Memahami Hadits
Khilafah dan Imam Mahdi dalam Perspektif Lintas Disiplin [II-Habis]
Oleh: Nadirsyah Hosen
Konteks Hadits
Pertama
Setelah mengurai
kedua hadits di atas dari sisi sanad, kita akan telusuri keduanya dari sudut
matan dengan melihat kajian sejarah dan siyasah. Kenapa kajian teks hadits
harus kita legkapi dengan kajian lintas disiplin? Kajian sanad semata
membicarakan kualitas perawi dan ketersambungan di antara mereka, namun tidak
mempersoalkan konteks sejarah politik Islam di mana riwayat-riwayat itu
beredar.
Saya beberapa kali
singgung dalam tulisan-tulisan sebelumnya, bagaimana terjadi politisasi ayat
dan hadits dalam sejarah Islam. Termasuk ke dalamnya muncul riwayat-riwayat
palsu yang mendukung para pihak yang bertikai di masa lalu. Kajian sanad yang
kita lengkapi dengan memahami konteks matan hadits dengan bantuan ilmu sejarah
dan fiqh siyasah akan semakin membuat kita terang benderang memahami
riwayat-riwayat seputar politik.
Asumsi yang kita
gunakan: semakin detail dan rinci riwayat yang bicara prediksi politik, semakin
kita harus kritis bahwa riwayat tersebut diriwayatkan secara post-factum—untuk tidak
mengatakan semua riwayat tersebut palsu.
Hadits pertama yang
sanadnya sudah saya tunjukkan bermasalah itu bercerita mengenai konflik tiga
orang putra khalifah. Siapakah mereka? Saya menggunakan asumsi bahwa riwayat
ini sebenarnya bukan berkenaan dengan akhir zaman menjelang kiamat tapi
sebenarnya muncul saat masa transisi Dinasti Umayyah yang mengalami konflik
internal dan munculnya kekuatan baru dari luar, yaitu Dinasti Abbasiyah. Mari
kita uji.
Kita akan temui fakta
menarik di bawah ini jikalau hadits pertama di atas kita bedah dengan asumsi
ini. Ketiga putra khalifah yang saling perang itu adalah para khalifah terakhir
dari Dinasti Umayyah, yaitu Khalifah al-Walid II dibunuh oleh Khalifah Yazid
III. Dan Khalifah Marwan II membalas dendam atas kematian Khalifah al-Walid II.
Khalifah Marwan II ini merupakan khalifah terakhir dari Umayyah. Inilah fakta
sejarah pertarungan ketiga putra khalifah.
Hadits pertama
kemudian menyebut akan muncul pasukan dengan membawa bendera hitam dari Timur.
Fakta sejarah mengatakan Jenderal Abu Muslim membawa bendera hitam memberontak
dari wilayah Khurasan kepada Dinasti Umayyah. Lanjutan teks hadits pertama
mengatakan “lalu mereka akan memerangi kalian dengan peperangan yang tidak
pernah dilakukan oleh satu kaum pun”. Ini merujuk kepada khalifah pertama
Abbasiyah yang bernama Abul Abbas dan digelari as-Saffah, sang penumpah darah.
Sejarah mencatat kekejamannya tidak terkira (Baca di sini: As-Saffah (Sang
Penumpah Darah): Khalifah Pertama Abbasiyah)
Lantas Tsauban,
sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits ini, mengatakan dia tidak hafal ucapan
Nabi berikutnya. Saya menduga bahwa yang dia tidak sampaikan adalah periode Khalifah
Abbasiyah kedua, yaitu Abu Ja’far al-Mansur. Justru nama Mansur ini masuk dalam
riwayat lain tentang Imam Mahdi di bawah ini:
Harun berkata, “Telah
menceritakan kepada kami Amru bin Abu Qais dari Mutharrif bin Tharif dari Abu
Al Hasan dari Hilal bin Amru dia berkata; Aku mendengar Ali RA berkata,
“Nabi SAW bersabda: “Akan keluar seorang laki-laki dari seberang
sungai (seperti Bukhara dan Samarqan), dia bernama Al-Harits bin Harrats, lalu
setelahnya akan keluar seorang laki-laki bernama Mansur. Dia memperkokoh
keluarga Muhammad sebagaimana bangsa Quraisy memperkokoh Rasulullah. Maka wajib
atas setiap mukmin menolongnya, atau beliau mengatakan: “memenuhi seruannya.”
Hadits Sunan Abi
Dawud (3739) ini penggalan hadits panjang mengenai Imam Mahdi yang berasal dari
keturunan Sayyidina Hasan.
Nah, nama Mansur di
atas apakah maksudnya nama Khalifah Mansur? Lalu siapakah al-Harits dalam
riwayat ini, apakah maksudnya al-Harits bin Surayj, seorang tokoh yang juga
terlibat dalam pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah? Wa Allahu A’lam. Yang
menarik, para pendukung Osama bin Laden mengklaim bahwa al-Harits ini maksudnya
adalah Osama dan Mansur itu Zawahiri. Akhirnya, siapa pun bisa mengklaim
sebagai para pembantu Imam Mahdi.
Kembali ke hadits
pertama. Tsauban RA kemudian meriwayatkan, “Jika kalian melihatnya, maka
bai’atlah dia! Walaupun dengan merangkak di atas salju, karena sesungguhnya ia
adalah khalifatullah al-Mahdi.”
Mekkah dan Madinah
jarang sekali turun salju (untuk tidak mengatakan mustahil), sedangkan wilayah
Khurasan, Suriah, dan, Baghdad–tempat lokasi perebutan kekuasaan Umayyah dan
Abbasiyah) sering terkena turunnya salju saat musim dingin. Jadi, jelas lokasi
yang sedang dibicarakan dalam hadits pertama ini di luar Mekkah dan Madinah—ini
berbeda dengan hadits kedua di mana lokasi Imam Mahdi di kedua kota suci ini.
Lantas disebut dalam
hadits pertama mengenai Khalifatullah Mahdi. Khalifah ketiga Abbasiyah
“kebetulan” bergelar al-Mahdi. Pernah saya bahas di sini kisahnya bagaimana
keuntungan politik yang diraih Abbasiyah dengan menggunakan titel al-Mahdi saat
berhadapan dengan kelompok Syiah (Baca di sini: Khalifah Ketiga Abbasiyah:
Klaim sebagai Mahdi)
Istilah khalifatullah ini
dipersoalkan oleh Syekh al-Albani. Sebagai seorang Wahabi tulen, beliau
keberatan seolah Allah membutuhkan “pengganti”. Istilah khalifatullah itu merusak
akidah, kata beliau. Bukan pada tempatnya di sini saya membahas pernyataan
al-Albani ini secara teologis.
Kita fokus pada isu
utama. Memang, sejarah istilah khalifah menarik kita telusuri. Singkatnya
begini, istilah khalifah di awal penggunaannya itu adalah Khalifatur Rasul
(pengganti Rasul). Ini ditujukan untuk Sayyidina Abu Bakar. Kemudian pas beliau
wafat, istilahnya menjadi Khalifah Khalifatir Rasul, merujuk kepada Umar.
Karena ribet memanggilnya, maka cukuplah tetap menjadi Khalifah saja. Umar
sendiri juga sering dipanggil Amirul Mu’minin.
Istilah Khalifatur
Rasul ini dipertahankan di masa Umayyah, tapi di masa Al-Mahdi ini perlahan
titel khalifah bergeser, dari semula sebagai khalifah penerus Rasul, kini
menjadi Khalifatullah
fil Ardh (Khalifah Allah di muka bumi). Ini seolah menjadi
bayang-bayang kekuasaan Allah di bumi. Maka, perlahan Khalifah Al-Mahdi duduk
di balik tirai dan sejumlah urusan penting diserahkan kepada wazirnya. Posisi
khalifah menjadi agung dan berjarak dengan rakyat serta kukuh secara spiritual.
Posisi wazir menjadi sangat menguat.
Syekh al-Albani boleh
saja keberatan dengan istilah itu. Tapi fakta bahwa istilah itu yang dipakai
dalam hadits pertama semakin menunjukkan bahwa asumsi kita di atas benar, bahwa
riwayat ini bukan mengenai Imam Mahdi di akhir zaman kelak, tapi berkenaan
dengan kondisi politik transisi kekuasaan dari Umayyah menuju Abbasiyah. Itulah
sebabnya digunakan istilah Khalifatullah al-Mahdi.
Kelihatannya Ibn
Katsir paham bahwa ada indikasi riwayat ini berbau politik dan sudah terjadi di
masa transisi di atas. Itu sebabnya Ibn Katsir mencoba menghidupkan kembali
riwayat hadits pertama ini untuk konteks menjelang hari kiamat. Ibn Katsir
mengatakan:
“Bendera hitam yang
di bawa pasukan ini bukan milik Abu Muslim Khurasan yang menggulingkan Dinasti
Umayyah, tapi ini bendera hitam yang akan mendampingi al-Mahdi menjelang hari
kiamat kelak.” (an-Nihayah
1/29)
Bantahan Ibn Katsir
ini menarik karena beliau kukuh berpegang pada teks hadits dan menutup mata
terhadap fakta sejarah. Saya ulangi status sanad hadits ini menurut Ibn Katsir
marfu’ dalam al-Bidayah,
tapi dalam kitabnya yang lain, an-Nihayah,
dikatakan mauquf. Ini saja menunjukkan betapa problematisnya hadits ini.
Akibat pembelaan Ibn
Katsir di atas, maka hadits yang sebenarnya sudah terjadi pada masa lampau itu
menjadi rebutan berbagai kelompok. Taliban, Al-Qaeda, ISIS sampai Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) berebut soal bendera hitam yang disebut dalam hadits pertama
ini. Kalau asumsi kita di atas yang lebih bisa diterima, maka masalah bendera
dan masalah khalifah sebelum munculnya Khalifatullah Mahdi sudah selesai. Wa Allahu a’lam.
Konteks Hadits Kedua
Sekarang kita bahas
hadits berikutnya. Asumsi yang saya ambil adalah riwayat ini juga sudah terjadi
di masa lampau, dan tidak berkenaan dengan kemunculan Imam Mahdi menjelang
kiamat nanti. Lafaz dalam hadits kedua menggunakan kata rajul (seorang lelaki),
bukan Mahdi.
Hadits kedua yang
sudah saya sebutkan di atas bicara soal wafatnya seorang khalifah, dan kemudian
diba’iatnya seorang lelaki yang pergi dari Madinah menuju Mekkah. Semula
menolak, namun kemudian dia menerima bai’at. Ini semua sesuai fakta sejarah
berkenaan dengan Abdullah bin Zubair RA yang melakukan pemberontakan dan
mengklaim sebagai Khalifah di Mekkah. Semula beliau tinggal di Madinah, namun
kemudian diam-diam pergi ke Mekkah menghindari desakan Gubernur Madinah
al-Walid yang memaksanya berbai’at kepada khalifah kedua Umayyah, yaitu Yazid
bin Mu’awiyah.
Khalifah yang
diindikasikan wafat dalam hadits kedua juga kuat merujuk kepada Yazid, di mana
Yazid wafat saat pasukannya di bawah pimpinan Muslim bin Uqbah menggempur
Abdullah bin Zubair di Mekkah. Lantas Khalifah Marwan mengirim pasukan dari
Syam (lagi-lagi fakta pasukan Syam ini sesuai dengan teks hadits kedua). Banyak
penduduk Syam yang berbai’at kepada Abdullah bin Zubair, sepeninggal Marwan
(sekali lagi fakta ini juga cocok dengan Hadits kedua). Kemudian Khalifah Abdul
Malik bin Marwan mengirim Jenderal al-Hajjaj bin Yusuf memerangi Abdullah bin
Zubair. Inilah yang dimaksud peperangan dengan suku Kalb.
Abdullah bin Zubair
berkuasa selama 9 tahun. Ini juga cocok dengan teks hadits kedua yang mayoritas
rawinya menyebutkan 9 tahun kekuasaan ‘lelaki’ itu. Jadi, khalifah yang
dimaksud dalam hadits ini adalah Yazid bin Mu’awiyah bukan Khilafah ‘ala
minhajin nubuwwah. Imam Mahdi yang dimaksud di sini bukan Imam Mahdi menjelang
hari kiamat tetapi Abdullah bin Zubair.
Fakta sejarah dan
suasana perselisihan politik pada masa Abdullah bin Zubair ini memang
menimbulkan persoalan serius. Saya pernah jelaskan di sini: Tragedi
Abdullah bin Zubair dalam Perebutan Khalifah.
Seperti saya jelaskan
juga dalam Perseteruan Khalifah: Abdullah bin Zubair Versus Muawiyah
II, wafatnya Yazid membuat Abdullah bin Zubair di Mekkah menerima bai’at
dari penduduk Hijaz (Mekkah dan Madinah). Maka, sejarah Islam mencatat ada dua
khalifah saat itu. Penduduk Damaskus dan Mesir membai’at Muawiyah II, sedangkan
penduduk Hijaz, Yaman, Irak, dan Khurasan membai’at Abdullah bin Zubair.
Bagaimana menyelesaikannya?
Beredarlah kemudian
riwayat Hadits: “Apabila dua orang khalifah dibai’at, maka bunuhlah yang paling
terakhir dibai’at di antara keduanya.” Meski riwayat ini terdapat dalam
kitab Shahih Muslim,
sanadnya menurut sebagian ulama bermasalah. Dua rawinya, Jurairy dan Khalid,
mendapat sorotan para ahli hadits.
Nama pertama disebut
mengalami ikhtilat (kerancuan)
dalam periode akhir hidupnya. Nama yang kedua diragukan apakah dia mendengar
hadits ini pada kondisi Jurairy itu tsiqah atau ikhtilat.
Ini saja satu contoh
bagaimana persoalan politik dicoba diselesaikan lewat beredarnya riwayat yang
berbau politis ini. Contoh lain adalah bagaimana beredarnya riwayat hadits dari
Abdullah bin Zubair sendiri tentang lawan politiknya, yaitu keluarga Marwan bin
Hakam. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa para perawi di atas telah
berbohong, namun jelas memahami hadits yang bersinggungan dengan peristiwa
politik kita harus berhati-hati menelaahnya dan tidak terburu-buru mengambil
kesimpulan.
Saya baru membahas
dua hadits tentang keberadaan khilafah sebelum munculnya Imam Mahdi. Tujuan
saya bukan untuk menafikan sosok Imam Mahdi, tetapi hendak menunjukkan logika
yang dibangun oleh pendukung khilafah modern itu cukup lemah karena bersandar
pada teks hadits yang secara sanad bermasalah, dan secara matan juga dapat
dipertanyakan.
Hadits yang berkenaan
dengan prediksi pertarungan politik pasca wafatnya Nabi Muhammad memang harus
kita kaji terus menerus agar kita mendapat gambaran yang lebih komprehensif
lewat kajian lintas disiplin, yaitu ilmu hadits, tarikh, dan fiqh siyasah.
Lagipula, perdebatan
mengenai Imam Mahdi ini sudah terjadi sejak periode awal sejarah Islam, dan
betapa banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai Imam Mahdi sampai saat ini.
Sulit kemudian mau berdiskusi membangun argumen dan logika tentang khilafah
dalam konteks kemunculan Imam Mahdi yang problematis ini–seperti yang belakangan
ini getol dimainkan oleh kelompok almarhum Hizbut Tahrir Insonesia (HTI).
Absurd!
Wa Allahu a’lam
bish-shawab. []
GEOTIMES, 20 Desember
2017
Nadirsyah Hosen |
Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan dosen senior di Faculty of Law,
Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar