Demokrasi Degeneratif
Oleh: Yudi Latif
Penangkapan para penebar konten-konten hoaks bermuatan ujaran
kebencian dan isu-isu provokatif bermotif politik menyingkap bahaya tersembunyi
dalam demokrasi. Ancaman terhadap demokrasi bukan saja datang dari aneka bentuk
ideologi komprehensif semisal komunisme atau khilafahisme yang secara
sistematis menolak ideal-ideal demokrasi. Ancaman paling nyata justru datang
dari dalam pendukung demokrasi itu sendiri. Yakni, kehadiran suatu bentuk
demokrasi degeneratif (dekaden), yang diperjuangkan oleh aktor-aktor yang
menyuarakan demokrasi dengan cara-cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
demokrasi.
Fenomena paling menonjol dari bentuk demokrasi dekaden yang
melanda dunia saat ini adalah ”populisme”. Seperti digambarkan Jan-Werner
Mueller (2017), populisme adalah konsep-gerakan politik yang menggugah dukungan
rakyat dengan retorika antielitis (antikemapanan) melalui fabrikasi politik
identitas yang eksklusif dan diskriminatif.
Dalam tendensinya ke arah eksklusivisme, aktor populis mendaku
dirinya sebagai representasi asli (sejati) dari rakyat. Sebagai representasi
keaslian, mereka mendefinisikan diri sebagai penjaga moral seraya menuding
lawan politiknya sebagai immoral. Dengan memosisikan rakyat sebagai sumber
kemurnian dan kebajikan moralitas, lawan politik yang dituding immoral itu
dianggap bukan rakyat (pihak asing yang harus disingkirkan).
Berhubung demokrasi memerlukan pluralitas kewargaan serta
kebebasan dan kesetaraan dalam perbedaan, kecenderungan populisme pada
ketunggalan, homogenisasi, dan keaslian mendatangkan ancaman serius bagi
keberlangsungan demokrasi. Dengan penunggalan itu, para populis bukan saja
mendorong polarisasi dan permusuhan atas dasar perbedaan identitas, mereka juga
menuding lawan politiknya sebagai ”musuh rakyat”.
Aktor populis tidak hanya memecah belah rakyat dengan isu- isu
provokatif dan ujaran kebencian selama kampanye, tetapi juga bisa melanggengkan
konflik dan pembelahan setelah meraih kekuasaan. Pemerintahan populis cenderung
melanggengkan politik identitas untuk menutupi kelemahan kinerja
pemerintahannya, mengembangkan kebijakan asal berbeda dari rezim sebelumnya,
dan ”klientelisme massa” (menggunakan birokrasi dan anggaran untuk mendahulukan
kepentingan klien-pendukungnya).
Bangkitnya populisme tidaklah datang dari ruang vakum. Meluasnya
sentimen politik identitas yang eksklusif merupakan arus balik dari cacat
globalisasi dan demokrasi liberal. Globalisasi dengan penetrasi pasar bebas
yang memboncengnya membelah dunia ke dalam pihak ”yang menang” dan ”yang
kalah”, baik secara internasional maupun intranasional. Bermula dari
pusat-pusat kapitalisme internasional, arus globalisasi pada gilirannya bisa
berbalik arah menuju pusat (reverse globalization). Dengan liberalisasi
perdagangan dan investasi berskala global, pasar berkembang begitu bebas yang
melemahkan kemampuan negara-bangsa dan sistem-sistem kesejahteraan untuk
melindungi jalan hidupnya (Hobsbawm, 2007: 4). Situasi inilah yang melambungkan
kesenjangan sosial di berbagai belahan bumi.
Biaya politik
Saat globalisasi menimbulkan kesenjangan sosial, demokrasi liberal
yang menekankan keterpilihan dengan suara terbanyak melambungkan biaya politik.
Dengan biaya politik yang mahal, seleksi kepemimpinan lebih menekankan modal
finansial ketimbang modal moral-sosial. Ketergantungan demokrasi pada pemodal
ini kian melebarkan kesenjangan sosial.
Lebih dari itu, ketika modal finansial lebih menentukan ketimbang
modal moral-sosial, politik sebagai teknik manipulatif mengalami pencanggihan,
tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Dalam kehidupan publik yang
sehat, ada banyak hal yang tak bisa dibeli dengan uang. Namun, dalam demokrasi
padat modal dengan kemunduran nalar etis, hampir semua hal dikonversikan ke
dalam nilai uang.
Tatkala uang menjadi tuan, sedang sebaran uang tidak merata,
kelompok yang merasa tersudut secara ekonomi dan politik cenderung
mengembangkan mekanisme defensif dengan mengonsolidasikan kekuatan-kekuatan
tribus: fundamentalisme, etnosentrisme, premanisme. Meluasnya sentimen tribus
inilah yang dimanfaatkan oleh elite politik oportunis untuk meledakkannya dalam
kobaran populisme.
Rayuan kampanye populisme itu lebih mudah menjalar dalam situasi
masyarakat dengan landasan etis yang rapuh. Di dalam demokrasi lemah etik,
hukum berenang di lautan para perompak; sehingga surplus undang- undang tak
mencegah warga mengembangkan aksi-aksi manipulatif, menyebarkan kebohongan dan
kebencian.
Populisme berikut industri hoaks yang menyertainya juga berkembang
pesat dalam konteks masyarakat dengan nalar literasi dan nalar ilmiah yang
cetek. Budaya demokrasi mengandaikan adanya empati dan argumentasi; yakni
kesanggupan untuk memahami dan menempatkan diri dalam situasi orang lain, serta
kesanggupan mengekspresikan pikiran secara tepat, rasional, dan terukur.
Kemampuan empati dan argumentasi ini bisa ditumbuhkan oleh kekuatan literasi
(Lerner, 1958).
Tanpa nalar ilmiah yang cukup, konten-konten hoaks dikonsumsi dan
disebarkan tanpa prosedur dan kapasitas verifikatif. Dengan lebih meningkatkan
prasyarat formal ketimbang pendalaman nalar ilmiah, sejumlah dosen dan guru
secara menyedihkan menjadi mata rantai penebar hoaks. Banyak orang
berpenampilan pandita untuk ”menjual” ayat dengan harga yang murah;
mengagungkan nama Tuhan dengan disinformasi dan caci maki; membohongi publik
dengan rekayasa gambar dan data.
Populisme tidaklah menghadirkan solusi atas masalah yang
dikritiknya, tetapi sekadar cara reaktif-manipulatif merespons masalah dengan
menimbulkan masalah yang lebih parah. Krisis demokrasi kita hanya bisa diatasi
dengan mengembalikan politik berkeadilan, politik beretik, dan politik bernalar
dalam membangsa dan menegara berlandaskan Pancasila. []
KOMPAS, 08 Maret 2018
Yudi Latif ; Kepala Unit Kerja Presiden
Pemantapan Ideologi Pancasila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar