Berpuasa
Bicara dan Bersosmed
Oleh:
Nasaruddin Umar
ALQURAN
memperkenalkan jenis puasa lain selain puasa konvensional, Manahan diri untuk
tidak makan, minum, dan berhubungan suami istri di siang hari. Jenis puasa
lainnya ialah berpuasa untuk tidak bicara. Ternyata, bagi orang tertentu, lebih
sulit berpuasa bicara daripada berpuasa makan dan minum serta berhubungan suami
istri. Mungkin karena itulah maka Allah SWT meminta Nabi Zakaria berpuasa untuk
berbicara selama tiga malam. "Dia (Zakaria) berkata: Ya Tuhanku, berilah
aku suatu tanda; (Allah) berfirman, “Tandamu ialah engkau tidak dapat berbicara
dengan manusia selama tiga malam, padahal engkau sehat.” (QS Maryam/18:10).
Firman
Allah ini menunjukkan bahwa menahan diri untuk tidak berbicara kepada manusia,
ternyata sesuatu yang sulit. Apalagi jika ada objek pembicaraan yang menarik
untuk dibicarakan. Bahkan Alquran menyerukan kita untuk sesekali berada dalam
suasan sunyi senyap untuk mengingat Allah SWT, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sunyi senyaplah segala suara karena (takut) kepada Allah Yang Maha Pengasih,
sehingga tiada Engkau dengar kecuali suara halus (bunyi telapak kaki)”. (QS
Thaha/20:108). Mengendalikan diri untuk tidak mengumbar pembicaraan, tentu
termasuk berpuasa untuk bersosial media, sangat dianjurkan dan nilainya amat
besar di mata Allah SWT.
Khithab
(perintah) Allah SWT untuk berpuasa bicara hanya tiga malam, bukannya 30 hari
berpuasa untuk tidak makan dan tidak minum. Kali ini Allah SWT meminta Nabi
Zakaria berpuasa tiga malam berturut-turut, sebagai bukti beratnya berpuasa
bicara. Apalagi saat-saat kita menjadi saksi kunci di dalam suatu peristiwa
atau karena kebetulan kita memiliki banyak bahan yang sedang ramai dibicarakan.
Berpuasa
untuk bersosial media tentu sama saja sulitnya berpuasa bicara. Jika kita mampu
mengendalikan jari-jemari tangan kita untuk menyentuh alat sosial media tentu
nilainya juga sangat tinggi, karena daya efek yang ditimbulkannya sama saja
dengan menuturkannya di mulut.
Berkali-kali
Nabi menasihatkan agar kita membatasi diri untuk bicara, apalagi bicara
sembarangan. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat, hendaklah berkata dengan baik atau lebih baik diam.” Seruan dan
peringatan Allah SWT dan Rasul-Nya agar manusia membatasi diri untuk bicara,
terutama jika yang dibicarakan itu menyangkut aib atau fitnah yang dapat
menghancurkan nama baik orang lain, sangat banyak mendapatkan banyak penekanan.
Ini bisa
dimaklumi bahwa pembicaraan yang dapat menjadi malapetaka orang lain selalu
terjadi di dalam sejarah umat manusia dari dulu sampai sekarang. Tidak sedikit
problem sosial rumit muncul karena mulut dan media sosial kita lepas kendali.
Alquran dan hadis banyak memberikan contoh tentang perumpamaan orang yang tega
menghancurkan orang lain melalui fitnah dan tudingan disebutkan di dalam
Alquran, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu ialah dosa dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang
lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS
Al-Hujurat/49:12).
Banyak
lagi ayat dan hadis yang berbicara senada dengan ayat ini, yang kesemuanya
memperingatkan kita agar berhati-hati menggunakan mulut dan sosial media.
Memfitnah atau membongkar aib orang lain semakin memprihatinkan akhir-akhir
ini. Kita khawatir ada orang yang mencari keuntungan materi di balik
penyingkapan aib orang lain. Jika itu benar adanya, harta atau materi tersebut
dikhawatirkan bermasalah, paling tidak kurang berkah.
Di
berbagai media televisi banyak kita menyaksikan infotaiment yang mempreteli aib
orang lain. Ironisnya, perbuatan yang tercela ini paling banyak diminati para
pemirsa. Perhatikan media infotaiment yang ditayangkan hampir semua TV, baik TV
publik maupun TV berlangganan. Yang paling banyak menyedot pemirsa ialah
tayangan tersebut. Isi tayangan itu ialah pengungkapan hal-ihwal para
selebritas, pejabat, dan tokoh-tokoh publik lainnya. Isi pemberitaan tersebut
hampir semuanya tentang hal-hal yang miring yang dapat memojokkan orang lain.
Pengungkapan
aib orang lain melalui media sama dengan pembunuhan karakter orang itu. Karena
itu, pengungkapan aib, fitnah, dan gosip ini harus menjadi keprihatinan kita
Bersama. []
MEDIA
INDONESIA, 2 Maret 2018
Nasaruddin
Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar