Wali Telah Mewakilkan,
Bolehkah Hadir di Majelis Akad Nikah?
Dalam sebuah rangkaian proses pernikahan
seorang laki-laki dan perempuan prosesi ijab kabul adalah waktu yang paling
menentukan sekaligus mendebarkan bagi banyak pihak. Bukan saja bagi pasangan
calon pengantin yang akan berjodohan namun juga bagi orang tua kedua mempelai
terlebih seorang ayah yang menjadi wali atas anak perempuannya yang akan
dinikahkan.
Pada dasarnya banyak orang tua yang
berkeinginan menikahkan sendiri anak perempuannya saat proses ijab kabul, tidak
diwakilkan kepada penghulu. Hanya saja ketidakmampuan karena terbatasnya ilmu
atau kondisi perasaan hati yang tak menentu terkadang menjadi kendala sehingga
pengucapan ijab diwakilkan kepada penghulu atau orang lain yang dipandang
mampu.
Pada saat yang demikian orang tua yang juga
menjadi wali pengantin perempuan cukup berbahagia meski hanya bisa menyaksikan
proses ijab kabul pernikahan anaknya. Hanya saja kebahagiaan tersebut terkadang
tak terwujud dikarenakan adanya pemahaman sebagian masyarakat yang melarang
seorang wali berada di majelis akad nikah bila telah mewakilkan kepada orang
lain.
Ya, tak bisa dipungkiri bahwa di beberapa
daerah masih ada sebagian masyarakat yang memahami bahwa apabila seorang wali
nikah telah mewakilkan pengikraran ijabnya kepada orang lain maka ia tak
diperbolehkan hadir di majelis akad nikah tersebut. Wali yang telah mewakilkan
harus pergi dalam artian tidak hadir di majelis atau bahkan benar-benar pergi
dari wilayah dimana akad nikah diselenggarakan. Hal ini tentunya membuat sang
wali sebagai orang tua bersedih hati karena tak bisa menyaksikan proses ijab
kabul pernikahan putrinya yang menjadi awal kehidupan baru bagi sang anak dan
juga bisa dikata sebagai “perpisahan” dengannya.
Lalu bagaimana sesungguhnya fiqih Islam
mengatur hal itu?
Di dalam kitab Kifâyatul Akhyâr karya Imam
Taqiyudin Al-Hishni disebutkan sebuah keterangan sebagai berikut:
فرع
- يشْتَرط فِي صِحَة عقد
النِّكَاح حُضُور أَرْبَعَة ولي وَزوج وشاهدي عدل وَيجوز أَن يُوكل الْوَلِيّ
وَالزَّوْج فَلَو وكل الْوَلِيّ وَالزَّوْج أَو أَحدهمَا أَو حضر الْوَلِيّ ووكيله
وَعقد الْوَكِيل لم يَصح النِّكَاح لِأَن الْوَكِيل نَائِب الْوَلِيّ وَالله أعلم
“(Cabang) Dalam keabsahan akad nikah
disyaratkan hadirnya empat orang yang terdiri dari suami, wali dan dua orang
saksi yang adil. Wali dan suami diperbolehkan mewakilkan kepada orang lain
(untuk melakukan ijab kabul). Maka bila wali dan suami atau salah satunya telah
mewakilkan kepada orang lain atau wali dan wakilnya hadir (pada saat akad
nikah) lalu sang wakil melakukan akad nikah maka pernikahannya tidak sah,
karena wakil adalah pengganti wali. Wallahu a’lam.” (Taqiyudin Al-Hishni,
Kifâyatul Akhyâr [Bandung: Al-Ma’arif, tt], juz 2, hal. 51)
Dari apa yang disampaikan oleh Imam Al-Hishni
di atas bisa dipahami bahwa bila seorang wali yang telah mewakilkan kepada
orang lain untuk melakukan akad nikah lalu wali tersebut juga hadir pada
majelis akad tersebut maka pernikahan dianggap tidak sah. Barangkali atas dasar
teks inilah sebagian masyarakat kemudian mengharuskan wali untuk meninggalkan
majelis akad bila telah mewakilkan pada penghulu atau orang lain yang dianggap
berkopenten.
Bila teks di atas dipelajari lebih lanjut
kiranya akan bisa diambil pemahaman yang lain dari pemahaman di atas. Kalimat
“disyaratkan hadirnya empat orang yang terdiri dari suami, wali dan dua orang
saksi yang adil” pada teks di atas bisa menjadi kata kunci. Dengan kalimat
tersebut mushannif (pengarang kitab) barangkali bermaksud menyampaikan bahwa
tidak sahnya pernikahan tersebut apabila yang hadir di majelis akad nikah hanya
empat orang saja sebagaimana disebut di atas.
Dalam keadaan demikian maka sesungguhnya yang
menghadiri majelis akad tersebut hanya tiga orang saja, yakni suami, wali dan
satu orang saksi. Satu orang lagi yang ditunjuk sebagai wakilnya wali sudah
tidak lagi menjadi saksi. Sedangkan sang wali yang ikut hadir di sana meskipun
ikut menyaksikan namun tidak bisa dianggap sebagai saksi karena pada hakikatnya
dia berstatus sebagai wali hanya saja pelaksanaan ijabnya diwakilkan pada orang
lain. Bila demikian adanya maka bisa dibenarkan ketidakabsahan akad nikah
tersebut. Hanya saja sesungguhnya teks tersebut juga tidak bermaksud menetapkan
larangan hadirnya wali yang telah mewakilkan sebagaimana dipahami sebagian
masyarakat.
Pemahaman ini kiranya bisa diterima bila
mencermati teks-teks fiqih yang lain yang disampaikan oleh para ulama di dalam
berbagai kitab. Di antaranya apa yang disampaikan oleh Syekh Muhammad Nawawi
Al-Jawi dalam kitab Nihayatuz Zain. Beliau menuturkan:
وَلَا
بِحَضْرَة مُتَعَيّن للولاية فَلَو وكل الْأَب أَو الْأَخ الْمُنْفَرد فِي
النِّكَاح وَحضر مَعَ شَاهد آخر لم يَصح النِّكَاح لِأَنَّهُ ولي عَاقد فَلَا يكون
شَاهدا
Artinya: “Dan tidak sah sebuah pernikahan
dengan dihadiri orang yang menentukan (orang lain) untuk perwalian. Maka bila
seorang bapak atau seorang saudara seorang diri (yang menjadi wali) mewakilkan
kepada orang lain dalam akad nikah dan bapak atau saudara itu hadir bersama
seorang saksi yang lain maka pernikahan itu tidak sah, karena ia—bapak atau
saudara itu pada hakikatnya—adalah wali yang mengakadkan, maka tidak bisa
menjadi saksi.” (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nihâyatuz Zain [Bandung, Al’Ma’arif,
tt], hal. 306)
Bukan hanya Syekh Nawawi yang memaparkan hal
tersebut. Beberapa ulama Syafi’iyah yang lain seperti Imam Zakariya Al-Anshari,
Sulaiman al-Jamal, Zainudin al-Malibari dan Bujairami juga mengungkapkan hal
yang sama di dalam kitab-kitab mereka.
Bila mencermati teks di atas kiranya bisa
menjadi penguat pemahaman bahwa hadirnya wali yang telah mewakilkan di majelis
akad nikah bisa menjadikan tidak sahnya akad tersebut bila ia berlaku sebagai
saksi sementara tidak ada lagi orang yang hadir selain suami, satu orang saksi,
wali yang telah mewakilkan, dan orang yang mewakili wali. Karena dengan
demikian akad nikah tersebut hanya disaksikan oleh satu orang saksi, sedang
sang wali meski menyaksikan namun tidak bisa dianggap sebagai saksi.
Pada kenyataannya yang terjadi di masyarakat
bukanlah demikian. Ketika wali telah mewakilkan kepada penghulu atau orang lain
dan ia tetap hadir di majelis untuk menyaksikan proses ijab kabul anak
perepuannya, masih banyak orang lain yang hadir menyaksikan akad tersebut.
Dengan demikian kendati sang wali tidak bisa dianggap sebagai saksi namun masih
ada banyak orang lain yang hadir sebagai saksi. Oleh karena itu pula pernikahan
tersebut dianggap sah karena semua syarat telah terpenuhi.
Sebagai penekanan sekali lagi disampaikan
bahwa apa yang disampaikan oleh Al-Hishni di dalam kitab Kifâyatul Akhyâr-nya
bukanlah dimaksudkan untuk melarang wali tetap hadir di majelis akad nikah bila
telah mewakilkan kepada orang lain. Juga bukan pula untuk membatalkan
pernikahan yang dihadiri wali yang telah mewakilkan kepada orang lain secara
mutlak. Ketidakabsahan pernikahan sebagaimana disebut Al-Hishni di atas adalah
bila dalam kondisi proses akad tersebut hanya dihadiri unsur rukun minimal
dimana wali mewakilkan kepada orang lain sedangkan ia sendiri bertindak sebagai
saksi. Dengan bahasa lain, ijab kabul pernikahan tetap sah meskipun wali yang
mewakilkan hadir dan sekadar menonton prosesi akad di lokasi, bukan merangkap
sebagai saksi. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar