Rabu, 16 Mei 2012

BamSoet: Meluruskan Arah Reformasi

Meluruskan Arah Reformasi



Bambang Soesatyo

Anggota Komisi III DPR RI



SETELAH 14 tahun berproses, reformasi Indonesia malah nyaris salah arah. Reformasi politik cenderung membodohi rakyat. Reformasi hukum berantakan, sementara reformasi ekonomi sama sekali tidak fokus pada kepentingan nasional dan urgensi kemandirian.



Belum relevan untuk membahas atau mempertanyakan kapan bangsa ini bisa menuntaskan semua agenda reformasi, kendati prosesnya sudah berlangsung lebih dari satu dekade. Bagaimana pun, untuk membahas atau mengkaji jadual merampungkan reformasi, harus dilihat dulu progresnya selama 14 tahun terakhir. Harus diakui bahwa persepsi publik tentang progres reformasi terbelah dalam dua pandangan yang sangat kontradiktif atau berlawanan. Mereka yang diuntungkan oleh kesemrawutan suasana sekarang mengklaim bahwa reformasi Indonesia mencatat progres yang sangat signifikan. Sementara kelompok-kelompok tidak memiliki daya untuk berkompetisi menilai reformasi tidak menghadirkan nilai tambah apa pun. Satu-satunya nikmat dari reformasi yang dirasakan seluruh elemen masyarakat hanyalah kebebasan, yakni kebebasan berbicara dan  kebebasan berserikat.



Namun, manakala tema kajian atau pembahasan spesifik pada reformasi politik, hukum dan reformasi ekonomi, mayoritas rakyat kecewa karena reformasi  tiga agenda itu tidak memiliki arah  yang jelas. Alih-alih mengedukasi, reformasi politik malah lebih menonjolkan praktik membodohi rakyat. Benar bahwa hak politik dan kedaulatan rakyat telah dikembalikan kepada setiap individu. Namun, dominasi politik uang di panggung politik praktis saat ini harus dilihat sebagai faktor perusak reformasi politik. Politik uang merampas hak dan mengekspoitir ketidakberdayaan sebagian besar rakyat, terutama masyarakat di lapisan terbawah.



Pun,  sudah menjadi fakta terbuka bahwa rakyat sangat kecewa dengan praktik penegakan hukum dalam tahun-tahun terakhir ini. Pisau hukum di negara ini dirasakan aneh, karena hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Rakyat melihat dengan sangat jelas terjadinya praktik tebang pilih dalam penegakan hukum.  Kalau negara sampai harus mendirikan institusi ad hoc seperti Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) atau Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, itu bukti bahwa reformasi hukum terus dirundung masalah dan nyaris tanpa progres.



Kalau liberalisasi tanpa reserve dipilih sebagai menu utama reformasi ekonomi, harus disadari bersama bahwa Indonesia saat ini sedang berjudi dengan agenda ketahanan ekonomi dan kemandirian ekonomi. Berbagai kebutuhan rakyat, dari kebutuhan pokok hingga kebutuhan sekunder, dipenuhi dengan produk impor. Kran impor dibuka selebar-lebarnya, sementara potensi kekuatan ekonomi rakyat yang dikelompokan dalam komunitas UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) justru diabaikan. Padahal, pada komunitas UMKM itulah sesungguhnya basis ketahanan ekonomi negara dan modal dasar untuk mewujudkan kemandirian.

    

Kesimpulannya, reformasi politik, reformasi hukum dan reformasi ekonomi memperlihatkan kecenderungan salah arah. Ekstrimnya, tiga agenda reformasi itu belum berada di trek yang benar. Reformasi Indonesia nyaris berantakan karena beberapa alasan. Paling utama adalah negara tidak dipimpin oleh negarawan dengan visi kemandirian. Sangat memprihatinkan karena para pemimpin dan para elit masyarakat tidak tahu apa itu kepentingan nasional. Kedua, kepentingan jangka pendek dan kepentingan sempit oknum-oknum penyelenggara negara atau penyelenggara pemerintahan. Ketiga, pemerintahan  era reformasi sekarang sangat akomodatif terhadap kepentingan asing dan tega mengorbankan kepentingan rakyatnya sendiri.



Akibatnya, disadari atau tidak, arah reformasi Indonesia berbelok atau dibelokan ke arah yang serba tidak jelas dan salah. Oleh karena itu, terlalu dini mempertanyakan kapan ketiganya bisa dituntaskan. Sebab, yang harus dilakukan lebih dulu adalah meluruskan arah tiga agenda reformasi itu.  Untuk itu, tidak diperlukan revolusi. Indonesia hanya harus memilih dan menunjuk seorang pemimpin dengan kaliber negarawan, tahu apa itu kepentingan nasional dan kebutuhan rakyat, berambisi mewujudkan kemandirian bangsa di segala bidang,  dan berani menolak tekanan asing.



Jangan lagi memilih sosok pemimpin yang mudah terbuai oleh puja puji pemimpin dan pebisnis asing. Selama ini, pujian yang dialamatkan kepada Indonesia datang dari pemimpin dan pebisnis asing yang telah mendapatkan keuntungan besar dari Indonesia. Sangat memprihatinkan karena pemimpin kita tidak bisa membedakan mana pujian yang tulus dan mana yang menjerumuskan. Karena angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemimpin kita bangga dipuji orang asing. Padahal, pertumbuhan tinggi itu tidak mampu mengurangi jumlah warga miskin dan menciptakan lapangan kerja, karena kualitas pertumbuhannya memang sangat buruk.



Beban Reformasi



Tantangan untuk meluruskan arah reformasi politik, hukum dan reformasi ekonomi memang tidak ringan. Bahkan, boleh jadi, beban tantangannya bertambah berat. Sebab, upaya pelurusan proses reformasi itu memaksa rakyat Indonesia berhadap-hadapan langsung dengan akumulasi kepentingan yang sangat besar. Baik kepentingan sempit di bidang politik, kepentingan besar komunitas koruptor dari sektor hukum dan kepentingan besar ekonomi asing serta lokal yang diuntungkan oleh liberalisasi pasar dalam negeri. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain. Demi kepentingan anak cucu dan masa depan bangsa yang lebih baik, generasi terkini Indonesia memang harus dan wajib meluruskan arah reformasi politik, hukum dan reformasi ekonomi. Jangan sampai di kemudian hari masih terdengar ungkapan sinis ‘orang miskin dilarangsakit dan dilarang bersekolah’. Diyakini bahwa beban atau tantangan itu akan terasa ringan jika rakyat Indonesia bisa memilih seorang negarawan sebagai pemimpin.



Tantangan untuk meluruskan arah reformasi ekonomi terbilang kompleks. Para ekonom independen pernah menyimpulkan, kondisi perekonomian nasional jangka panjang kian merisaukan. Realisasi program yang tidak maksimal akibat buruknya koordinasi antarkementerian dan lemahnya kepemimpinan menyebabkan ruh pembangunan untuk rakyat hilang.



Potret buruk disain dan produktivitas ekonomi nasional bisa dibaca dari penetrasi produk manufaktur impor ke pasar dalam negeri. Dari peralatan dapur, mainan anak, alas kaki, TPT, telepon seluler hingga obat-obatan. Pemberian akses masuk tanpa batas untuk produk impor itu secara tidak langsung menjadi senjata pembunuh UMKM di berbagai pelosok daerah. Selain itu, ketergantungan pada bahan pangan impor sudah  sangat tinggi. Nilai impor bahan pangan per tahunnya rata-rata di atas Rp50 triliun untuk impor beras, kedelai, susu, gandum hingga garam. Revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan tak lebih dari konsep tanpa aksi.



Terkait reformasi hukum, sudah muncul kekhawatiran Indonesia sedang bergerak mundur. Hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. Mereka yang diatas mengubah hukum menjadi sangat diskriminatif. Hukum kita tidak berfungsi dengan tegas dan lugas terhadap sejumlah kasus besar, seperti skandal Bank Century dan mafia pajak. Namun, saat merespons kasus kecil, hukum begitu ‘galak’ dan tidak pandang bulu. Tersangka pencuri cabai pun diinapkan di ruang tahanan polisi.



Kecewa oleh hukum yang diskriminatif itu, sebagian warga di akar rumput memilih caranya sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang membelit mereka. Bentrok berdarah dan aksi saling bunuh terjadi di sejumlah daerah, termasuk di Jakarta. Itulah benih-benih kegagalan fungsi hukum. Progres reformasi hukum jangan dilihat dari berapa banyak KPK menangkap koruptor, melainkan diukur dari kemauan masyarakat menaati hukum dan peraturan perundang-undangan. Artinya, termasuk dalam tantangan meluruskan arah reformasi hukum adalah memulihkan ketertiban umum.



Kalau ingin mengukur tantangan dalam meluruskan arah reformasi politik, dinamika menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta bisa dijadikan indikator. Terungkap cerita tentang seorang calon gubernur (Cagub) yang coba mendekati sebuah Parpol untuk dijadikan kendaraan politiknya.  Sang Cagub langsung mundur ketika Parpol itu mengajukan angka besarnya cukup fantastis. Lalu, berapa yang dibutuhkan untuk meraih kursi presiden?  Anda disarankan untuk menguasai dulu BUMN (badan usaha milik negara). []



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar