Ajengan Abdurrohim,
Tokoh Pendiri Pesantren di Banjar
Pondok Pesantren
Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, salah satu pesantren yang masyhur bukan
hanya di wilayah Kota Banjar, Jawa Barat saja, namun juga dikenal di pelosok
tanah air karena kiprah pengasuh, pendiri serta alumninya di berbagai daerah di
Indonesia.
Di balik kesuksesan
pesantren terbesar di Kota Banjar ini, kisah proses berdirinya pesantren ini,
mulai dari kisah nyata hingga yang berbau mistis dan pada masa penjajahan
Belanda, tidak terlepas dari cerita yang sering disampaikan para pengasuh
kepada santrinya.
KH Munawir
Abdurrohim, anak pertama KH Abdurrohim atau Ajengan Abdurrohim, pendiri Pondok
Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar mengatakan, awal berdirinya Ponpes yang
dikenal pesantren Citangkolo tersebut saat kiai muda yang bernama Marzuki Mad
Salam (wafat tahun 1968 dalam usia 93 tahun) asal Dusun Grumbul Kelawan Desa
Gung Agung, Kecamatan Bulus Pesantren Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, melihat
kondisi umat islam saat itu yang masih dalam penjajahan Kolonial Belanda sangat
memprihatikan.
Dengan kemampuan materi
yang terbatas, cerita KH Munawir kepada NU Online, Kiai Marzuki memohon kepada
Alloh dan mendapatkan petunjuk untuk keluar serta mencari tempat untuk
mensyiarkan agama islam.
"Beliau
berkelana ke berbagai tempat mulai dari Gombong, Tambak, Sitinggil dan tempat
lainnya. Nah, pada tahun 1911 beliau tiba di Citangkolo yang mana dikenal
daerah dengan kondisi hutan belantara dan konon sangat angker serta banyak
binatang buas," kisah KH Munawir.
Ia berkisah, saat
Kyai Marzuki ke Citangkolo, ada tiga keluarga yang berasal dari Manonjaya
Tasikmalaya, Cineam Tasikmalaya dan Rancah Ciamis. Namun, kabarnya tiga
keluarga tersebut tiba-tiba hilang tanpa sebab.
Tepat tanggal 10
Muharam di tahun masehi 1911, sambung KH Munawir, Kiai Marzuki mendirikan
mushola panggung dengan ukuran 2 x 3 meter. Lima tahun kemudian, lahan di
sekitar mushola dimanfaatkan guna mendukung kegiatan keagamaan yang
dilakukannya.
"Tahun 1916,
beliau memboyong keluarga dari desa asalnya dengan membawa bayi laki-laki yang
berusia 100 hari, yakni Badrun. Seiring itu, mushola diperbesar hingga
ukurannya menjadi 5X9 meter," katanya lagi.
Lambat laut karena
perkembangan ajaran islam di Citangkolo semakin melesat, di tahun 1923 mushola
yang sudah diperbesar ukurannya tersebut diubah menjadi Masjid Jami' atas
permintaan Bupati Tasikmalaya saat itu. Hal itu dilatarbelakangi semakin
banyaknya pemuda-pemudi belajar agama ke Kiai Marzuki.
Saat proses
pengembangan cikal bakal Pesantren Citangkolo itu, KH Munawir menambahkan, Kiai
Marzuki dibantu anaknya yang bernama Kyai Mad Soleh (wafat tahun 1950) serta
menantunya.
Pesantren jadi
sasaran bom Belanda
Pasa saat zaman pra
kemerdekaan, Pesantren Citangkolo menjadi salah satu basis pergerakan untuk
membantu para pejuang dalam merebut kemerdekaan dari tangan kolonial Belanda.
Dengan semangat berjuang, pasukan dinamakan Hizbulloh yang dipimpin Kiai
Badrun, yang kini dikenal dengan sebutan KH Abdurrohim setelah namanya diubah,
dan membawahi pasukan di wilayah Ciamis, Tasikmalaya, dan daerah sekitarnya.
"Lantaran
tercium pergerakannya oleh Kolonial Belanda, Pesantren Citangkolo akhirnya
menjadi sasaran tembakan meriam Belanda dari Banjar. Apalagi kemarahan Belanda
memuncak ketika terjadi adanya penggulingan Kereta Api di wilayah Cibeureum
Desa Mulyasari, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar," imbuh KH. Munawir yang
juga lulusan Al Azhar, Kairo, Mesir.
Sebelum Kyai Badrun
menyiarkan agama islam sebagaimana amanat untuk melanjutkan perjuangan ayahnya,
ia kembali menuntut ilmu ke pesantren sebelum mengembangkan Pesantren
Citangkolo.
Tahun 1960, terang
KH. Munawir, Pondok Citangkolo mengalami kondisi Fatroh (kekosongan Pemimpin).
Setelah dirintis kembali pada 10 Muharam di tahun 1960, namanya Diubah menjadi
Ponpes Miftahul Huda, dan pada 10 Muharam tahun 1987 nama Ponpes Miftahul Huda
ditambah nama menjadi Miftahul Huda Al Azhar Citangkolo seiring kepulangan KH
Munawir belajar dari Mesir.
"Alhamdulillah
sejak saat itu Pesantren Citangkolo secara perlahan mulai mengalami
perkembangan cukup pesat hingga saat ini yang memiliki lembaga pendidikan mulai
dari tingkat PAUD, MI, SMP, MTs, SMA, MA serta Perguruan Tinggi STAIMA Banjar.
Makanya di tiap bulan Muharam, kita selalu merayakan Haul pendiri Ponpes dengan
berbagai kegiatan selama satu bulan penuh," pungkasnya. []
(Muhafid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar