Senin, 21 Mei 2012

BamSoet: Justice Collaborator


Justice Collaborator



Bambang Soesatyo

Anggota Komisi III DPR RI



NILAI heroik dari keberanian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperlebar penanganan kasus suap Wisma Atlet dan kasus Hambalang meredup begitu saja ketika dimunculkan wacana justice collaborator kepada seorang tersangka. Syukurlah hal itu segera dibantah oleh KPK. 



Butuh keberanian ekstra untuk mengubah status seorang politisi menjadi tersangka kasus korupsi. Apalagi jika sang politisi diketahui dekat dengan pusat kekuasaan. Bukan hanya tarik menarik kepentingan, tetapi tidak jarang diwarnai adu kekuatan, saling ancam serta saling menyandera. Karena itu, ketika pimpinan KPK mengumumkan status tersangka atas Angelina Sondakh dalam kasus suap proyek Wisma Atlet, tindakan itu dinilai berbagai kalangan sebagai sangat heroik. Bisa dimaklumi jika penilaian seperti itu mengemuka, karena kinerja dan keberanian institusi penegak hukum sering menimbulkan keraguan publik.



Diyakini bahwa kepemimpinan KPK periode sekarang tidak bisa disandera karena bersih, serta integritas mereka siap diuji. Dan, ketika surat penahanan Angelina ditandatangani, integritas KPK  memang sudah teruji. Bukti bahwa KPK berani untuk tidak mau mundur, sekali pun hanya satu langkah. Publik pun menangkap kesan bahwa KPK sedang dan terus mengasah pisau hukum.



Dalam konteks pemberantasan korupsi, semua orang paham bahwa KPK memang memiliki kewenangan sangat besar. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, besarnya kapasitas kewenangan itu tidak dimanfaatkan. Menyikapi kasus besar yang menjadi perhatian publik, KPK lebih banyak berwacana daripada bertindak.  Bahkan, sempat muncul kesan KPK menjadi kompromistis ketika harus menyentuh kasus korupsi yang diduga melibatkan orang-orang kuat di negara ini. Semangat kompromi KPK itu tampak begitu telanjang ketika menyikapi skandal Bank Century atau mafia pajak. Akibat kecenderungan itu, pesimisme terhadap pemberantasan korupsi sempat meluas. Bahkan KPK dituduh ikut-ikutan mempraktikan tebang pilih.



Oleh karena itu, posisi dan sikap KPK dalam menangani persoalan hukum yang dihadapi Angelina Sondakh plus sejumlah nama lain patut dipahami sebagai upaya mengaktualisasi kewenangan besar yang melekat pada KPK. Bahkan layak juga disebut sebagai upaya merevitalisasi kewenangan besar KPK. Agar revitalisasi itu mencapai tujuan utamanya, tentu saja semua orang KPK harus tegar. Sebab, tantangannya sangat berat ditengah praktik korupsi yang makin marak sekarang ini. Bukan hanya godaan berupa ajakan mengomersialisasikan jabatan atau melanggar etika, tetapi juga dihantui ancaman dan jebakan yang direkayasa. Kepemimpinan KPK periode sekarang harus mengambil hikmah dari pengalaman buruk yang dialami pendahulu mereka.  



Sudah terbukti bahwa upaya KPK merevitalisasi kewenangan besarnya mendapatkan apresiasi dari seluruh elemen masyarakat; minus komunitas koruptor tentu saja. Apresiasi dan dukungan publik menjadi modal dasar yang tak ternilai. Sudah lama rakyat menderita akibat tirani koruptor. KPK dihadirkan untuk meruntuhkan tirani itu. Oleh karena itu, independensi KPK menjadi faktor kunci yang menentukan kuat-lemahnya KPK. Fakta bahwa sumbu korupsi itu ada dalam birokrasi kekuasaan. Karena itu, sangat penting bagi KPK untuk berani menjaga jarak dengan birokrasi kekuasaan yang sarat koruptor itu. Sebab, hanya birokrasi kekuasaan yang bisa melemahkan KPK, bukan unsur lain.



Oleh karena itu,  banyak kalangan terkejut ketika KPK menawarkan justice collaborator kepada tersangka Angelina Sondakh. Terkejut karena tawaran itu benar-benar bertolakbelakang dengan asumsi maupun persepsi publik. Bisa dimaklumi jika tawaran KPK itu ditentang oleh sebagian besar pemerhati. Kajian atau analisis hukum para ahli terhadap konsekuensi hukum yang kemungkinan dihadapi Angelina memang sudah terlanjur jauh. Sebab , karena para ahli mengacu pada sejumlah kesaksian di persidangan kasus Wisma Atlet, baik keterangan terdakwa Muhammad Nazaruddin maupun penuturan sejumlah saksi.



Akal-akalan?



Dari persidangan kasus Wisma Atlet, baik terdakwa maupun sejumlah saksi sudah memberi gambaran sangat jelas tentang sumber dana, dan juga perihal aliran dana, baik yang diterima individu maupun kelompok.  Juga dari persidangan kasus yang sama, dimunculkan indikasi tentang praktik pencucian uang.  Pihak-pihak yang terlibat maupun diduga terlibat telah menjadikan sebuah unit usaha sebagai sarana mengumpulkan uang jasa (fee) proyek, sebelum dibagikan atau dialirkan ke pihak lain.



Dengan konstruksi kasus seperti itu, para ahli berpendapat bahwa KPK bisa menggunakan UU Tipikor dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk menjerat pihak-pihak yang terlibat. Bahkan, dengan menggunakan UU TPPU sebagai pintu masuk, KPK bisa menelusuri ketidakwajaran sumber-sumber kekayaan tersangka atau pihak-pihak yang sudah diduga menerima aliran dana dari kasus Wisma Atlet maupun Hambalang. Artinya, publik ingin agar dirumuskan dakwaan maksimal terhadap semua pihak yang terlibat. Dakwaan maksimal perlu agar tumbuh efek jera.



Maka, tawaran justice collaborator memang tidak terlihat urgensinya karena indikasi keterlibatan  sejumlah nama dalam kasus Wisma Atlet sudah terungkap. Untuk mendapatkan bukti-bukti yang lebih kuat, para penyidik KPK hanya perlu bekerja lebih keras lagi. Mengapa, misalnya, KPK tidak menelusuri nama pemilik nomor telepon seluler yang berkomunikasi dengan terdakwa Mindo Rosalina Manulang? Sebab, bukankah pemilik nomor telepon harus mendaftarkan identitasnya pada operator telepon seluler? Artinya, untuk mendapatkan bukti-bukti yang lebih kuat, masih terdapat beberapa langkah yang bisa ditempuh penyidik KPK untuk menggugurkan tawaran justice collaborator itu.

  

Sudah muncul kekhawatiran tentang adanya motif tertentu dibalik tawaran justice collaborator itu. Ada upaya merancang mekanisme ini dengan target meringankan dakwaan. Bukan tidak mungkin dari konstruksi dakwaan menerima suap berubah menjadi kasus gratifikasi. Artinya, tawaran justice collaborator itu tak lebih dari akal-akalan untuk mengakomodasi kepentingan pihak tertentu yang sangat mengharapkan agar penerima tawaran justice collaborator tidak mengungkap keterlibatan mereka. Imbalannya, si justice collaborator akan diajukan ke Pengadilan Tipikor dengan dakwaan yang ringan.



Kalau hal itu yang terjadi, berarti predator proses hukum justru ada di dalam tubuh penegak hukum itu sendiri. Fakta dan pengalaman membuktikan bahwa rekayasa dakwaan untuk menguntungkan posisi terdakwa pun bisa terjadi di pengadilan tipikor. Karena itu, pimpinan KPK harus mewaspadai kemungkinan itu.



Kalau pun tawaran justice collaborator itu akan direalisasikan, segala sesuatunya harus transparan. Sebab, kasus ini sudah menjadi perhatian publik. Publik harus tahu apa yang menjadi target KPK dari seorang justice collaborator itu. Harus ada kesediaan KPK dan justice collaborator untuk berbicara kepada publik. Artinya, kalau KPK menargetkan justice collaborator menyebut keterlibatan nama lain, justice collaborator bersama KPK harus menyebut atau mengumumkannya di ruang publik, tidak cukup sekadar di ruang pemeriksaan.



Pun bukan sekadar nama warga sipil biasa , apalagi hanya supir pribadi. Target KPK dari justice collaborator harus besar dan strategis agar setara dengan keringanan dakwaan terhadap justice collaborator. Kalau kesaksian justice collaborator tidak setara atau sekadar menyebut nama seseorang berstatus pembantu, tawaran justice collaborator harus digugurkan.  Sebab, bagaimana pun, KPK tidak boleh kompromistis terhadap tersangka koruptor. []



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar