Kemuliaan dalam Berbangsa
Oleh: Haedar Nashir
Adakah di antara anak bangsa saaat ini tengah menyimpan getaran
marah dan benci pada siapapun di negeri tercinta yang bermuara pada hilangnya
sikap arif nan mulia? Suatu aura kemarahan dan ketaksukaan yang tergores tajam
oleh gelora perseteruan politik dan luka-luka sosial lain yang menyuburkan
benih permusuhan dan berpotensi menyebabkan retak di tubuh bangsa!
Kita perlu belajar pada perangai emas Khalifah Ali bin Abi Thalib,
hakim Syuraih bin al-Harits, dan seorang Yahudi yang terlibat dalam perkara
rebutan baju besi. Ali merasa kehilangan pakaian kebeserannya yang berpindah
tangan pada seorang Yahudi. Meski Ali penguasa, dia tidak menggunakan tahtanya
untuk mengambil paksa.
Khalifah keempat mengajukan Yahudi itu ke pengadilan. Hakim
Syuraih yang dikenal adil sejak era Umar bin Khattab dalam proses peradilan itu
ternyata memenangkan perkara untuk Yahudi. Ali tak mampu menunjukkan bukti yang
kuat, sedangkan putranya Hasan ditolak kesaksiannya kerena senasab. Saudara
sepupu Nabi putra Abi Thalib itu dengan ikhlas menerima keputusan yang tidak
menguntungkan dirinya.
Khalifah sempat protes kenapa anaknya yang dijamin masuk surga
oleh Rasulullah tidak diterima kesaksiannya. Syuraih dengan tegas mengutip ayat
Alquran surat al-Maidah ayat ke-8, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakan kebenaran karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum
mendorong kamu berbuat tidak adil”.
Frasa “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong
kamu berbuat tidak adil”, sungguh merupakan nilai utama yang mendalam, yang
dipakai rujukan oleh hakim dalam memutuskan perkara. Ayat ini sabab nuzulnya
terkait soal rebutan kunci Ka’bah antara Abbas paman Nabi dan ayah Utsman.
Syuraih menggunakannya sebagai dasar menentukan keputusan yang adil. Dia tidak
ingin karena yang berperkara seorang khalifah versus warga negara beragama
Yahudi, membuat dirinya tidak adil.
Ali rela hati kalah dalam perkara itu dan bangga akan sikap adil
sang hakim. Khalifah bahkan kemudian mengikhlaskan baju besi kesayangannya itu
menjadi milik warga Yahudi. Sang Yahudi pun kagum dengan sikap mulia Ali dan
hakim Syuraih, sehingga akhirnya memeluk Islam. Itulah keindahan perangai
utama, yang lahir dari jiwa tulus nan autentik ketika terlibat dalam silang
sengketa kehidupan.
Sikap adil
Islam mengajarkan pemeluknya untuk berbuat adil, yakni sikap benar
yang objektif dan tidak berat sebelah. Adil itu menempatkan sesuatu pada
peoporsinya yang tepat. Jika orang lain bertindak benar, maka benarkan dia,
demikian pula manakala salah janganlah dibenarkan. Benar dan salah pun bukan
ukuran subjektif sendiri, tanya pula suara hati. Tidaklah boleh rasa suka atau
tidak suka mempengaruhi sikap untuk berbuat adil pada orang lain. Perangai dan
tindakannya terukur benar dan tidak melampaui batas.
Ajaran tentang keadilan merupakan hal yang sangat esensial dalam
Islam. Allah berfirman dalam Alquran yang artinya, "Wahai orang-orang yang
beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi
karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.
Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran." (QS An-Nisaa':135). Sikap adil itu pantulan dari nilai benar
dan nirhawa nafsu, sehingga insan beriman menjadi lurus hati sekaligus
proporsional. Menyuarakan kebenaran tanpa kegarangan.
Sikap adil bahkan harus ditunjukkan meskipun terhadap pihak lain
yang dianggap buruk perangai. Allah berpesan dalam Alquran yang artinya:
"Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak
memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan),
maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka atau berpalinglah dari mereka;
jika kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan memberi mudharat
kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah
(perkara itu) di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang adil." (QS al-Ma'idah :42). Pesan ini penting untuk misi
dakwah agar tidak bermuatan amarah.
Pandangan yang terasa tajam tentang ajaran keadilan itu
sesungguhnya menunjukkan betapa mendasarnya nilai yang satu itu bagi ketertiban
dan kelangsungan hidup manusia. Secara alamiah atau naluriah manusia sering
kehilangan sikap adil karena dorongan hawa nafsu. Nafsu memandang orang lain
musuh, nista, dan serba buruk yang mesti dihadapi dengan sikap yang sama.
Mereka yang berbuat buruk harus dibalas dengan keburukan. Mereka yang dipandang
lawan harus diperlakukan sebagaimana hukum perang. Lebih-lebih manakala diri
merasa benar dihadapan pihak lain yang mesti kita perlakukan sepadan, yang
buahnya sikap tidak adil.
Karena merasa pihak lain lawan dan buruk, maka ketika berbuat baik
sekalipun maka hilanglah kebaikan itu. Pada titik ini lantas siapapun yang
semula normal dalam berpikir dan bertindak, tidak jarang kehilangan
keseimbangan atau batas normalitas, yang menyeruak justru ketaknormalan.
Energi yang keluarpun serbanegatif, sehingga orang lain atau dunia serbasesak
dan tidak ada baiknya. Jika penyakit hati seperti ini terus tertanam, maka lama
kelamaan akan menjadi benih keresahan dan ketidaktenteraman hidup karena di
luar sana kehidupan penuh dengan kegelapan.
Para pemimpin dan warga yang adil menjadi dambaan di negeri
manapun. Pemimpin negeri, termasuk tokoh agama, tidak boleh berat sebelah.
Memperlakukan orang lain buruk karena tidak suka, sebaliknya bersikap baik
karena suka. Lebih-lebih di era media sosial yang dengan mudah memproduksi
hal-hal yang membuat diri dipenuhi hawa nafsu untuk berkata dan berbuat tidak
adil dengan aura marah dan benci. Kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara akan
makin hiruk-pikuk dan gaduh manakala hilang jiwa adil dalam diri elite dan
warga bangsa. Maka bertanyalah pada hati yang paling jernih, sudahkan kita
bersikap adil satu sama lain?
Jiwa ihsan
Selain nilai adil, setiap mulsim juga diajarkan untuk berbuat
ihsan. Ihsan ialah kebajikan utama yang melintas batas ruhani seseorang. Ihsan
ialah “engkau menyembah Allah seolah engkau melihat Dia, kalaupun engkau tak
mampu melihat Dia, sesungguhnya Allah melihatmu” (HR Bukhari-Muslim). Hadis
tersebut mengandung makna hakikat dan makrifat dalam habluminallah (hubungan
dengan Allah), yang buahnya ialah habluminannas atau hubungan antar insan yang
serba luhur.
Alamiah manusia diberi rasa suka dan tidak suka pada sesuatu,
namun jangan berlebihan. Agama mengajarkan, siapa tahu apa yang engkau suka itu
di kemudian hari buruk bagimu. Sebaliknya yang engkau benci itu membawa
kebaikan untuk dirimu. Hidup itu penuh warna dan rahasia, adakah diri kita
serba baik? Di situ pemaknaan tentang hikmah, qadha, dan taqdir. Insan beriman
harus yakin akan kebenaran serta beramar ma’ruf dan nahyu munkar, tetapi
tegakkan sikap tengahan berbasis adil dan ihsan. Amar ma’ruf nahyu munkar pun
perlu hikmah, edukasi, dan dialog (QS al-Nahl: 125), bukan dengan kegarangan
dan merasa diri paling benar.
Sikap ihsan yang memancarkan kemuliaan ditunjukkan dalam uswah
hasanah Nabi. Ketika beliau dilempari batu hingga terluka parah tatkala hijrah
ke Thaif, Nabi akhir zaman itu bahkan menolak tawaran Malaikat Jibril agar kaum
yang melukainya itu diberi azab Tuhan. Nabi justru memaafkannya karena kaum
Thaif itu belum berpengetahuan. Sikap buruk tidak dibalas dengan keburukan,
sebaliknya diganti dengan kebaikan. Memang berat, tetapi itulah pancaran
kemuliaan insan beriman.
Nabi bahkan mengajarkan umatnya untuk menyambung tali silaturahim
yang terputus. Menghalalkan pihak yang mengharamkan diri kita. Bersikap lembut
terhadap mereka yang kasar. Inilah ihsan sebagai mozaik ruhani yang melahirkan
sikap mulia nan utama. Sikap luhur yang melampaui batas langit dan
bumi, karena ruhani Rasulullah telah mengalami mi’raj hingga ke puncak
tertinggi Ilahiah, yang niscaya diikuti oleh para umatnya manakala merasa
sebagai pengikut Nabi Muhammad. Jika tidak ingin meraih kemuliaan perangai, apa
yang hendak dicari sebagai kelebihan muslim dibanding yang lain dalam
menampilkan al-akhlaq al-karimah sebagaimana risalah Nabi.
Nabi bersama kaum muslimin memang pernah perang melawan kaum
Quraisy. Namun perangnya Nabi karena membela diri dan menjaga keberadaan umat
serta membela ajaran Islam, yang segala halnya dilakukan dengan akhlaq yang
mulia. Bukan karena dorongan hawa nafsu dan ambisi-ambisi duniawi yang
bertentangan dengan ajaran utama Islam sebagai agama damai dan penyebar
keselamatan. Jangan pula jiwa perang itu terus membara dalam relasi
habluminannas yang normal. Bukankah Islam bermakna selamat dan damai?
Ujian bersikap adil dan ihsan kini hadir di depan kehidupan setiap
insan beriman di negeri ini. Kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan saat ini
selain memerlukan mutiara adil yang autentik, juga memerlukan nilai mulia
ihsan. Allah bahkan dengan tgas memerintahkan kaum beriman untuk berbuat adil
dan ihsan (QS an-NAhl: 90). Para mubaligh ketika berkhutbah bahkan selalu
mengutip ayat al-Quran itu sebagai pengunci pesan khutbah dan tausyiyah.
Sebarkanlah nilai adil dan ihsan itu sebagai perekat hidup berbangsa dan
bernegara sebagai cermin risalah Islam rahmatan lil-‘alamin.
Maknanya agar baik umat yang awam lebih-lebih muslim yang berilmu
dan menjadi penyuluh ajaran dapat mempraktikkan adil dan ihsan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebarkan pesan-pesan positif yang
ma’ruf dan membawa kegembiraan agar umat dan bangsa makin optimis dan damai dalam
berperikehidupan sehari-hari secara bersama-sama. Ketika harus menyuarakan
peringatan atas hal-hal buruk atau munkar, gelorakan dengan cara yang ma’ruf
dalam bingkai adil dan ihsan. Bukan dengan amarah dan aura kegarangan hatta
atasnama pesan agama sekalipun.
Media sosial dan politik jangan menyuburkan insan beriman gemar
memproduksi segala bentuk kebencian, amarah, dan permusuhan yang menjauhkan
diri dari sikap adil dan ihsan. Dalam keadaan dan melalui media apapun
semestinya tidak ada ruang bagi insan muslim mengeluarkan ujaran dan sikap yang
menunjukkan akhlaq madhmumah (tercela), sekaligus menggerus akhlak karimah nan
mulia. Jadilah Muslim yang akil-baligh, mnjauhi sikap kekanak-kanakkan oleh
pola asuh media sosial yang salah kaprah. Bukankah kemuliaan Muslim terletak
pada akhlaknya yang luhur sebagaimana ajaran uswah hasanah Nabi akhir zaman.
Ketika Abu Bakar Siddiq berbantah-bantahan dengan kaum Yahudi yang
meninggikan derajat Nabi Musa ketimbang Nabi Muhammad, Abu Bakar membalas
dengan mengatakan Muhammad lebih tinggi ketimbang Musa. Rasulullah SAW menegur
Abu Bakar agar tidak bersikap berlebihan. Nabi akhir zaman itu mengajarkan
keutamaan sikap adil dan ihsan wujud akhlak karimah sebagaimana risalah
kenabiannya, “Aku diutus tiada lain untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”! []
REPUBLIKA, 25 Februari 2018
Haedar Nashir ; Ketua Umum Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar