Kabul, Afghanistan (2)
Oleh: Azyumardi Azra
Masjid as-Salam di Kompleks Indonesia Islamic Centre (IIC) Kabul
adalah simbol kehadiran wasathiyah Islam Indonesia di Afghanistan. Masjid wakaf
dari Pemerintah Indonesia yang berlantai dua itu kini sepenuhnya dikelola ulama
lokal.
Sejak diresmikan 9 Agustus 2016, Masjid as-Salam sudah digunakan
untuk shalat berjamaah lima waktu, ibadah Jumatan, dan Tarawihan pada Ramadhan
lalu. Selain itu, lantai dasar juga sudah digunakan untuk pendidikan anak-anak
belajar mengaji, pengetahuan, dan keterampilan dasar Islam lain.
IIC adalah wujud kehadiran wasathiyah Islam Indonesia yang
menekankan perdamaian dan kerukunan; Islam rahmatan
lil ‘alamin di Afghanistan. IIC juga dilengkapi klinik, yang
peletakan batu pertamanya dilakukan Wakil Presiden Jusuf Kalla (28/2/18) dalam
misi mediasi Indonesia untuk menciptakan perdamaian di Afghanistan. Pada
waktunya nanti, IIC masih dilengkapi lagi dengan perpustakaan dan wisma tamu.
Menyelami IIC di Kabul adalah momen mengharukan; menyaksikan bocah
laki-laki dan perempuan Afghan mengibarkan bendera merah putih kecil menyambut
kedatangan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Inilah bocah-bocah masa depan
Afghanistan, yang pasti memimpikan masa depan yang damai yang lebih baik,
memberikan peluang dan kesempatan bagi mereka untuk "menggapai bintang di
langit".
Bocah Afghan yang berkerumun di IIC sedikit banyak mulai tahu
tentang Indonesia. IIC memberikan tempat bagi mereka untuk mengalami sekeping
Indonesia yang damai dan maju di Kabul. Indonesia sepatutnya tidak mengecewakan
bocah-bocah dan warga Afghanistan.
Sebagai negara besar dari sudut wilayah dan demografi dengan wasathiyah Islamnya,
Indonesia berada dalam posisi tanggung jawab—sesuai amanat Pembukaan UUD
1945—untuk menciptakan perdamaian yang lestari di muka bumi. Tugas mulia yang
kian mendapat banyak tantangan mengingat konflik dan perang yang terus
bergejolak di banyak negara Muslim lain.
Lebih jauh, Indonesia memiliki bobot dan daya tekan (leverage) serta
kredibilitas untuk memainkan peran sebagai mediator untuk peace making. Negeri ini
memiliki pengalaman dalam menyelesaikan konflik internal secara damai dan
berkelanjutan di Aceh, Ambon, dan Poso.
Tak kurang pentingnya, Indonesia adalah negara yang mampu
meningkatkan kemajuan ekonomi, sosial-budaya, dan agama. Kemajuan yang dicapai
Indonesia itu tak lain karena kemampuan menjaga stabilitas politik, keamanan,
dan kohesi sosial.
Berbagai pihak yang terlibat konflik di Afghanistan sudah lama
mengharapkan peran mediasi Indonesia. Pihak-pihak itu mencakup pemerintahan
Afghanistan sendiri dan berbagai faksi Taliban yang terus melakukan perlawanan
terhadap pemerintah.
Presiden Afghanistan dalam kunjungannya ke Indonesia (5-6/4/2017)
menyampaikan harapan bagi peran Indonesia tersebut. Dia menyatakan kekagumannya
pada kedamaian dan harmoni Indonesia yang masyarakatnya yang sangat majemuk;
terdiri atas ratusan suku (714 besar dan kecil) dan beragam tradisi
sosial-budaya serta agama. Sedangkan, Afghanistan yang terdiri
"hanya" dari 17 suku hampir selalu bertikai dan konflik.
Konflik Afghanistan terkait banyak dengan suku-suku (tribes) yang selalu
terlibat dalam kontestasi untuk menguasai kekuasaan tanpa keinginan berbagi (power sharing). Terbagi
menjadi suku Pashtun (42 persen), Tajik (9 persen), Uzbek dan Hazara
(masing-masing 9 persen), dan sejumlah suku kecil lain.
Suku-suku yang umumnya adalah "peasant-tribal society"
(masyarakat suku petani) terlibat dalam kontestasi kekuasaan dengan melibatkan
negara asing. Dominasi suku Pashtun—menguasai Afghanistan dari waktu ke
waktu—enggan berbagi kekuasaan, yang memunculkan perasaan tertindas di kalangan
suku-suku lain yang kemudian bangkit melakukan perlawanan bersenjata.
Selain faktor suku, sumber konflik lain adalah sektarianisme
agama. Mayoritas Afghan adalah pengikut Suni (sekitar 80 persen), sedangkan
pengikut Syi’ah cukup besar (19 persen). Pengikut Syi’ah tidak jarang menjadi
korban persekusi kelompok ekstrem Suni, khususnya Taliban.
Afghanistan dengan 34 provinsi berpenduduk sekitar 32 juta jiwa.
Pengungsi Afghanistan di berbagai negara Asia dan Eropa berjumlah sekitar 2,6
juta orang (UNHCR 2017). Jumlah ini ditambah lagi dengan "pengungsi
internal" (displaced
persons) sekitar dua juta orang.
Pengungsi Afghan terbanyak di Pakistan (sekitar 1,5 juta) dan Iran
(sekitar 1,3 juta jiwa). Sejak runtuhnya kekuasaan Taliban pada akhir 2001,
sekitar lima juta pengungsi Afghan dari berbagai negara kembali (repatriasi) ke
tanah airnya. []
REPUBLIKA, 15 Maret 2018
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA
(Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar