3,1% per tahun itu belum cukup untuk memenuhi KHL? Kalau KHL belum tercapai, berarti pekerja Indonesia belum sejahtera. Sekali lagi, data tentang pertumbuhan produktivitas pekerja itu patut diapresiasi. Tetapi, data itu saja tidak cukup. Pada akhirnya, data itu harus bisa memberi makna lebih kepada pekerja. Pertumbuhan produktivitas pekerja idealnya juga mampu memperbaiki kualitas kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Data mengenai pertumbuhan produktivitas pekerja Indonesia itu bukan tidak mungkin akan digunakan serikat-serikat pekerja untuk menaikkan daya tawar mereka dalam memperjuangkan besaran UMP di tahun-tahun mendatang. Pemerintah dan dunia usaha harus bisa menyiapkan jawaban yang masuk akal, agar keberlangsungan peningkatan grafik produktivitas pekerja Indonesia itu selalu terjaga.

Bagi Kemenaker sendiri, ada konsekuensi logis yang harus dijalani. Berangkat dari data mengenai pertumbuhan produktivitas pekerja itu, Kemenaker harus semakin gigih mendorong perusahaan-perusahaan meningkatkan kualitas kesejahteraan pekerja. Tentu saja tetap berpijak pada keseimbangan antara menyejahterakan pekerja dengan kepentingan menumbuhkembangkan bisnis perusahaan. Dengan tingkat kesejahteraan yang cukup, pekerja akan lebih tenang dan dedikatif , serta semakin bersemangat dalam upaya mendongkrak produktivitas. []

KORAN SINDO, 13 Maret 2018
Bambang Soesatyo |  Ketua DPR RI/Fraksi Partai Golkar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar