Tuan Syekh
Djalaluddin Pane Parsambilan dan Gerakan Aswaja di Tapanuli (2)
Kaum Padri dan Ja
Mangilat
Tuanku Rao (nama asli
Syamsul Bahri yang bergelar Bagindo Sali) dalam memperluas kekuasaan Kaum Padri
di daerah Tapanuli tidak berjalan sendiri. Ia memercayakannya kepada mantunya,
Pongki Nangolngolan Sinambela. Tuan Rao sendiri tetap berada di Benteng Rao.
Banyak para penulis
sejarah yang menyatakan bahwa Tuanku Rao adalah Pongki Nangolngolan Sinambela
(seterusnya ditulis dengan Pongki Nangolngolan). Saya mengikuti pendapat Ender
Pane dan sumber lainnya yang menyatakan bahwa Tuanku Rao bukanlah Pongki
Nangolngolan. Keduanya adalah dua sosok yang berbeda.
Dalam perjalanannya,
Pongki Nangolngolan tidak hanya bermaksud menyebarkan ajaran Islam kepada
orang-orang Tapanuli yang masih menganut agama leluhur dan menghilangkan
tradisi mengorbankan manusia untuk persembahan, tetapi mempunyai misi
tersembunyi karena ingin membalas dendam, yaitu membunuh paman kandungnya
sendiri, Si Singamangaraja X di Bakkara, Tapanuli Utara.
Pongki Nangolngolan
menaruh dendam karena ia adalah kemenakan Si Singamangaraja X yang orang tuanya
dan dirinya diusir dari Bakkara dan terdampar di tanah Rao. Perjalanan yang
dilatarbelakangi balas dendam ini terjadi dari tahun 1825 sampai 1829 dan Si
Singamangaraja X berhasil dibunuh oleh Pongki Nangolngolan.
Pasukan Rao di bawah
kepemimpinan Pongki Nangolngolan bergerak seperti air bah yang tumpah. Orang
pribumi menyebut perang dengan Kaum Paderi ini dengan sebutan ”Porang Monjo”
(perang melawan Orang Bonjol) atau ”Porang Pidari” (perang melawan orang
Paderi). Pasukan ini terus bergerak ke Sipirok, Simangambat, Pangaribuan,
dan terus ke wilayah-wilayah di Tapanuli Utara. Dalam perang ini, banyak
pribumi yang masih menganut animisme kemudian memeluk Islam.
Dua tahun sebelum
Pongki Nangolngolan berdakwah dengan kekerasan di daerah Tapanuli, yaitu tahun
1823 di Desa Paran Padang, Sipirok, Tapanuli Selatan lahir seorang anak
laki-laki. Ia diberi nama Jalo, artinya ”anak pertama”, yang kelak dikenal
sebagai Tuan Syekh Djalaluddin Pane gelar Tuongku Sutan Pane Parsambilan.
Dalam bahasa Tapanuli
Toba, Jalo dilafalkan dan dituliskan dengan Jolo yang berarti “anak pertama”.
Menurut Doangsa P.L. Situmeang di dalam bukunya yang berjudul Nama Etnis Batak
Toba, setiap wilayah (di Tapanuli) memiliki penekanan serta dialek yang
berbeda. Namun, kita tidak akan menemukan nama orang Tapanuli asli (bukan dari
Islam atau Kristen) yang dimulai dengan huruf c, f, k, q, v, w, x, y, z, karena
abjad tersebut tidak ada dalam aksara Tapanuli. Dialek setempat kadang kala
berbeda dengan tempat lain. Abjad yang paling sering berubah karena dialek
adalah huruf a menjadi o, misalnya Bonar menjadi Bonor, begitu pula Jalo
menjadi Jolo.
Jalo adalah putra
tunggal Ja Mangilat, cucu dari Ompu Ja Galanggang I yang membuka perkampungan
Paran Padang. Jalo dan leluhurnya bermarga Pane yang berasal dari
pomparan (keturunan) Datu Mangantar Bilang di Sibadoar, Sipirok, Tapanuli
Selatan yang berasal dari keturunan Ompu Raja Pane di Lobu Lancat. Dalam
Tarombo (silsilah) marga Pane di Paran Padang tertera Putra Ompu Ja Galanggang
I ada lima orang, yaitu Ja Naek, Ja Moppo, Ja Pattis, Ja Mangilat, dan Ja
Panggorean. Kelima anak Ompu Ja Galanggang I ini terkenal dengan kemampuan
mereka membangun benteng pertahanan gerbang bambu berduri di desa Paran Padang
bagian hulu.
Ayah, paman, dan
kakek Jalo masih kuat menganut paham Pelbegu (animisme) seperti pada umumnya
orang Tapanuli waktu itu, paham yang menjadi sasaran Kaum Padri untuk
dihilangkan dan diislamkan penganutnya. Belum saja Jalo bisa berjalan, belum
juga berumur tiga tahun, Pongki Nangolngolan dan pasukannya telah sampai di
desanya untuk mengislamkan semua penduduk desa dengan paksaan, mendatangi
setiap orang dan menanyakan, ”Tobet (bertobatlah!). Apakah mau masuk
agama Islam?”
Jika ada yang
menentang, akan diperangi dan si penantang akan ditanya sekali lagi sambil
memperlihatkan pedang yang terhunus, ”Tobet?” Kalau si penantang masih tetap
pada pendirian semula, tidak bersedia menerima anjuran masuk agama Islam karena
merasa lebih takut terhadap begu-begu yang dipuja, maka orang seperti ini bagi
pasukan Rao tidak akan diampuni. Langsung dieksekusi di tempat dengan leher
terputus.
Namun, untuk
mengeksekusi orang Tapanuli yang berani menentang bahkan menantang tidaklah
mudah. Biasanya si penantang punya ilmu tinggi, termasuk ilmu kebal yang hampir
tidak mungkin ditaklukan oleh orang di luar Tapanuli. Hanya orang Tapanuli
sendiri yang berilmu juga yang mampu melumpuhkan. Hal ini yang menjadi salah
satu alasan Kaum Padri di Sumatera Barat memilih orang Tapanuli Muslim di Kaum
Padri untuk berperang menyebarkan Islam di seluruh daerah Tapanuli, seperti
Pongki Nangolngolan. Bahkan disinyalir sebagian besar tentara Pongki
Nangolngolan merupakan orang-orang Tapanuli asli hasil rekrutan dari
daerah-daerah yang ditaklukan di Mandailing, Angkola, dan Sipirok yang sekali
lagi memang direkrut dan dipersiapkan untuk misi akhir, yaitu ke Bakkara
membunuh Si Singamangaraja X. Sebagai buktinya, sebagian besar tentara Pongki
Nangolngolan tersebut berbicara dalam bahasa Tapanuli.
Salah satu penantang
itu ada di desa Paran Padang yang tengah kedatangan pasukan Pongki
Nangolngolan. Dia adalah Ja Mangilat, anak dari Ompu Ja Galanggang I, ayah dari
Jalo. Dibandingkan saudara-saudaranya, Ja Mangilat memilki kelebihan fisik,
ilmu kanuragan (ilmu kebal, dan lain-lain) yang diwariskan oleh Ompu Ja
Galanggang I dan mendapatkan titisan keberanian serta kebesaran dari Datu
Mangantar Bilang yang meresap secara utuh di dalam jiwanya.
Berputih mata pantang
mundur menghadapi maut, berani mati asal saja tidak melanggar tumbal yang
dipuja terhadap roh nenek moyang. Inilah alasan penentangan dan penantangan Ja
Mangilat terhadap Pongki Nangolngolan dan pasukannya yang berjubah putih dan
sedang menyerang di sekitar daerah Sipirok sambil berteriak-teriak, ”Tobet,
tobet, tobet...”.
Saat itu, Ja Mangilat
sedang berada di sebatang pohon beringin di Sidodangdodang, di tepi pekan
(pasar) yang didirikan oleh ayahnya. Kawasan pekan ini dijadikan Ja Mangilat
sebagai kubu pertahanan sesuai dengan anjuran ayahnya. Pekan Sidodangdodang itu
hanya merupakan tanah lapang dan hanya didirikan satu-dua gubuk beratap ilalang
tanpa dinding. Terletak di ketinggian tanah di dekat jembatan Siduadua.
Pribumi berpekan di
tempat itu seminggu sekali setiap hari Senin. Umumnya mereka hanya
tukar-menukar barang keperluan sehari-hari. Ada juga tukar-menukar dengan
alat-alat besi untuk keperluan pertanian, yaitu parang, cangkul, pisau, dan
sabit. Kerbau atau kuda dijual dengan cara berdiri sambil berbisik-bisik meraba
jari untuk menentukan harga penjualan. Kemudian si pembeli juga mengisyaratkan
jari dalam tawaran.
Pada masa itu, pekan
Sidodangdodang sengaja didirikan oleh Ompu Ja Galanggang untuk menjaga
perdamaian dan mencegah pertikaian antara pomparan Ni Ompu Ha Tunggal Raja
Sipirok dan pomparan Ni Ompu Parlindungan Raja Baringin dan juga terhadap
pomparan Ni Saur Matua Raja Parau Sorat. Ketiga raja ini bersaudara, sama-sama
bermarga Siregar namun sering bertikai karena masing-masing mau memperlihatkan
kekuasaannya. Pada masa kemudian, pekan ini ditutup oleh Belanda setelah
membentuk kepala Kuria di Sipirok, Baringin, dan Parau Sorat dan pekan
dipindahkan ke Pasar Sipirok yang dibuka pada Hari Kamis.
Setelah bertahan,
terkepung, Ja Mangilat kemudian bersembunyi di kampung pemukiman Ompu Ja
Galanggang I yang pada masa itu bertempat di Lobu yang memiliki telaga Palakka
Gading. Telaga itu menjadi sumber mata air yang sekaligus sebagai tempat
tumpuan pemujaan terhadap begu roh nenek moyang. Sambil menggendong putranya,
Jalo yang masih kecil dan belum bisa berjalan, ia tetap waspada sambil terus
mencari-cari informasi tentang keberadaan Pongki Nangolngolan dan pasukan
padrinya.
Terakhir ia mendengar
bahwa masyarakat yang tinggal di daerah-daerah yang dilalui pasukan Padri
tersebut telah banyak yang memeluk agama Islam. Pongki Nangolngolan dan
pasukannya. Sambil meminang dan mencium Jalo, air mata Ja Mangilat
berlinang-linang di tempat persembunyian tersebut. Setelah merenung, kemudian
Ja Mangilat berucap,”Ale Ompung, muda na denggan do uga mo silom naro i, lehen
ma gogo dohot hasa nggapan tu anakku si sada-sada on. Gonanan do au mate
rap-rap dohot ho ompung.” (Oh nene, roh nenek moyang-, kalau memang bagus agama
Islam yang datang itu, berikanlah kekuatan dan wibawa kepada putra tunggalku ini.
Lebih baik aku mati bersama engkau nek...).
Setelah itu, Ja
Mangilat bangkit dan bersama seorang pengiringnya ia tampil untuk menghadapi
pasukan Rao yang sedang mengadakan pengepungan. Begitu ia keluar dari
persembunyian, ia langsung dihadang oleh pasukan Pongki Nangolngolan yang sudah
siap untuk menyerangnya dengan mengayun-ngayunkan pedang.
Ja Mangilat yang
memiliki ilmu kebal tidak tinggal diam begitu saja. Ia bertekad untuk membunuh
paling sedikit sepuluh orang musuh sebelum ia tertangkap. Ini terbukti karena
ada sekian jumlah orang dari pasukan Rao yang tumbang, terkapar berlumuran
darah. Namun jumlah lawan yang begitu banyak, akhirnya tidak dapat dihadapi
oleh Ja Mangilat. Ia pun tertangkap, tangannya diikat dan dihadapkan
kepada Pongki Nangolngolan yang sedang memegang pedang di tangan.
Untuk beberapa saat
keduanya saling berpandangan, membisu. Saat itu, Pongki Nangolngolan menyadari
bahwa di dalam darah Ja Mangilat mengalir suatu kekuatan jiwa yang sulit
ditandingi. Kekuatan jiwa itu sejajar dengan bentuk postur tubuh Ja Mangilat
yang tegap dan kekar. Melihat hal itu, Pongki Nangolngolan berkeinginan untuk
mengajak Ja Mangilat masuk Islam, menjadi sahabat, dan bersama-sama berjuang
menjadi bagian dari pasukannya meneruskan perjalanan ke Bakkara.
Terjadilah dialog
dalam bahasa Tapanuli,”Ra do ho tobet?” tanya Pongki Nangolngolan
berusaha mempengaruhi Ja Mangilat. Namun, Ja Mangilat menggeleng-gelengkan
kepala, matanya menatap tajam lawan bicaranya dengan tubuh dibasahi peluh. ”Dan
tela porsea tu begu, holan Allah do sombaon.” (Tidak bagus percaya kepada
begu, hanya Allah yang patut disembah), sambung Pongki Nangolngolan lembut. Ja
Mangilat menimpali seraya menunjukkan jari ke arah putra tunggalnya, Jalo, yang
sedang digendong oleh salah seorang penggiringnya, ”Molo dengan do ugamo
Silom i, lehenma gogo tu anakki.” (Kalau memang bagus ajaran agama Islam
itu, berikanlah kekuatan terhadap anakku itu).
Keduanya memang
sama-sama memiliki ilmu kesaktian. Ja Mangilat memiliki ilmu ”Panihat dan
Pakko Sikkam” (ilmu tangkal begu jembalang dan ilmu kebal). Sedangkan
Pongki Nangolngolan memiliki Batu Wasit ”Pungga Omasan dan Tintin Tumbuk”
(benda wasiat pusaka Si Singamangaraja yang memiliki kesaktian dan memperkukuh
ketinggian semangat dan wibawa).
Selama terjadinya
dialog, Jalo yang masih kecil terus meronta-ronta karena melihat ayahnya dalam
keadaan terikat di bawah tekanan dan kepungan pasukan yang jumlah begitu
banyak. Sementara Ja Mangilat tetap bergeming dan terus-menerus menggeleng-gelengkan
kepala, menatap tajam Pongki Nangolngolan sambil mengucapkan beberapa potong
mantera.
Untuk kesekian
kalinya, Pongki Nangolngolan mengucapkan, ”Tobet!” dan Ja Mangilat
mengulangi kembali jawabannya, ”Molo dengan do ugamo Silom i, lehenma gogo
tu anaki.”
Karena Ja Mangilat
tetap teguh pada pendiriannya, perlahan seorang algojo pasukan mengayunkan
pedang ke arah leher Ja Mangilat. Tapi, sebelum pedang itu mengenai sasaran,
tiba-tiba tubuh si algojo menjadi lemas tak berdaya, bagai daun keladi ditempa
panas. Melihat hal seperti itu, Pongki Nangolngolan tampil mendekat
menggantikan si algojo sambil berkata pelan, ”Sattabi di raja i.”
(Maafkanlah wahai raja). Kemudian Pongki Nangolngolan membuang ”Golang
Imbalo” (gelang) yang menjadi sumber kekebalan Ja Mangilat.
Dalam suasana yang
sangat mencekam itu, perlahan Pongki Nangolngolan mengayunkan pedang ke tengkuk
Ja Mangilat. Akhirnya, dalam hitungan detik, tubuh Ja Mangilat jatuh tersungkur
dengan kepala terlepas dari badannya. Suasana duka pun pecah. Orang-orang dekat
Ja Mangilat tidak dapat menahan duka terutama setelah mendengar tangisan Jalo
yang terus meronta-ronta di sisi jenazah ayahnya. Sedangkan Pongki Nangolngolan
beserta pasukannya meninggalkan tempat tersebut sambil terus meneriakan,”Tobet,
tobet, tobet...”.
Lebih seminggu
lamanya Pongki Nangolngolan dan pasukannya berada di Sipirok. Berjaga-jaga di
tepi sungai Aek Lampesong di kawasan Sipirok Godang. Tawanan yang bersedia
mengikuti barisan dikumpulkan di situ, menunggu saat disumpah. Tapi masih
banyak juga yang membangkang sehingga mendapat hukuman pancung. Tentang Raja
Sipirok yang ketika dijabat oleh Raja Hanggar Laut Siregar, belum jelas
kisahnya. (bersambung...)
Rakhmad Zailani Kiki.
Penulis adalah sekretaris RMI NU DKI Jakarta. Ia juga diamanahi sebagai Kepala
Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre (JIC).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar