Tiga Cara Mencari Ilmu Menurut Sayyid
Abdullah al-Haddad
Pada suatu hari al-‘Allamah As-Sayyid Abdulah
bin Alawi Al-Haddad ditanya seorang murid mengenai cara yang benar mencari
ilmu: apakah dengan membaca buku-buku, berkumpul dengan para ulama, ataukah
belajar sendiri dengan mengandalkan kecerdasannya. Keterangan ini disebutkan
dalam kitab An-Nafais Al-Uluwiyyah fi Al-Masail As-Shufiyyah, halaman 196,
sebagai berikut:
وسأله
أيضا عن طلب العلوم النافعة: بأي شيئ يكون صادقا في طلبه ومحسنا فيه؟ أذالك بكثرة
قراءة الكتب؟ أوالاجتماع بالعلماء؟ او بحسن الفهم والذكاء.
فاجابه
أمتع الله به: بكل ذالك يكون صادقا ومحسنا, بعد ان يكون على نية صالحة في طلب
العلوم والاخلاص لله في ذالك, وقصد الانتفاع والنفع.
Artinya: “Seseorang bertanya tentang cara
mencari ilmu yang bermanfaat. Cara manakah yang benar dan baik dalam mencari ilmu?
Apakah dengan banyak membaca buku/kitab? Ataukah dengan berkumpul bersama para
ulama? Atau pula dengan mengandalkan kecerdasan otaknya?
Beliau menjawab bahwa ketiga cara tersebut
baik dan benar asalkan dijalankan dengan niat yang baik dan ikhlas dalam mencari
ilmu semata-mata karena Allah serta bertujuan untuk mengambil manfaat dan
menyebarkannya.”
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa
ketiga cara mencari limu yang meliputi membaca buku atau kitab, berkumpul
dengan para guru atau ulama, dan belajar dengan mengandalkan kecerdasannya
adalah cara yang benar dan baik. Namun ada syarat yang harus dipenuhi, yakni
harus dilandasi niat yang baik semata-mata karena Allah dan tidak ada tujuan
lain kecuali untuk mengambil manfaat ilmu dengan mengamalkan dan menyebarkannya.
Jadi cara apapun yang ditempuh dari ketiga cara tersebut tidak menjadi masalah
asalkan dilakukan dengan niat ikhlas.
Tentu saja bagi para pembelajar pemula atau
dasar (ibtidaiyyah), cara mencari ilmu paling benar dan baik adalah dengan para
guru atau ulama secara langsung. Lebih-lebih belajar ilmu-ilmu praktis dan ilmu
keimanan seperti membaca Al-Qur’an, fiqih ubudiyah, akhlak dan aqidah yang
memang harus ada petunjuk dan contoh langsung dari guru agar jika ada kesalahan
dapat segera dikoreksi secara langsung. Dengan belajar kepada guru atau ulama
maka terjalin genealogi keilmuan yang jelas, atau sering disebut sanad
keilmuan.
Bagi para pembelajar tingkat lanjutan
(mutawasithah), ketergatungan pada guru sedikit berkurang karena mereka juga
dapat memperoleh ilmu dengan membaca buku-buku atau kitab-kitab terutama yang
direkomendasikan oleh guru. Ketika menemukan kesulitan-kesulitan, mereka dapat
menanyakan hal itu kepada guru atau ulama yang memiliki kompetensi di bidang
yang ditanyakan.
Di era digital seperti sekarang ini, buku
atau kitab bukan merupakan sumber ilmu tertulis satu-satunya. Dengan kemajuan
di bidang ICT (information, communication, technology), para pembelajar tingkat
lanjutan juga dapat menambah ilmu melalui internet dengan mengakses situs atau
web yang kredibel dengan tidak meninggalkan berinteraksi dengan guru.
Dalam menggunakan internet sering kali kita
membutuhkan penyedia jasa dan produk internet seperti Google. Google tidak
menulis informasi atau ilmu tertentu karena ia sekadar sebuah search engine
(mesin pencari). Google hanya membantu menemukan letak di mana informasi atau
ilmu yang dicari itu berada. Tentu saja ilmu itu pada umunya ditulis sendiri
oleh para ahlinya. Jadi dalam hal ini seorang pembelajar tidak perlu bersikap
alergi terhadap Google.
Sedangkan bagi para pembelajar tingkat maju
(mutaqaddimah), selain dapat belajar langsung pada guru atau ulama dan membaca
buku atau kitab, baik yang analog maupun digital, mereka juga dapat
memanfaatkan kecerdasan intelektualnya dengan melakukan perenungan seperti
tafakur atau tadabur guna memperluas ilmu dan pengetahuannya. Tentu saja hasil
dari perenungan itu sebaiknya dikonfirmasikan validitasnya dengan apa yang
sudah ditulis oleh para ahlinya dalam buku-buku atau kitab-kitab mereka. Atau
konfirmasi itu dilakukan melalui diskusi dengan para guru atau ulama dan
teman-teman sejawat.
Selanjutnya pada halaman yang sama (hal.
196), Allamah As-Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad menambahkan bahwa seorang
pembelajar yang menempuh ketiga cara mencari ilmu sebagaimana disebutkan diatas
akan mendapatkan al-fath (kunci pembuka) yang akan memudahkannya mencapai
keberhasilan menuntut ilmu dan meraih cita-citanya selama hal itu dilandasi
niat ikhlas semata-mata mencari ridha Allah SWT. Di dalam Al-Qur’an, Surah
Al-‘Ankabut, ayat 69, Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ المُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan orang-orang yang
bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik.” []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar