Kajian Fiqih Muamalah
Terapan: Akad
Sebagai makhluk sosial manusia akan
senantiasa berhubungan dengan orang lain. Karena bagaimanapun ia memiliki
tuntutan untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan lawan interaksi sosialnya.
Maksud dari lawan interaksi di sini adalah bisa jadi orang lain, atau bahkan
keluarga sendiri.
Dalam interaksi sosial, secara syariat,
manusia dibatasi oleh upaya memenuhi hak dan kewajiban sebagai wujud tanggung
jawabnya. Tak jarang mereka harus menarik sebuah kesepakatan-kesepakatan
bersama. Proses mendapatkan kesepakatan dan kontrak ini lazimnya adalah disebut
aqad atau dalam bahasa Indonesia, akad. Untuk itu ia memiliki peran pribadi
selaku makhluk aqad dalam kehidupannya.
Karena sifat manusia antara satu dengan yang
lainnya berbeda, maka diperlukan aturan baku yang harus disepakati bersama
dalam rangka menarik kesepakatan atau kontrak tersebut. Tujuan dari penetapan
aturan ini adalah terjaganya hak dan kewajiban masing-masing, menghindari
penjajahan atas hak orang lain, dan penipuan. Bahkan bila terjadi perselisihan,
maka dengan adanya ketetapan aturan ini, akan mudah diurai silang sengkarut
permasalahan dan tanggung jawab masing-masing pihak sehingga konflik relasi
sosial dan kontrak tersebut bisa diatasi bersama dengan saling menguntungkan,
tanpa ada yang dirugikan, ditipu atau merasa dijatuhkan. Inilah maqashid
syari'ah terkait dengan aqad tersebut.
Penejelasan Aqad dalam Fiqih
Dari sudut pandang bahasa, aqad memiliki
bentuk jama’ dari ‘uqûd. Dalam literatur Arab, sinonim aqad adalah rabth,
syaddu, tautsiq, ihkam, quwwah, kumpulan dari dua
hal, dan al ‘ahdu. Mengikuti pengertian bahasa ini, aqad seolah memiliki dua
sisi pengertian, yakni hissi (inderawi) dan ma’nawi (bathin).
Pengertian indrawinya (hissi), adalah sebagaimana ikatan dua ujung tali.
Adapun pengertian ma’nawi dimaknai sebagai ikatan bathin, kontrak sosial,
sebagaimana layaknya pernikahan, jual beli, berserikat, dan sebagainya.
Persamaan dari kedua sudut pandang ini, titik persamaan dari pengertian aqad
adalah berkumpulnya dua benda atau dua hal yang berbeda menjadi satu.
Secara istilah, menurut Ibnu Rajab dalam
kitabnya Al-Qaidah li Ibn Rajab: 73 aqad dalam fiqih dimaknai
sebagai:
العقد
معنيان عام وخاص فالمعنى العام يطلق على كل التزام تعهد به الإنسان على نفسه سواء
كان يقابله التزام آخر أم لا، وسواء كان التزاماً دينياً كالنذر أو دنيوياً كالبيع
ونحوه وأما المعنى الخاص فيطلق العقد على كل اتفاق تم بين إرادتين أو أكثر على
إنشاء التزام أو نقله، فهو لا يتحقق إلا من طرفين أو أكثر، وهذا هو المعنى الغالب
عند إطلاق الفقهاء للعقد في الاصطلاح الفقهي
Aqad ada dua makna, yaitu ‘Am dan Khash.
Makna ‘Am aqad adalah sesuatu yang diucapkan karena adanya komitmen yang harus
dipatuhi oleh diri dari seorang insan, baik ada hubungannya dengan orang lain
atau tidak, termasuk urusan agama seperti nadzar, atau murni duniawi saja
seperti jual beli dan sejenisnya. Adapun makna khas dari aqad adalah, suatu
upaya menjalin kesepakatan yang sempurna (ittifaq tam) antara dua pihak
yang memiliki kehendak atau lebih, agar tumbuh komitmen bersama atau bahan
rujukan. Dengan demikian, maka berdasar pengertian khusus ini, aqad hanya
terjadi bila ada dua pihak atau lebih yang saling berinteraksi. Pengertian
terakhir inilah yang sering dipakai oleh para fuqaha’ untuk memaknai aqad
menurut istilah fiqihnya.
Pengertian di atas diringkas oleh Syekh Ibn
Himam dalam kitabnya Faidlul Qadir 3/187, bahwasanya aqad diartikan
sebagai:
ذكر
الكمال تعريف العقد "مجموع إيجاب أحد المتكلمين مع قبول الآخر . أو كلام
الواحد القائم مقامهما
Syekh Al Kamal menyebut bahwa definisi aqad
adalah “suatu kumpulan antara lafadh ijab dan qabul antara dua orang yang
berbeda. Atau bisa juga diartikan sebagai: “Statemen pertama yang menjadi rule
(aturan).”
Pendapat lain juga dijelaskan oleh Syekh
Muhammad Qadary dalam kitabnya Mursyidul Hairaan, beliau
menyatakan:
العقد
بأنه "ارتباط الإيجاب الصادر من أحد المتعاقدين بقبول الآخر على وجه مشروع
يثبت أثره في المعقود عليه
“Aqad ituu sesungguhnya merupakan rangkaian
dari lafadh ijab dari salah satu dua pihak yang saling beraqad yang disertai
dengan lafadh qabul pihak yang lain menurut cara-cara yang dibenarkan oleh
syara’ serta bersifat mengikat khususnya perihal yang diaqadkan (al-ma’qud
‘alaih).”
Berdasarkan definisi ini, maka bisa ditarik
adanya kesimpulan bahwa dalam aqad terdapat unsur-unsur antara lain (1) shighat
aqad yang terdiri atas lafadh ijab dan qabul, (2) dua pihak atau lebih yang
beraqad, (3) dan perihal yang diaqadkan (al-ma’qûd ‘alaihi).
Urgensi dan Gambaran Praktis Pelaksanaan Aqad
Setiap shighat (pernyataan) aqad
memiliki keterikatan hubungan dengan niat. Seseorang ingin melakukan transaksi
jual beli, maka keinginannya ini adalah hakikatnya niat. Sementara bentuk
transaksinya antara ia dengan pembeli disebut sebagai shighat. Karena
ada hubungan yang erat antara niat dan shighat, maka di sinilah titik berangkatnya
aqad atau biasa disebut maqashid al 'aqdi.
Sebagaimana diketahui bahwa niat memegang
peranan yang sangat penting dalam hukum fiqih. Suatu kontrak/transaksi dihukumi
sebagai benar atau tidak, sah atau tidak, adalah tergantung pada motivasi awalnya
(niat). Jika suatu perbuatan dilakukan dengan niat yang tidak dibenarkan oleh
Allah SWT, maka perbuatan itu dinilai tidak benar (bathil) di dalam kacamata
fiqih/syariah, sehingga otomatis tidak mendapatkan pahala, bahkan dihitung
sebagai kejahatan dan perbuatan dosa.
Dalam aspek hukum, para ulama banyak sekali
menitikberatkan pembahasan pada niat ini serta akibat-akibat yang mungkin
ditimbulkannya. Para ulama juga telah meneliti banyak hal terkait dengan niat
serta hubungannya dengan muamalah atau ibadah yang berhubungan dengan fiqih.
Seperti dalam aqad transaksi bisnis, hukum keluarga, ibadah dan lain-lain.
Mereka juga telah menentukan status dan posisi hukum suatu amal berdasarkan
niat dan tujuannya. Sebagai contoh kaidah fiqih mereka yang terkenal:
الأمور
بمقاصدها
Suatu perbuatan adalah tergatung pada
maksudnya (niatnya)
Suatu contoh, ada seseorang memberi hadiah
kepada orang lain dengan niat menghindar dari hitungan nishab zakat. Maka,
dalam hal ini, status hukum memberi hadiah tersebut, meski pada awalnya adalah
boleh, menjadi tidak boleh (tidak sah) disebabkan karena adanya niat
menghindari zakat. Sama halnya dengan niat seseorang yang niatnya adalah
sebagai sarana menuju riba, maka jual beli semacam hukumnya adalah tidak sah
disebabkan dilarangnya riba tersebut.
Dalam kasus saddud dzari'ah,
digambarkan ada seseorang memeras anggur dengan niatan untuk membuat cuka. Maka
niat seperti ini menjadikan muamalah memeras anggur tersebut menjadi sah dan
halal. Berbeda halnya dengan kasus, bilamana tujuan memeras anggur dimaksudkan
untuk membuat khamr, maka hukum memerasnya dihukumi sebagai haram, disebabkan
'illah kerusakan dan keharaman khamr tersebut. Inilah contoh gambaran posisi
niat terkait dengan aqad/transaksi kelak dipandang sah atau tidak.
Kesimpulannya bahwa, suatu perbuatan
dipandang sah, bilamana niatnya adalah benar dan tidak menimbulkan mudarat,
kerusakan atau kemungkaran. Untuk selanjutnya, niat ini kemudian oleh para
ulama digambarkan sebagai shighat (bunyi aqad), sementara dua orang yang
melakukan transaksi disebut sebagai 'aqidain, dan barang yang diaqadkan dikenal
sebagai al-ma'qud, kemudian tujuan akhir dari aqad kemudian dikenal sebagai
al-ma'qud 'alaih.
Jika diuraikan lebih lanjut, dalam kasus
anggur di atas, shighat aqad adalah jalinan antara pengusaha dan petani anggur.
Pengusaha menyuruh petani untuk menanam anggur mau digunakan sebagai apa? Jika
pengusaha memberi tahu petani bahwa anggurnya kelak akan dipakai untuk
memproduksi minuman keras, misalnya, maka menjualnya petani untuk hasil panen
anggurnya kepada pengusaha, hukumnya menjadi tidak boleh. Pemberitahuan
pengusaha kepada petani terkait kegunaan anggurnya kelak diibaratkan sebagai
sebab aqad yang memperantarai terbentuknya shighat. Pengusaha dan petani anggur
disebut 'aqidain. Anggur hasil panenan disebut al ma'qud. Dan tujuan transaksi
untuk membuat minuman keras disebut al-ma'qud 'alaih.
Wallahu a'lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar