Rabu, 02 Mei 2012

(Ngaji of the Day) Strategi Menghabisi Terorisme dan Radikalisme sampai Akarnya


Strategi Menghabisi Terorisme dan Radikalisme sampai Akarnya

Oleh: Muhammad Amrullah*



Apresiasi sebesar besarnya atas kerjasama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan Republik Federal Jerman untuk mengatasi terorisme. Dengan kerja sama ini maka Seminar Internasional bertema ‘Peran Ulama Pesantren dalam Mengatasi Terorisme Global’ pun terwujud pada tanggal 16-18 Maret 2012 kemarin. Diantara yang esensial dalam seminar ini adalah pernyataan BJ Habibie (Presiden ke-3 Indonesia) bahwa “penanganan terorisme tidak bisa dilakukan seperti menghadapi ancaman pertahanan dan keamanan klasik konvensional” bahkan “dibutuhkan pendekatan, pemikiran, dan strategi baru dan canggih […] (NU Online 17/03/2012)


Dari sini kemudian tulisan ini hadir sebagai bentuk penawaran pendekatan, pemikiran dan strategi yang—walaupun mungkin tak semuanya—baru yang nantinya bisa saling melengkapi dengan yang lainnya. Sebab bagi penulis, untuk menghabisi terorisme dan radikalisme memerlukan pendekatan, pemikiran dan strategi yang cerdas, komprehensif dan integratif. Memerlukan sinergi oleh banyak pihak dan peran, baik untuk tingkat nasional, regional maupun global.


Pertanyaan yang wajib diketengahkan terlebih dahulu adalah, bahwa perang terbuka melawan terorisme telah sejak lama digalakkan dengan berbagai cara dan menelan biaya melimpah. Densus 88 dibentuk, pengejaran, pengepungan, saling baku tembak bak dalam film sering kita saksikan, lalu hukuman mati ditegakkan. Namun, kenapa terorisme tak pernah habis, bahkan semakin subur, cerdas, sistematis, kreatif dan inovatif? Kenapa begitu? Karena terorisme dan radikalisme, khususnya yang berkedok agama, memiliki akarnya. Dan perang terbuka seperti tergambar di atas tak mampu membunuh akarnya. Akarnya masih tetap hidup dan terus menumbuhkan duri-duri terorisme dan radikalisme kembali.


Menelisik Akar Terorisme dan Radikalisme


Dalam beberapa note yang saya tulis terkait terorisme dan radikalisme saya selalu menegaskan bahwa penanganan terorisme dan radikalisme yang bukan dari akarnya tak akan mampu memutus mata rantai terorisme dan radikalisme. Karena memerangi terorisme dan radikalisme bukan dari akarnya, semisal dengan membentuk densus 88 itu, tak ubahnya pohon berduri yang membahayakan kemudian hanya memotong duri-durinya saja dan membiarkan akarnya tetap hidup. Tentu suatu saat akar itu akan menumbuhkan duri-duri kembali. Berbeda dengan ketika akarnya telah mati maka duri terorisme dan radikalisme pun tak akan tumbuh kembali. Namun bukan berarti penanganan semacam itu mutlak tak diperlukan, bahkan harus disinergikan dengan penanganan yang lebih efisien. Lantas apa akar terorisme dan radikalisme yang berkedok agama itu? Dan bagaimana membunuhnya?


Akarnya banyak dan kadang sulit terbaca. Salah satunya adalah ideologi dan doktrin keliru yang telah mencuci otak para teroris dan radikalis sehingga hal keliru dianggap benar, pembunuhan dianggap jihad. Akhirnya, mereka pun tak segan-segan melakukan perbuatan bodoh berupa teror dan radikal meskipun harus menghilangkan nyawa sendiri. Ironisnya, ideologi itu dengan sangat mudahnya mereka dapatkan dari para pengasongnya dengan cuma-cuma, bahkan sengaja dipaksakan tertanam dalam otak mereka. Bisa secara oral, melalui kitab (baca-buku), media, dan yang paling gencar adalah melalui internet. Jika akarnya adalah ideologi tentu logis jika teroris dan radikalis terus merajalela meskipun telah berulangkali ditangkapi dan dibunuhi. Karena yang terbunuh hanyalah raga semata sementara ideologinya tetap bergentayangan. Dan, untuk membunuh ideologi kita memerlukan pisau ideologi lain yang lebih tajam.



Tesis bahwa akar terorisme dan radikalisme adalah ideologi dan doktrin bisa dibenarkan oleh pengakuan para pelaku teror dan radikal itu sendiri. Dalam beberapa aksinya mereka mengaku bahwa apa yang mereka lakukan adalah berjihad di jalan Allah yang mereka pahami dari teks-teks al-Qur'an dan Sunnah yang diinterpretasikan secara ngawur dan serampangan. Sebagai sample simaklah penjelasan salah satu mantan anggota Jama’ah Islamiyah (JI) Nasir Abbas yang juga mengetahui cara membuat bom, pada Sabtu (17/3/2012) bahwa “di samping motif psikologis, aksi teror juga didorong motif ideologis, terutama tentang pentingnya aksi jihad. Mereka mendasarkan diri pada sejumlah ‘ayat perang’ yang secara permukaan memang potensial disalahgunakan.” (NU Online, 17/03/2012). Jika demikian maka interpretasi teks-teks keagamaan memiliki peran signifikan.


Langkah Strategis dan Kongkrit; Sebuah Tawaran


Konsisten dengan tesis di atas bahwa akar terorisme dan radikalisme yang mengatasnamakan agama adalah ideologi dan doktrin keagamaan yang dideviasi. Ideologi dan doktrin itu diperoleh dari pengasongnya; ada kalanya secara oral, melalui buku, dan media baik cetak maupun online (internet) dll. Oleh sebab akarnya bermotif ideologis dan doktrinal keagamaan serta penyebaranya yang melalui berbagai macam cara tersebut maka untuk mengatasinya juga memerlukan berbagai macam cara dan melibatkan banyak peran dari berbagai pihak terkait; para ulama yang akan menginterpretasikan teks-teks keagamaan secara toleran dan moderat, percetakan dan penerbit, insan media baik cetak maupun online dll. Masing-masing bergerak di medan ahlinya dan saling bersinergi sehingga memancarkan kekuatan yang integral dan paripurna.


Tanpa mengsinergikan elemen-elemen tersebut maka pembasmian terorisme dan radikalisme dari akarnya akan sulit terwujud, atau bahkan mustahil!. Pihak media saja tak cukup. Karena segencar apapun usaha mereka—bekerja sama dengan para pakar, misalkan--untuk mem-balance dan memurnikan media dari paham terorisme dan radikalisme maka tak akan menuai hasil signifikan ketika di satu sisi para pengasongnya juga terus gencar mengasongkanya, terlebih jika lebih gencar. Di sinilah peran ulama sangat dibutuhkan, yakni untuk menghambat arus terorisme dan radikalisme agar tak terlalu deras mengalir ke media, semisal dengan fatwa kolektifnya dst.


Sementara di sisi yang lain jerih payah ulama kurang berarti tanpa bantuan media. Karena tanpa media fatwa dan pemikiran moderat dan toleran mereka akan terkungkung di ruang sempit. Media lah yang akan membumikan fatwa dan pemikiran moderat serta toleran mereka ke penjuru dunia; media sebagai corong ulama. Ketika media dan ulama telah bersinergi maka hasil memuaskan masih jauh didapatkan ketika pihak penerbit dan percetakan ditinggalkan. Sebab buku adalah salah satu jalur utama yang dilintasi paham terorisme dan radikalisme untuk mencari korbanya. Maka untuk mendapatkan hasil yang memuaskan tak ada cara lain kecuali harus mengsinergikan mereka dan pihak lain yang terkait. Lantas, seperti apakah tugas kongkrit masing-masing elemen tersebut, dan bagaimana bentuk kerja samanya? Simaklah ulasan berikut.


Pertama yang harus dilakukan adalah menghimpun seluruh ulama untuk menggelar konferensi bersekala internasional, atau paling tidak nasional. Baik yang bersekala internasional maupun nasional harus melibatkan semua pihak, baik Sunni, Syi’ah, Wahabiyah dan lainya. Khusus untuk konteks Indonesia, harus melibatkan semua pihak mulai dari pelosok desa hingga kota, baik dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) Muhammadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majlis Ulama Indonesia (MUI), FPI (Front Pembela Islam) dan lainya. Semua harus dilibatkan. Sedang terkait bagaimana teknis penghimpunan dan mekanisme konferensinya bisa dikonsultasikan dengan para pakarnya. Karena demi kepentingan bersama maka negara harus mau memprakarsainya.


Dengan menghimpun ulama secara holistik maka kesepakatan atau fatwa yang diputuskan bersama memiliki kekuatan super dahsyat untuk menggempur terorisme dan radikalisme dan kroni-kroninya dari akarnya. Karena mereka adalah yang notabene didengarkan perkataannya oleh manusia. Lantas, untuk apa konferensi para ulama harus dilakukan? Konferensi ini guna menyepakati secara aklamasi untuk mengeluarkan fatwa-fatwa kolektif terkait poin-poin esensial berikut ini:


a. Fatwa kolektif haramnya bom bunuh diri tidak pada tempatnya (seperti yang terjadi di Indonesia) dan tak syahidnya pelaku bom bunuh diri itu, bahkan mati sebagai teroris, dan haramnya segala tindak teror dan radikal yang mengatasnamakan agama lainya. Kemudian fatwa kolektif larangan keras saling mengkafirkan dan menuduh secara serampangan kepada pihak manapun, khususnya yang masih membaca ‘kalimat tauhid’. Jika fatwa kolektif ini terealisasikan maka bukan tak mungkin jika radikalisme dan terorisme yang berkedok agama akan segera sirna.


b. Fatwa kolektif haramnya mengekspos dan menyebarkan ideologi dan doktrin yang berpotensi melahirkan terorisme dan radikalisme; baik melalui media, baik cetak maupun online atau internet, ataupun lainya. Termasuk haramnya mengekspos ideologi yang mengkafirkan kelompok lain dan segala pemberitaan yang berpotensi melahirkan terorisme dan radikalisme. Ini terkait dengan gencarnya penyebaran benih terorisme dan radikalisme melalui media, khususnya internet. Ini menuntut para kiai (baca-ulama) dan santrinya agar lebih melek dunia ke-media-an, khususnya yang online. Namun ironisnya, akses kiai dan santri sebagai calon kiai menuju kesana masih relatif minim.


c. Fatwa kolektif pembersihan kitab-kitab atau buku-buku, baik klasik maupun kontemporer, dari segala ideologi dan doktrin yang menuduh kafir dan sesat secara serampangan terhadap kelompok yang masih membaca ‘kalimat tauhid’, atau lebih tepat yang intoleran terhadap pihak lain. Poin ketiga (c) ini sangat penting, karena poin-poin di atas keberhasilan signifikanya sangat ditentukan oleh poin ketiga ini. Di sinilah diperlukanya sinergi antara ulama dan pihak percetakan dan penerbitan. Pihak penerbit dan percetakan tentu tak bisa gegabah menghapus semau isi sebuah kitab (baca-buku) tanpa rekomendasi dari para ahlinya yaitu ulama. Karena ulama lah yang mengetahui mana yang perlu dibuang dan mana yang harus ditetapkan. Sedang pihak penerbit dan percetakan semata mengimplementasikan secara nyata melalui proses penerbitan dan percetakan itu.


Untuk teknisnya bisa dibicarakan bersama, semisal dengan memberi tanda indikasi bahwa pada halaman sekian terjadi pembuangan atau sesuai kesepakan bersama. Pertanyaannya, mungkinkah poin ketiga ini dilakukan? Dr. Muhammad Imarah, seorang pemikir Muslim kontemporer yang cukup moderat, menjawabnya “mungkin!.” Selain itu yang harus dilakukan para ulama adalah menggalakkan penafsiran teks-teks keagamaan yang sering disalah pahami dengan tafsir yang moderat dan toleran.


Tentu fatwa-watwa kolektif tersebut harus diimplementasikan ke realitas yang lebih kongkrit. Sebab itu harus ada tim sukses yang akan membantu mengimplementasikanya. Dan, di sinilah nampak jelas peran pihak media. Bisa dikatakan mereka sebagai tim pelaksana di lapangan atau sebagai corong para ulama. Yang harus dilakukan pihak media di antaranya adalah:


a. Menggelar konferensi media, khususnya Media Islam, baik tingkat nasional maupun internasional yang memiliki visi dan misi yang jelas yaitu mengatasi terorisme dan radikalisme yang berkembang melalui media. Sebagai catatan bahwa Indonesia telah memprakarsai dua kali ‘Konferensi Media Islam Internasional’ (KMII). Yang pertama pada tanggal 1-3 September 1980, diikuti oleh 327 peserta dari 49 negara, dan yang kedua pada tanggal 12-16 Desember 2011 di Jakarta, yang diikuti oleh kurang lebih 330 peserta dari berbagai penjuru dunia yang di dalamnya dibahas isu terorisme dan radikalisme. Ironisnya adalah, KMII yang pertama kali digelar pada tahun 1980 baru digelar lagi tahun 2011 kemarin. Ada bentangan waktu panjang kevakuman. Seharusnya, karena sangat pentingnya konferensi semacam ini, harus sering dilakukan. Maka tak ada salahnya jika ke depanya harus lebih digiatkan.


b. Mempublikasikan secara holistik, massif dan kontinu fatwa-fatwa kolektif yang telah disepakati oleh para ulama dalam konferensi ulama di atas dan pemikiran-pemikiran moderat dan toleran mereka melalui media-media yang mereka naungi.


c. Mengimbangi derasnya arus terorisme dan radikalisme dengan pemberitaan yang membangkitkan toleransi serta bersinergi dengan para pakar untuk membersihkan media, khususnya yang online, dari segala doktrin atau apapun yang berpotensi melahirkan terorisme dan radikalisme, termasuk memblokir situs-situs yang gemar menebar benih kebencian dan kekerasan antar kelompok. Sebagaimana situs porno diblokir seharusnya situs-situs yang berisi konten yang mampu membangkitkan terorisme dan radikalisme juga harus diblokir. Kecuali jika mau memperbaiki isinya menjadi lebih toleran. Di sana memang ada beberapa situs yang berkedok Islam namun isinya sangat meresahkan dan merugikan Islam itu sendiri. Disamping berisi artikel atau berita yang ditulis dengan bahasa arogan juga karena isinya yang menebarkan kebencian antar sesama.


Begitulah, bahwa untuk memerangi terorisme dan radikalisme memang membutuhkan peran dari banyak elemen. Tapi peran paling fital adalah yang seharusnya dilakukan oleh para ulama. Sebenarnya masih banyak yang perlu diketengahkan di sini. Seperti memetakan teks-teks keagamaan yang telah diselewengkan kemudian dijadikan justifikasi atas tindak terorisme dan radikalisme. Kemudian menginterpretasikan teks-teks tersebut secara toleran dan moderat, sebagaimana yang telah dilakukan Al-Azhar. Akan tetapi karena terbatasnya ruang dan waktu maka penulis cukupkan sampai di sini dulu. Tentu, apa yang penulis kemukakan di atas masih sebatas wacana. Masih ada waktu untuk memikirkan, mendialogkan, dan membahas secara lebih mendalam dalam forum yang lebih serius dan dapat dipertanggungjawabkan. Sekian mohon maaf atas segala kesalahan. Wallahu a’lam bish shawâb.


*) Aktifis Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) dan Lembaga Bahsul Masail (LBM) PCINU Mesir. Kuliah di Al-Azhar Kairo jurusan Ushuluddin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar