Alkisah, ada seorang
lurah di sebuah desa penghasil madu. Ia mengumpulkan warganya untuk
menyumbangkan madu kepada masyarakat lain yang baru ditimpa bencana alam.
Kepada warganya ia menganjurkan agar masing-masing menyumbangkan madu dalam
cangkir dan supaya di waktu malam dikumpulkan di Pendopo. Di sana sudah
tersedia bejana-bejana.
Mengapa di waktu malam, supaya tidak malu, sebab mungkin saja di antara anggota masyarakat itu ada yang hanya bisa menyumbangkan setengah cangkir, seperempatnya, atau bahkan kurang dari itu. Tidak soal, yang penting semuanya ikut berpartisipasi dalam kebaikan.
Sang lurah senang sekali karena ternyata semua warganya datang dan menuangkan isi cangkir ke dalam bejana- bejana yang telah disiapkan, dan dia tidak sabar menunggu pagi. Tetapi apa yang terjadi ketika hari sudah mulai terang. Sang lurah kaget luar biasa, karena tidak satu pun bejana itu yang berisikan madu melainkan air.
Maka dikumpulkan lagi rakyat untuk menanyakan bagaimana hal itu bisa terjadi. Masing- masing menoleh kepada yang lain, dan mengira bahwa yang membawa air itu cuma dia sendiri. Rupanya malam itu ada yang berpikir bahwa jika semua orang membawa madu, maka kalau ada seorang yang membawa air tentu tidak akan kentara. Dia lupa bahwa ada kemungkinan semua orang berpikiran seperti itu. Memang, yang terjadi adalah semua orang berpikiran demikian sehingga tidak ada setetes pun madu dalam bejana.
Itu suatu lukisan tentang tidak adanya tanggung jawab pribadi. Maka, Nabi mengatakan ibda’ binafsik (mulailah dari dirimu sendiri). Bayangkan kalau yang terjadi sebaliknya, yakni seluruh warga desa menyadari tanggung jawab mereka sebagai warga yang baik, sehingga semuanya membawakan madu yang terbaik. Maka tentu di pagi harinya sang lurah akan merasa kaget. Dia minta sekadar madu, tetapi yang terkumpul madu yang kualitasnya terbaik. []
Dikutip dari Ensiklopedi Nurcholish Madjid (Jilid 3), 2012 (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar