Senin, 24 Juni 2019

Tuan Syekh Djalaluddin Pane Parsambilan dan Gerakan Aswaja di Tapanuli (2)


Tuan Syekh Djalaluddin Pane Parsambilan dan Gerakan Aswaja di Tapanuli (2)

Kaum Padri dan Ja Mangilat

Tuanku Rao (nama asli Syamsul Bahri yang bergelar Bagindo Sali) dalam memperluas kekuasaan Kaum Padri di daerah Tapanuli tidak berjalan sendiri. Ia memercayakannya kepada mantunya, Pongki Nangolngolan Sinambela. Tuan Rao sendiri tetap berada di Benteng Rao.

Banyak para penulis sejarah yang menyatakan bahwa Tuanku Rao adalah Pongki Nangolngolan Sinambela (seterusnya ditulis dengan Pongki Nangolngolan). Saya mengikuti pendapat Ender Pane dan sumber lainnya yang menyatakan bahwa Tuanku Rao bukanlah Pongki Nangolngolan. Keduanya adalah dua sosok yang berbeda.

Dalam perjalanannya, Pongki Nangolngolan tidak hanya bermaksud menyebarkan ajaran Islam kepada orang-orang Tapanuli yang masih menganut agama leluhur dan menghilangkan tradisi mengorbankan manusia untuk persembahan, tetapi mempunyai misi tersembunyi karena ingin membalas dendam, yaitu membunuh paman kandungnya sendiri, Si Singamangaraja X di Bakkara, Tapanuli Utara.

Pongki Nangolngolan menaruh dendam karena ia adalah kemenakan Si Singamangaraja X yang orang tuanya dan dirinya diusir dari Bakkara dan terdampar di tanah Rao. Perjalanan yang dilatarbelakangi balas dendam ini terjadi dari tahun 1825 sampai 1829 dan Si Singamangaraja X berhasil dibunuh oleh Pongki Nangolngolan.

Pasukan Rao di bawah kepemimpinan Pongki Nangolngolan bergerak seperti air bah yang tumpah. Orang pribumi menyebut perang dengan Kaum Paderi ini dengan sebutan ”Porang Monjo” (perang melawan Orang Bonjol) atau ”Porang Pidari” (perang melawan orang Paderi). Pasukan ini terus  bergerak ke Sipirok, Simangambat, Pangaribuan, dan terus ke wilayah-wilayah di Tapanuli Utara. Dalam perang ini, banyak pribumi yang masih menganut animisme kemudian memeluk Islam.

Dua tahun sebelum Pongki Nangolngolan berdakwah dengan kekerasan di daerah Tapanuli, yaitu tahun 1823 di Desa Paran Padang, Sipirok, Tapanuli Selatan lahir seorang anak laki-laki. Ia diberi nama Jalo, artinya ”anak pertama”, yang kelak dikenal sebagai Tuan Syekh Djalaluddin Pane gelar Tuongku Sutan Pane Parsambilan.

Dalam bahasa Tapanuli Toba, Jalo dilafalkan dan dituliskan dengan Jolo yang berarti “anak pertama”. Menurut Doangsa P.L. Situmeang di dalam bukunya yang berjudul Nama Etnis Batak Toba, setiap wilayah (di Tapanuli) memiliki penekanan serta dialek yang berbeda. Namun, kita tidak akan menemukan nama orang Tapanuli asli (bukan dari Islam atau Kristen) yang dimulai dengan huruf c, f, k, q, v, w, x, y, z, karena abjad tersebut tidak ada dalam aksara Tapanuli. Dialek setempat kadang kala berbeda dengan tempat lain. Abjad yang paling sering berubah karena dialek adalah huruf a menjadi o, misalnya Bonar menjadi Bonor, begitu pula Jalo menjadi Jolo.

Jalo adalah putra tunggal Ja Mangilat, cucu dari Ompu Ja Galanggang I yang membuka perkampungan Paran Padang. Jalo dan leluhurnya bermarga Pane  yang berasal dari pomparan (keturunan) Datu Mangantar Bilang di Sibadoar, Sipirok, Tapanuli Selatan yang berasal dari keturunan Ompu Raja Pane di Lobu Lancat. Dalam Tarombo (silsilah) marga Pane di Paran Padang tertera Putra Ompu Ja Galanggang I ada lima orang, yaitu Ja Naek, Ja Moppo, Ja Pattis, Ja Mangilat, dan Ja Panggorean. Kelima anak Ompu Ja Galanggang I ini terkenal dengan kemampuan mereka membangun benteng pertahanan gerbang bambu berduri di desa Paran Padang bagian hulu.

Ayah, paman, dan kakek Jalo masih kuat menganut paham Pelbegu (animisme) seperti pada umumnya orang Tapanuli waktu itu, paham yang menjadi sasaran Kaum Padri untuk dihilangkan dan diislamkan penganutnya. Belum saja Jalo bisa berjalan, belum juga berumur tiga tahun, Pongki Nangolngolan dan pasukannya telah sampai di desanya untuk mengislamkan semua penduduk desa dengan paksaan, mendatangi setiap orang dan menanyakan, ”Tobet (bertobatlah!). Apakah mau masuk agama Islam?” 

Jika ada yang menentang, akan diperangi dan si penantang akan ditanya sekali lagi sambil memperlihatkan pedang yang terhunus, ”Tobet?” Kalau si penantang masih tetap pada pendirian semula, tidak bersedia menerima anjuran masuk agama Islam karena merasa lebih takut terhadap begu-begu yang dipuja, maka orang seperti ini bagi pasukan Rao tidak akan diampuni. Langsung dieksekusi di tempat dengan leher terputus.

Namun, untuk mengeksekusi orang Tapanuli yang berani menentang bahkan menantang tidaklah mudah. Biasanya si penantang punya ilmu tinggi, termasuk ilmu kebal yang hampir tidak mungkin ditaklukan oleh orang di luar Tapanuli. Hanya orang Tapanuli sendiri yang berilmu juga yang mampu melumpuhkan. Hal ini yang menjadi salah satu alasan Kaum Padri di Sumatera Barat memilih orang Tapanuli Muslim di Kaum Padri untuk berperang menyebarkan Islam di seluruh daerah Tapanuli, seperti Pongki Nangolngolan. Bahkan disinyalir sebagian besar tentara Pongki Nangolngolan merupakan orang-orang Tapanuli asli hasil rekrutan dari daerah-daerah yang ditaklukan di Mandailing, Angkola, dan Sipirok yang sekali lagi memang direkrut dan dipersiapkan untuk misi akhir, yaitu ke Bakkara membunuh Si Singamangaraja X. Sebagai buktinya, sebagian besar tentara Pongki Nangolngolan tersebut berbicara dalam bahasa Tapanuli.

Salah satu penantang itu ada di desa Paran Padang yang tengah kedatangan pasukan Pongki Nangolngolan. Dia adalah Ja Mangilat, anak dari Ompu Ja Galanggang I, ayah dari Jalo. Dibandingkan saudara-saudaranya, Ja Mangilat memilki kelebihan fisik, ilmu kanuragan (ilmu kebal, dan lain-lain) yang diwariskan oleh Ompu Ja Galanggang I dan mendapatkan titisan keberanian serta kebesaran dari Datu Mangantar Bilang yang meresap secara utuh di dalam jiwanya.

Berputih mata pantang mundur menghadapi maut, berani mati asal saja tidak melanggar tumbal yang dipuja terhadap roh nenek moyang. Inilah alasan penentangan dan penantangan Ja Mangilat terhadap Pongki Nangolngolan dan pasukannya yang berjubah putih dan sedang menyerang di sekitar daerah Sipirok sambil berteriak-teriak, ”Tobet, tobet, tobet...”.

Saat itu, Ja Mangilat sedang berada di sebatang pohon beringin di Sidodangdodang, di tepi pekan (pasar) yang didirikan oleh ayahnya. Kawasan pekan ini dijadikan Ja Mangilat sebagai kubu pertahanan sesuai dengan anjuran ayahnya. Pekan Sidodangdodang itu hanya merupakan tanah lapang dan hanya didirikan satu-dua gubuk beratap ilalang tanpa dinding. Terletak di ketinggian tanah di dekat jembatan Siduadua.

Pribumi berpekan di tempat itu seminggu sekali setiap hari Senin. Umumnya mereka hanya tukar-menukar barang keperluan sehari-hari. Ada juga tukar-menukar dengan alat-alat besi untuk keperluan pertanian, yaitu parang, cangkul, pisau, dan sabit. Kerbau atau kuda dijual dengan cara berdiri sambil berbisik-bisik meraba jari untuk menentukan harga penjualan. Kemudian si pembeli juga mengisyaratkan jari dalam tawaran. 

Pada masa itu, pekan Sidodangdodang sengaja didirikan oleh Ompu Ja Galanggang untuk menjaga perdamaian dan mencegah pertikaian antara pomparan Ni Ompu Ha Tunggal Raja Sipirok dan pomparan Ni Ompu Parlindungan Raja Baringin dan juga terhadap pomparan Ni Saur Matua Raja Parau Sorat. Ketiga raja ini bersaudara, sama-sama bermarga Siregar namun sering bertikai karena masing-masing mau memperlihatkan kekuasaannya. Pada masa kemudian, pekan ini ditutup oleh Belanda setelah membentuk kepala Kuria di Sipirok, Baringin, dan Parau Sorat dan pekan dipindahkan ke Pasar Sipirok yang dibuka pada Hari Kamis.

Setelah bertahan, terkepung, Ja Mangilat kemudian bersembunyi di kampung pemukiman Ompu Ja Galanggang I yang pada masa itu bertempat di Lobu yang memiliki telaga Palakka Gading. Telaga itu menjadi sumber mata air yang sekaligus sebagai tempat tumpuan pemujaan terhadap begu roh nenek moyang. Sambil menggendong putranya, Jalo yang masih kecil dan belum bisa berjalan, ia tetap waspada sambil terus mencari-cari informasi tentang keberadaan Pongki Nangolngolan dan pasukan padrinya.

Terakhir ia mendengar bahwa masyarakat yang tinggal di  daerah-daerah yang dilalui pasukan Padri tersebut telah banyak yang memeluk agama Islam. Pongki Nangolngolan dan pasukannya. Sambil meminang dan mencium Jalo, air mata Ja Mangilat berlinang-linang di tempat persembunyian tersebut. Setelah merenung, kemudian Ja Mangilat berucap,”Ale Ompung, muda na denggan do uga mo silom naro i, lehen ma gogo dohot hasa nggapan tu anakku si sada-sada on. Gonanan do au mate rap-rap dohot ho ompung.” (Oh nene, roh nenek moyang-, kalau memang bagus agama Islam yang datang itu, berikanlah kekuatan dan wibawa kepada putra tunggalku ini. Lebih baik aku mati bersama engkau nek...).

Setelah itu, Ja Mangilat bangkit dan bersama seorang pengiringnya ia tampil untuk menghadapi pasukan Rao yang sedang mengadakan pengepungan. Begitu ia keluar dari persembunyian, ia langsung dihadang oleh pasukan Pongki Nangolngolan yang sudah siap untuk menyerangnya dengan mengayun-ngayunkan pedang.

Ja Mangilat yang memiliki ilmu kebal tidak tinggal diam begitu saja. Ia bertekad untuk membunuh paling sedikit sepuluh orang musuh sebelum ia tertangkap. Ini terbukti karena ada sekian jumlah orang dari pasukan Rao yang tumbang, terkapar berlumuran darah. Namun jumlah lawan yang begitu banyak, akhirnya tidak dapat dihadapi oleh Ja Mangilat.  Ia pun tertangkap, tangannya diikat dan dihadapkan kepada Pongki Nangolngolan yang sedang memegang pedang di tangan.

Untuk beberapa saat keduanya saling berpandangan, membisu. Saat itu, Pongki Nangolngolan menyadari bahwa di dalam darah Ja Mangilat mengalir suatu kekuatan jiwa yang sulit ditandingi. Kekuatan jiwa itu sejajar dengan bentuk postur tubuh Ja Mangilat yang tegap dan kekar. Melihat hal itu, Pongki Nangolngolan berkeinginan untuk mengajak Ja Mangilat masuk Islam, menjadi sahabat, dan bersama-sama berjuang menjadi bagian dari pasukannya meneruskan perjalanan ke Bakkara.

Terjadilah dialog dalam bahasa Tapanuli,”Ra do ho tobet?” tanya Pongki Nangolngolan berusaha mempengaruhi Ja Mangilat. Namun, Ja Mangilat menggeleng-gelengkan kepala, matanya menatap tajam lawan bicaranya dengan tubuh dibasahi peluh. ”Dan tela porsea tu begu, holan Allah do sombaon.” (Tidak bagus percaya kepada begu, hanya Allah yang patut disembah), sambung Pongki Nangolngolan lembut. Ja Mangilat menimpali seraya menunjukkan jari ke arah putra tunggalnya, Jalo, yang sedang digendong oleh salah seorang penggiringnya, ”Molo dengan do ugamo Silom i, lehenma gogo tu anakki.” (Kalau memang bagus ajaran agama Islam itu, berikanlah kekuatan terhadap anakku itu).

Keduanya memang sama-sama memiliki ilmu kesaktian. Ja Mangilat memiliki ilmu ”Panihat dan Pakko Sikkam” (ilmu tangkal begu jembalang dan ilmu kebal). Sedangkan Pongki Nangolngolan memiliki Batu Wasit ”Pungga Omasan dan Tintin Tumbuk” (benda wasiat pusaka Si Singamangaraja yang memiliki kesaktian dan memperkukuh ketinggian semangat dan wibawa).

Selama terjadinya dialog, Jalo yang masih kecil terus meronta-ronta karena melihat ayahnya dalam keadaan terikat di bawah tekanan dan kepungan pasukan yang jumlah begitu banyak. Sementara Ja Mangilat tetap bergeming dan terus-menerus menggeleng-gelengkan kepala, menatap tajam Pongki Nangolngolan sambil mengucapkan beberapa potong mantera. 

Untuk kesekian kalinya, Pongki Nangolngolan mengucapkan, ”Tobet!” dan Ja Mangilat mengulangi kembali jawabannya, ”Molo dengan do ugamo Silom i, lehenma gogo tu anaki.”

Karena Ja Mangilat tetap teguh pada pendiriannya, perlahan seorang algojo pasukan mengayunkan pedang ke arah leher Ja Mangilat. Tapi, sebelum pedang itu mengenai sasaran, tiba-tiba tubuh si algojo menjadi lemas tak berdaya, bagai daun keladi ditempa panas. Melihat hal seperti itu, Pongki Nangolngolan tampil mendekat menggantikan si algojo sambil berkata pelan, ”Sattabi di raja i.” (Maafkanlah wahai raja). Kemudian Pongki Nangolngolan membuang ”Golang Imbalo” (gelang) yang menjadi sumber kekebalan Ja Mangilat.

Dalam suasana yang sangat mencekam itu, perlahan Pongki Nangolngolan mengayunkan pedang ke tengkuk Ja Mangilat. Akhirnya, dalam hitungan detik, tubuh Ja Mangilat jatuh tersungkur dengan kepala terlepas dari badannya. Suasana duka pun pecah. Orang-orang dekat Ja Mangilat tidak dapat menahan duka terutama setelah mendengar tangisan Jalo yang terus meronta-ronta di sisi jenazah ayahnya. Sedangkan Pongki Nangolngolan beserta pasukannya meninggalkan tempat tersebut sambil terus meneriakan,”Tobet, tobet, tobet...”.

Lebih seminggu lamanya Pongki Nangolngolan dan pasukannya berada di Sipirok. Berjaga-jaga di tepi sungai Aek Lampesong di kawasan Sipirok Godang. Tawanan yang bersedia mengikuti barisan dikumpulkan di situ, menunggu saat disumpah. Tapi masih banyak juga yang membangkang sehingga mendapat hukuman pancung. Tentang Raja Sipirok yang ketika dijabat oleh Raja Hanggar Laut Siregar, belum jelas kisahnya. (bersambung...)    

Rakhmad Zailani Kiki. Penulis adalah sekretaris RMI NU DKI Jakarta. Ia juga diamanahi sebagai Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre (JIC).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar