Memahami Hadits Khilafah dan Imam Mahdi dalam Perspektif Lintas
Disiplin (I)
Oleh: Nadirsyah Hosen
Belakangan ini para pendukung khilafah pusing. Argumentasi mereka
berguguran satu demi satu. Dari soal ketidakbakuannya sistem khilâfah, lemahnya
riwayat mengenai bendera yang mereka klaim sebagai bendera rasulullah, kritik
sanad dan matan terhadap hadits khilafah
‘ala minhajin nubuwwah, dan fakta bahwa UUD Khilafah yang mereka
persiapkan hanya berdasarkan dalil umum yang penafsirannya mereka paksa
mengikuti paham mereka dan bukti konkret bahwa UUD Khilafah itu juga mengambil
materi dari sejarah dan kondisi kekinian demokrasi–sesuatu yang mereka
tentang selama ini.
Walhasil, mereka mengeluarkan argumen pamungkasnya, yaitu
menyorongkan hadits seputar munculnya Imam Mahdi, di mana dalam sejumlah teks
hadits tersebut ada indikasi bahwa khalifah hadir sebelum datangnya Imam Mahdi.
Tulisan saya ini akan mengupas masalah hadits tersebut dengan
pertama-tama menggunakan kajian disiplin ilmu hadits yang menilai kualitas
sanadnya, dan kemudian saya akan jelaskan bagaimana memahami matan hadits dalam
peta sejarah politik Islam masa lalu. Kajian ini menggunakan perspektif lintas
disiplin keilmuan: ilmu hadits, tarikh, dan fiqh siyasah.
Perdebatan Awal
Ada lebih dari 50 hadits dalam hal Imam Mahdi, di mana kualitas
sanad hadits itu beragam, ada yang sahih, hasan, dha’if, dan ada pula yang
palsu. Sebagian ulama mengatakan banyaknya riwayat tersebut membuat hadits seputar
ini masuk dalam kategori mutawatir
maknawi. Artinya, secara makna kabar akan keberadaan Imam Mahdi
diakui secara mutawatir karena jumlahnya banyak, meski tidak semua riwayatnya
kuat.
Namun demikian, sejumlah ulama lain keberatan dengan kesimpulan
“mutawatir maknawi” ini dengan dua alasan utama. Pertama, al-Qur’an tidak
menyebutkan soal Imam Mahdi, dan info keberadaannya diketahui hanya lewat
hadits. Di samping itu, kedua kitab hadits utama (Sahih Bukhari dan Sahih
Muslim) tidak mengulas soal Imam Mahdi ini. Riwayat yang dianggap “mutawatir”
itu bertebaran di kitab-kitab hadits selain keduanya.
Meski tidak semua hadits sahih hanya terdapat dalam Sahih Bukhari
dan Sahih Muslim dan bisa juga terdapat dalam kitab hadits lainnya, tidak dapat
dihindari kesan bahwa saling bertentangannya sejumlah riwayat tentang tema ini
membuat kedua kitab utama ini enggan mencantumkannya.
Seperti telah saya sebutkan, banyak hadits sahih lainnya yang
tidak terdapat di dalam kedua kitab utama ini. Ini artinya kita harus
menelusuri sejumlah riwayat hadits tentang Imam Mahdi untuk menilai sahih atau
tidaknya riwayat tersebut satu per satu. Ibn Khaldun (1332-1406) dalam
kitabnya, Muqaddimah, telah
merangkum catatan para ulama hadits tentang riwayat seputar Imam Mahdi. Ibn
Khaldun menyimpulkan bahwa mayoritas tidak berkualitas sahih, dan hanya sedikit
sekali yang bisa “diselamatkan”.
Sampai di sini, kesimpulan Ibn Khaldun langsung membuat berang
sejumlah ulama. Maklumlah tema Imam Mahdi ini menjadi rebutan banyak pihak.
Banyak aliran dalam Islam yang berpegangan pada keberadaan Imam Mahdi. Kalau
ini didha’ifkan, bagaimana dengan pokok ajaran mereka? Runtuhkah? Maka, Ibn
Khaldun pun diserang dengan mengatakan bahwa dia bukan seorang ahli hadits.
Seperti saya bilang, sebagai sejarawan Ibn Khaldun mengumpulkan komentar para
ulama tentang sanad riwayat tersebut, jadi bukan beliau yang memberi penilaian
secara langsung.
Ibn Khaldun sendiri kelihatannya memang tidak suka dengan konsep
Mahdi dalam ajaran Syiah. Maka, kita dapati komentarnya sering cukup sengit
terhadap Syiah dalam kitab Muqaddimah-nya
itu. Satu lagi yang “ditembak” oleh Ibn Khaldun adalah kelompok sufi-mistis
yang kemudian mengaku sebagai Imam Mahdi, yaitu kelompok al-Muwahhidun di bawah
tokohnya, Ibn Tumart (1077-1130).
Dengan kata lain, upaya Ibn Khaldun mengkritisi sanad hadits
seputar Imam Mahdi ini tidak dalam konteks menyerang doktrin Ahlus Sunnah
wal-Jama’ah.
Penelusuran saya sendiri terhadap sejumlah riwayat seputar Imam
Mahdi ini mengindikasikan: semakin detail ceritanya, semakin ditemui
kejanggalan. Semakin rinci, maka semakin saling berbenturan info yang kita
dapat mengenai asal usul keturunan, namanya, bentuk fisik, lokasi kehadirannya,
berapa lama memerintah, dan peristiwa sebelum dan sesudah kemunculannya. Banyak
sekali riwayat yang saling bertabrakan.
Misalnya, kita akan dapati paling tidak 5 informasi berbeda
mengenai sosoknya:
·
Imam Mahdi keturunan Rasulullah dari
jalur Sayyidina Hasan.
·
Imam Mahdi keturunan
Rasulullah dari jalur Sayyidina Husein.
·
Imam Mahdi keluarga
Rasulullah dari jalur Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib.
·
Imam Mahdi berasal dari
umat Islam (tidak spesifik).
·
Imam Mahdi itu sama dengan
Nabi Isa.
Kelimanya memiliki hadits pendukung. Itu sebabnya kita harus
membaca riwayat seputar ini dengan kritis.
Imam Mahdi dan Khalifah
Konteks diskusi kita kali ini bukan bicara soal Imam Mahdi secara
umum, tetapi dalam konteks khalifah yang hadir sebelum kedatangan Imam Mahdi.
Logika pendukung khilafah itu sederhana saja: kalau khalifah sudah selesai dan
tidak akan tegak kembali, kenapa keberadaan khalifah disebutkan dalam hadits
datangnya Imam Mahdi. Nah, benarkah demikian?
Diskusi ini juga kita batasi dalam kajian Ahlus Sunnah
wal-Jama’ah. Saya tidak akan menyoal konsep dan riwayat Imam Mahdi dari Syi’ah.
Lain kali saja kita bahas soal Syi’ah.
Saya akan sebutkan dua riwayat yang relevan dalam diskusi ini:
Hadits pertama:
“Ada tiga orang yang akan saling membunuh tentang simpanan kalian;
mereka semua adalah putra khalifah, kemudian tidak satu pun akan
mendapatkannya. Akhirnya muncullah bendera-bendera hitam dari arah timur, lalu
mereka akan memerangi kalian dengan peperangan yang tidak pernah dilakukan oleh
satu kaum pun… (lalu beliau SAW menutur-kan sesuatu yang tidak aku ingat,
kemudian beliau SAW berkata:) Jika kalian melihatnya, maka bai’atlah dia!
Walaupun dengan merangkak di atas salju, karena sesungguhnya ia adalah
Khalifatullah al-Mahdi.”
Riwayat ini terdapat dalam sejumlah kitab hadits seperti Sunan Ibn Majah (II/1367),
Mustadrak al-Hakim
(IV/463-464).
Imam al-Hakim mengklaim bahwa sanad riwayat ini sahih sesuai
standar Bukhari-Muslim, meski keduanya tidak mencantumkannya dalam kitab
mereka. Al-Bazzar dalam kitab Dala’il
an-Nubuwwah (6/515) mengatakan riwayat ini sahih. Ibn Katsir dalam an-Nihayah fil Fitan wal Malahim
(hal. 17) mengatakan hadits ini marfu’
(hadist yang disandarkan kepada Rasulullah SAW). Tapi dalam al-Bidayah wan Nihayah
beliau katakana ini hadits mawquf (hadist
yang disandarkan seseorang kepada sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah) yang
berhenti di Tsauban Radhiyallah anhu.
Akan tetapi Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam kitab al-‘Ilal (2/325)
mengatakan riwayat ini dha’if. Imam Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal (3/128) mengatakan hadits
ini munkar. Yang menarik adalah ungkapan Syekh al-Albani yang mengatakan
sanadnya munkar karena Abu Qilabah itu tadlis tapi matannya bisa diterima
kecuali kalimat akhirnya yaitu “khalifatullah Mahdi”. Kita akan kembali ke soal
istilah “khalifatullah Mahdi” nanti.
Hadits kedua:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibnul Mutsanna berkata,
telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam berkata, telah menceritakan
kepadaku Bapakku dari Qatadah dari Shalih Abu Al Khalil dari sahabatnya dari
Ummu Salamah isteri Nabi SAW, dari Nabi, beliau bersabda: “Akan terjadi
perselisihan saat matinya khalifah, lalu seorang laki-laki akan keluar
dari Madinah pergi menuju Mekkah. Lantas beberapa orang dari penduduk Mekkah
mendatanginya, mereka memaksanya keluar (dari dalam rumah) meskipun ia tidak
menginginkannya. Orang-orang itu kemudian membaiatnya pada suatu tempat antara
Rukun (Hajar Asawad) dan Maqam (Ibrahim). Lalu dikirimlah sepasukan dari
penduduk Syam untuk memeranginya, tetapi pasukan itu justru ditenggelamkan oleh
(Allah) di Al-Baida, tempat antara Mekkah dan Madinah. Maka, ketika manusia
melihat hal itu, orang-orang saleh dari Syam dan orang-orang terbaik dari
penduduk Irak membaiatnya antara rukun dan maqam. Lalu tumbuhlah seorang
laki-laki dari bangsa Quraisy, paman-pamannya dari suku Kalb, dia lalu
mengirimkan sepasukan untuk memerangi mereka (orang-orang yang berbaiat kepada
lelaki itu) namun mereka dapat mengalahkan mereka (pasukan yang dikirim oleh
lelaki Quraisy dari suku Kalb). Alangkah ruginya orang yang tidak ikut serta
dalam pembagian ghanimah perang melawan suku Kalb. Dia lalu membagi ghanimah,
dan membina manusia dengan sunnah Nabi mereka dan menyampaikan Islam ke semua
penduduk bumi. Ia berkuasa selama tujuh tahun, kemudian wafat dan disalati oleh
kaum muslimin.”
Abu Dawud berkata, “Sebagian mereka menyebutkan dari Hisyam,
“selama sembilan tahun.” Dan sebagian yang lain menyebutkan, “Selama tujuh
tahun.” Telah menceritakan kepada kami Harun bin Abdullah berkata, telah
menceritakan kepada kami Abdus Shamad dari Hammam dari Qatadah dengan Hadits
yang sama. Beliau mengatakan, “sembilan tahun.” Abu Dawud berkata, “Selain
Mu’adz menyebutkan dari Hisyam, “selama sembilan tahun.”
Sunan Abi Dawud (Hadits nomor 3737) dan Musnad Ahmad (6/316)
memuat riwayat ini. Syekh al-Albani megatakan riwayat ini dha’if. Ibn Khaldun
mencatat bahwa ada perawinya yang majhul (jati
dirinya tak diketahui/ketidaktahuan akan perawi) dan mudallis (perawi
tidak mendengar atau bertemu langsung). Persoalannya ada pada Qatadah. Syekh
Arnaut mengatakan dha’if, namun Ibn Jauziy dalam al-‘Ilal (1444) mengatakan sanadnya hasan.
Al-Haytsami dalam Majma’
Zawaid (7/35) mengatakan perawinya sahih.
Seperti bisa dilihat, baik hadits pertama maupun kedua
diperselisihkan statusnya oleh para ulama. Tidak ada kesepakatan. Di samping
itu, kedua hadits di atas menyebut soal perselisihan khalifah, dan kondisi
kacau balau sebelum munculnya Imam Mahdi. Itu sebabnya para pendukung
keberadaan khilafah yang menggunakan logika bahwa akan ada khalifah sebelum
Imam Mahdi harus mendapati kenyataan bahwa suasana saat itu kacau balau dan
tidak mungkin suasana kacau balau dan perselisihan itu terjadi dalam khilafah ‘ala minhajin nubuwwah
(khilafah yang sesuai dengan metode kenabian).
Kalau begitu, apa khilafah
‘ala minhajin nubuwwah itu setelah hadirnya Imam Mahdi? Wah, kalau
gitu sih sudah kiamat, dong. Bukankah munculnya Imam Mahdi (dan juga turunnya kembali
Nabi Isa dan muncullnya Dajjal) merupakan tanda-tanda kiamat (Bersambung) []
GEOTIMES, 19 Desember 2017
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar