Mental
Block
Oleh:
Komaruddin Hidayat
SUATU
hari seorang ibu berjalan bersama anaknya melewati seekor gajah yang kakinya
diikat dengan gelang dari tali bambu, lalu gelang tali itu disambung dan
diikatkan ke sebuah pohon kecil. Melihat seekor gajah yang besar hanya diikat
dengan tali kecil, anak tadi ketakutan ingin lari menjauh. Namun, ibunya
meyakinkan pada anaknya agar tidak usah takut dan tak perlu lari menjauh.
Anaknya
heran akan nasihat ibunya, lalu menjawab: “Bu, gajah itu besar dan kuat.
Sedangkan tali dan pohon itu kecil sekali, sangat mudah bagi gajah untuk lepas.
Bagaimana kalau gajah itu lepas dan mengamuk? Pasti orang-orang kampung akan
lari ketakutan.”
Ibu itu
pun menjelaskan, gajah itu tak akan lari karena sejak masih kecil kakinya sudah
dikenakan gelang pengikat terbuat dari tali sehingga gajah itu tak bisa dan tak
pernah pergi jauh dari tempatnya. Setelah besar, gelang tali itu selalu
dikenakan oleh pemiliknya sehingga gajah yang sudah besar dan berbadan kuat itu
pun akan tetap merasa terikat kakinya dan tak mampu pergi jauh.
Gajah itu
tidak lari bukan karena fisiknya lemah dan sakit, tetapi karena sudah tertanam
kuat dalam dirinya bahwa kakinya selalu terikat sehingga tidak bisa pergi jauh,
alih-alih lari.
Apa yang
dijelaskan ibu di atas, dalam istilah psikologi disebut mental block, yaitu
pengalaman buruk yang terekam kuat ketika masa kanak-kanak akan menghalangi
pertumbuhan mentalnya secara optimal dalam perjalanan hidupnya, kecuali
seseorang mampu membongkarnya.
Pengalaman
pahit dan tertindas itu membuat dirinya kerdil, tidak percaya diri, dan tidak
mampu menggali potensi kekuatan yang terpendam.
Dalam
kehidupan anak terdapat banyak faktor dan pengalaman negatif yang membuat
pribadi anak tidak berkembang akibat terjadi mental block. Salah satunya adalah
sikap orang tua atau guru yang selalu menilai, memberi label dan memperlakukan
anak sebagai anak bodoh, ditanamkan pandangan pesimis bahwa dia tidak akan
sukses di masa depan, serta dibanding-bandingkan dengan anak lain yang dianggap
pintar dan selalu bagus nilai ujiannya.
Orang tua
atau guru yang otoriter, ingin anaknya selalu benar, anak tidak diberi
kesempatan untuk mencoba hal baru dan mengalami berbuat salah, membuat anak
tidak memiliki sikap percaya diri. Dia tidak akan pernah belajar dari
kesalahan.
Anak akan
terkondisikan melihat dirinya bodoh, tidak pernah dilatih untuk berimajinasi
tentang masa depan yang lebih luas dan indah. Jika kondisi ini berkepanjangan,
situasi ini akan menciptakan mental block, seperti gajah yang merasa terikat
kakinya padahal hanya oleh tali rapuh.
Contoh
lain, remaja yang menjadi korban pelecehan seksual atau pemerkosaan juga sangat
potensial dihinggapi mental block. Mereka merasa kehilangan harga diri dan
kebanggaan diri, bahkan ada yang hendak bunuh diri, masa depannya menjadi
gelap, dan merasa dirinya dicemooh oleh orang-orang di sekitarnya.
Pendeknya,
hidup tak lagi menarik, bahkan dirasakan sebagai panggung derita dan penistaan.
Oleh karenanya, remaja yang menjadi korban pemerkosaan sangat memerlukan
bimbingan dan pendampingan psikologis serta penerimaan yang intens, tulus, dan
dukungan dari keluarga serta teman-teman dekatnya.
Dalam
konteks sosial, sebuah bangsa yang pernah lama dijajah sangat bisa jadi
dihinggapi mental block. Suatu ingatan kolektif yang diwariskan dari orang tua
pada anak-anaknya bahwa dirinya adalah bagian dari bangsa yang kalah, lembek,
dan bodoh, sehingga pantas dijajah bangsa lain.
Senang
melecehkan bangsa sendiri (masochistic), mudah kagum terhadap hal-hal yang
serba asing atau impor. Bangsa Indonesia yang lama dijajah asing, sekalipun
sudah merdeka tetap saja mentalnya belum bisa tampil sebagai bangsa merdeka,
berdaulat.
Ternyata
tidak mudah memotong warisan mental block, padahal Indonesia merdeka dijemput
dengan perjuangan berdarah-darah dan tak terhitung nyawa melayang. Sebuah
agenda bangsa yang sangat urgen dan mendasar, bagaimana membangun generasi
kreatif-inovatif yang bermental pemenang (winner mentality).
Pilkada
itu mestinya menjadi ajang pembentukan pribadi tangguh, bermental juara, bukan
menang karena money politics dan permainan kotor. Itu namanya pecundang
demokrasi, bukannya pejuang dan pemenang kontestasi. []
KORAN
SINDO, 23 Februari 2018
Komaruddin
Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar