Senin, 21 Mei 2012

(Buku of the Day) Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânîd

Modul Takhrîj dan Ensiklopedi Mini Literatur Hadits
052.jpg
Judul : Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânîd
Penulis : Dr Mahmud al-Thahhan
Penerbit : Maktabah al-Ma’arif
Cetakan : Ketiga (1996 M / 1417 H)
Tebal : 220 Halaman
Peresensi : Dzul Fahmi *)

Hadits merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an dalam syariat Islam. Kekuatannya sebagai hujjah telah disepakati oleh seluruh umat Islam dari generasi ke generasi. Karenanya, perhatian umat Islam dalam menjaga otentitas Hadits harus benar-benar tercurah secara totalitas. Sistem verifikasi sanad dan kritik matan yang tertuang dalam seluruh literatur studi Hadits merupakan bukti tak terbantahkan bahwa upaya yang dilakukan ulama Muslim dalam memproteksi orisinilitas Hadits bukanlah sekedar retorika kosong.

Salah satu aspek yang paling urgen dan menjadi fokus utama dalam studi Hadits adalah aspek transmisi. Dalam metodologi seleksi Hadits, para perawi Hadits memiliki peran yang sangat signifikan dalam menentukan validitas sebuah Hadits. Karenanya, para ahli Hadits secara cermat dan selektif harus menguji integritas (al-’adâlah) dan kredibelitas (al-tsiqah) para perawi sebelum menyelam lebih jauh ke dalam teks literal Hadits untuk melakukan kritik matan (naqd al-matn). Hal tersebut dilakukan bukanlah untuk mempersempit peran sebuah teks agama, juga bukan ditujukan untuk mempersulit dalam memahami perkataan Rasul, apalagi mengebiri pemikiran, sebagaimana tuduhan orang-orang yang tidak berilmu. Selektifitas yang ada merupakan kelaziman dari ketinggian derajat Hadits Nabi dan upaya untuk melindunginya dari berbagai upaya distorsi terhadapnya.

Seiring berjalannya waktu, penulisan dan kodifikasi Hadits terus dilakukan sebagai konsekuensi logis dari upaya pengukuhan Hadits sebagai sumber syariat Islam setelah melewati fase transmisi verbal. Corak penulisan para Imam dalam membukukan Hadits tergolong cukup variatif dan kompleks. Ada yang menggunakan metode Muwaththa’, Mushannaf, Musnad, Jâmi’, Mustakhraj, Mustadrak, Sunan, Mu’jam, Majma’, Zawaid, dan lain sebagainya, yang tentunya masing-masing dari metode tersebut memiliki katakteristik yang berbeda dalam menyajikan kompilasi Hadits Nabi.

Dalam perkembangan selanjutnya, kondisi tersebut secara tidak langsung mengharuskan umat Islam secara umum, dan pengkaji Hadits serta ilmu syariat secara khusus, untuk memahami kitab-kitab Hadits primer yang otoritatif dari berbagai macam sudut pandangnya, mulai metodologi penulisan hingga karakteristik penting lain yang meliputinya. Alasannya jelas, hal ini sangat diperlukan dalam aktivitas afiliasi Hadits kepada sumbernya yang primer (baca; takhrîj) sebagai bentuk implementasi nyata kejujuran ilmiah. Karena bagaimanapun, menisbatkan sebuah perkataan, terlebih Hadits Nabi, tidaklah bisa dilakukan secara asal-asalan. Jika tidak, maka ancaman yang dijanjikan Nabi dalam beberapa Hadits mutawâtir harus siap diterima bagi siapa saja yang berbohong atas nama Rasulullah, yaitu neraka. Disinilah studi takhrîj Hadits menemukan relevansinya.

Berangkat dari situ pula, buku berjudul Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânîd ini ditulis. Penulisnya, Dr. Mahmud al-Thahhan, dosen serta pakar ilmu Hadits Fakultas Syariah dan Dirasah Islamiyyah Universitas Kuwait, menganggap diskursus takhrîj Hadits ini bukanlah masalah sederhana. Ketidaktahuan umat Islam -lebih-lebih yang menyandang status pelajar syariah- terhadap metodologi takhrij merupakan problem serius yang harus dicarikan solusi. Hal itu terekam jelas dalam pengantar bukunya, di mana penulis mengaku prihatin terhadap fenomena para pelajar Muslim masa kini, yang menurutnya, semakin jauh dalam berinteraksi dengan kitab-kitab serta literatur studi Hadits.

Menurutnya, ada jarak yang ’menganga’ begitu lebar antara realita umat Islam masa kini dengan khazanah Hadits masa lampau, sehingga sangat sedikit – untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali – pelajar ilmu ke-Islaman yang menguasai rujukan utama dalam melakukan aktivitas takhrîj secara komprehensif. Salah satu penyebabnya, bagi al-Thahhan, adalah melimpahnya rujukan primer Hadits ke ruang publik yang tidak diimbangi dengan keberadaan modul baku sebagai panduan dalam men-takhrîj Hadits. Jikapun faktanya ada beberapa kitab takhrîj yang dikarang ulama klasik, itupun hanya sebatas men-takhrîj Hadits yang terkumpul dalam kitab tertentu, seperti kitab takhrîj karya Muĥammad ibn Mûsa al-Hazimî (w. 584) yang secara spesifik didedikasikan untuk men-takhrîj seluruh Hadits yang tertuang di kitab Fikih al-Muhadzdzab, karya Abu Isĥâq As-Syayrâzî dan kitab takhrîj yang ditulis Imam Abu Yûsuf Al-Zila’î (w. 762) yang ditulis dalam rangka menyempurnakan Tafsir Al-Kasyf karya mufasir Muktazilah, al-Zamakhsyarî. Sehingga perlu ada modul baku atau semacam panduan praktis yang universal sebagai acuan dalam aktivitas takhrîj Hadits.

Bagian awal buku ini mengurai secara singkat arti term takhrîj, urgensi diskursus takhrîj dalam studi Hadits, ruang historis yang mengiringi perkembangan ilmu takhrîj, serta beberapa kitab yang dikarang para pakar Hadits klasik dalam men-takhrîj kumpulan Hadits di kitab tertentu. Di sini juga dijelaskan kriteria rujukan primer (Mashâdir al-Hadîts al-Ashliyyah) yang bisa dijadikan sandaran dalam menisbatkan Hadits Nabi :

Pertama, kitab-kitab hadits yang dikumpulkan oleh penulisnya melalui cara talaqqi dari para guru dengan menyebutkan sanad yang lengkap hingga Rasul saw. Di antara kitab yang masuk dalam kategori ini adalah al-Kutub al-Sittah (al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, Ibn al-Majah, al-Nasâ’î, dan Abû Dawud), Muwaththa’ Imam Mâlik, Musnad Aĥmad, Mustadrak al-Ĥâkim, dan lain sebagainya. Kedua, kitab-kitab Hadits yang ditulis sebagai respon terhadap kitab dalam kategori pertama, baik yang berupa kompilasi seperti kitab al-Jam’u bayna as-Shaĥîĥayn karya al-Ĥumaydî, atau resume dari kitab-kitab tersebut, seperti Tahdzîb Sunan Abî Dawud, karya al-Mundzirî. Ketiga, kitab-kitab di luar Hadits – seperti Tafsir, Tarikh, dan Fikih – yang juga menampilkan Hadits-Hadits dengan sanad yang bersambung dari muallif-nya hingga Rasulullah saw. secara independen, dalam arti tidak mengutip dari rujukan lain. Diantaranya adalah Tafsir al-Thabarî, Al-Umm karya Imam al-Syâfi'î, dan kitab-kitab lain yang senada. Dengan demikian, mengafiliasikan Hadits ke selain rujukan primer di atas, seperti ke rujukan sekunder (al-Mashâdir al-far’iyyah) atau tersier (al-Mashâdir al-Mulâhiqah), tidaklah bisa disebut takhrîj Hadits secara terminologi.

Pada bagian selanjutnya yang merupakan pembahasan inti dari buku ini, penulis membaginya menjadi dua bab inti sebagaimana judul bukunya, yaitu bab pertama terkait takhrîj Hadits dan bab kedua seputar studi transmisi (Dirâsah al-Asânîd).

Pada bagian pertama, penulis secara cermat memetakan klasifikasi metode takhrîj menjadi lima metode utama, yang tentunya, didasarkan eksperimen yang dihasilkan penulis dalam berinteraksi akrab dengan tumpukan literatur Hadits selama bertahun-tahun. Secara global, kelima metode tersebut adalah: (1) Takhrij melalui nama perawi generasi sahabat (by the name of Hadiths transmitter from the prophet companions), (2) melalui pengetahuan terhadap awal teks Hadits (by way of knowing the first words from Hadiths text), (3) melalui kalimat asing dan tidak familiar dalam matan (by rare words or unfamiliar from Hadiths text), (4) melalui spirit utama kandungan Hadits (by the basic idea from Hadiths text), dan (5) melalui analisa perihal sanad dan matan (by analyzing the text and the transmittance of Hadiths). Dalam setiap metode, penulis mengawalinya dengan definisi metode, kapan para pen-takhrîj menggunakan metode tersebut, jenis-jenis kitab yang harus dirujuk, lalu menutupnya dengan menampilkan profil singkat setiap kitab plus acuan praktis takhrîj yang harus ditempuh ketika memilih metode terkait.

Buku yang dijadikan mata kuliah di beberapa Universitas Islam di Timur Tengah ini semakin komplit, ketika objek kajiannya tidak hanya terfokus pada literatur Hadits karya ulama Muslim, melainkan juga secara inklusif mencoba memperkenalkan beberapa literatur Hadits yang ditulis orientalis Barat. Salah satunya bisa didapati pada metode yang ketiga, yaitu metode takhrîj melalui kalimat asing dan tidak familiar dalam matan (by rare words or unfamiliar from Hadiths text). Satu-satunya rujukan yang harus dikunjungi ketika menempuh metode ini adalah al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadits al-Nabawî, kamus Hadits yang disusun beberapa orientalis yang dipimpin oleh orientalis Belanda, Dr Arondejan Winsink, Dosen Bahasa Arab Universitas Leiden. Kamus yang disusun secara alfabetis hijâiyyah tersebut secara khusus merangkum kalimat-kalimat yang kurang populer dalam percakapan Arab sehari-hari, yang terdapat pada matan Hadits di sembilan rujukan Hadits primer (al-Mashâdir al-Ashliyyah) yaitu al-Kutub al-Sittah ditambah Muwaththa’ imam Mâlik, Musnad Aĥmad, dan Musnad al-Dârimî. Konfigurasi kamus setebal 7 jilid itu tidak akan mampu difahami secara holistik – terlebih bagi pemula -, karena hanya berisi rumusan-rumusan angka dan huruf yang dipenuhi elemen ambiguitas, apalagi memang tidak ada petunjuk pasti tentang cara penggunaannya. Nah, Dr Mahmud al-Thahhan, dalam buku ini berhasil merumuskan ‘kode rahasia’ yang disusun para orientalis tersebut, sehingga saat ini siapapun bisa mengambil faidah dari kamus tersebut. Sebagai contoh, ketika data yang disajikan kamus tersebut tertulis [ت أدب15], maka yang dimaksud bahwa Hadits tersebut terdapat dalam kitab shaĥîĥ al-Tirmidzî (yang dilambangkan dengan huruf tâ’), pasal ke-15 dari bab Adab.

Pembahasan menarik selanjutnya terdapat di bagian kedua dari pembahasan inti buku ini, yaitu Dirâsah al-Asânîd. Bagian ini dibagi menjadi tiga bab. Bab pertama menerangkan ilmu Jarĥ wa Ta’dîl serta segala hal yang berkaitan dengan sanad, integritas dan kredibelitas perawi. Pada bab kedua, kesadaran historis pembaca akan dibangkitkan melalui penyajian secara komprehensif mengenai klasifikasi literatur Hadits yang secara khusus memuat biografi Rijâl al-Hadîts, yang tentunya, dengan pembagiannya yang runtut dan sempurna. ’Segudang’ metode takhrîj dan studi transmisi yang terangkum dalam buku ini tidak akan sempurna dan masih sebatas teori yang mengambang sebelum mengkaji bab ketiga. Pada bab inilah, para pembaca akan digiring memasuki ’arena nyata’ dari studi takhrîj, melalui penyajian contoh-contoh riil dalam ranah praksis. Contoh-contoh penerapan teori yang disajikan dalam bab ini akan sangat membantu pen-takhrîj dalam meningkatkan analisis kritis dalam menyeleksi sebuah Hadits berikut para rawi yang meriwayatkannya. Barangkali, bagian ending buku inilah yang pantas disebut sebagai intisari dari keseluruhan isi buku.

Akhiran, selain beberapa poin yang telah dipaparkan di atas, hal lain yang penting dari buku ini adalah kekayaan data dalam menyajikan bertumpuk-tumpuk literatur Hadits yang terklasifikasi matang menurut sistematika penulisan dan juga periode sejarah. Sehingga bagi sebagian kalangan, buku ini dianggap sebagai 'ensiklopedi mini' untuk menyelami lautan khazanah studi Hadits yang begitu luas dan dalam. 'Alâ kulli ĥâl, buku ini adalah nutrisi wajib yang harus dikonsumsi para pelajar studi ilmu ke-Islaman, lebih-lebih yang menyandang status sebagai mahasiswa fakultas syariah atau ilmu Tafsir Hadits. Semoga bermanfaat !

* Peresensi adalah mahasiswa Fakultas Syariah, Universitas Al-Ahgaff, Tarim-Hadramaut, Republik Yaman, asal Denpasar Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar