Enam Prinsip Hubungan Umat
Islam dengan Pemeluk Agama Lain
Konferensi Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur
yang digelar pada 28-29 Juli 2018 atau bertepatan dengan 15-16 Dzulqa’dah 1439
H menyoroti sejumlah masalah keagamaan. Salah satu materi bahtsul masail dalam
forum tertinggi NU tingkat wilayah di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri itu
adalah soal kerukunan antarumat beragama dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Berikut ini adalah di antara hasil diskusi
Komisi Bahtsul Masail Maudhu’iyah. Berbeda dari Komisi Bahtsul Masail
Waqi’iyah, komisi ini lebih fokus pada paparan konseptual tentang masalah
tertentu, ketimbang kesimpulan hukum “halal-haram”. Pembahasan dilakukan oleh
para utusan dari berbagai Pengurus Cabang NU di Jatim, serta dirumuskan oleh KH
Ahmad Asyhar Shofwan, K Fauzi Hamzah Syam, KH Shamthon Mashduqi, dan KH Abd.
Rozaq Sholeh. Selanjutnya, hasil tersebut di-tashih kembali oleh KH
Romadlon Khotib, KH Muhibbul Aman Aly, dan KH Azizi Hasbulloh.
_______________
Prinsip Menjalin Kerukunan bagi Umat Islam
Terhadap Pemeluk Agama Lain
1. Dasar hubungan antara umat Islam dan
pemeluk agama lain
Realitas keberagaman manusia dalam agama dan
keyakinannya merupakan sunatullah yang tidak bisa dihilangkan. Andaikan
Allah subhanahu wata’ala mempersatukan manusia dalam satu agama misalnya
tentu Dia kuasa, namun realitasnya tidak demikian.
وَلَوْ
شاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً واحِدَةً وَلا يَزالُونَ مُخْتَلِفِينَ ،
إِلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ
لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Dan jika Tuhan-mu menghendaki, tentu Dia
jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat),
kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhan-mu. Dan untuk itulah Allah
menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhan-mu telah tetap, "Aku pasti
akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka)
semuanya." (QS. Hud: 118–119)
Perbedaan agama tidak bisa dijadikan alasan
untuk berperilaku buruk, memusuhi dan memerangi pemeluk agama lain. Dengan
demikian asas hubungan antara umat Islam dengan non-Muslim bukanlah peperangan
dan konflik, melainkan hubungan tersebut didasari dengan perdamaian dan hidup
berdampingan secara harmonis. Islam memandang seluruh manusia, apa pun agama
dan latar belakangnya, terikat dalam persaudaraan kemanusian (ukhuwwah
insaniyyah) yang mengharuskan mereka saling menjaga hak-hak masing,
mengasihi, tolong-menolong, berbuat adil dan tidak menzalimi yang lain. Allah subhanahu
wata’ala. berfirman:
لا
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ
يُخْرِجُوْكُم مِّنْ دِيَارِكُمْ أنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوْا إلَيْهِمْ إنَّ
اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan
tidak mengusir kamu dari kampong halamanmu. Sesungguhnya Alloh mencintai
orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al-Mumtahanah: 8)
2. Mengedepankan budi pekerti yang baik
Di manapun berada, terlebih di lingkungan
yang plural, seorang Muslim tidak dapat melepaskan dirinya dari hubungan sosial
dengan pemeluk agama lain. Islam mengajarkan, dalam setiap menjalin hubungan
dan interaksi sosial dengan siapa pun baik Muslim maupun non-Muslim, setiap
Muslim harus tampil dengan budi pekerti yang baik (Akhlaq al-Karīmah), tutur
kata yang lembut, dan sikap yang penuh kesantunan dan kasih sayang
(rahmah). Sebagaimana perintah Allah subhanahu wata’ala. kepada Nabi
Musa As. dan nabi Harun As. untuk bertutur kata lembut kepada Fir’aun:
فَقُولَا
لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya
dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS.
Thaha: 44)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
juga bersabda:
أَوْحَى
اللهُ إِلَى إِبْرَاهِيْمَ يَا إِبْرَاهِيْمُ حَسِّنْ خُلُقَكَ وَلَوْ مَعَ
الْكُفَّارِ تَدْخُلْ مَدَاخِلَ الْأَبْرَارِ
"Allah menyampaikan wahyu kepada Nabi
Ibrahim As: 'Perbaikilah budi pekertimu meskipun terhadap orang-orang
non-Muslim, maka engkau akan masuk (surga) tempat tinggal orang-orang yang
baik'." (HR. Al Hakim at Tirmidzi)
Sikap seperti ini merupakan refleksi
kebeningan spiritual pada diri seorang Muslim.
3. Internalisasi semangat persaudaraan
nasional (ukhuwwah wathaniyyah)
Kerukunan antarumat beragama tidak dapat terjalin
sempurna hanya dengan sikap saling toleransi saja, namun diperlukan adanya
keterbukaan diri untuk terlibat dalam kerjasama demi meraih kebaikan bersama.
Bangsa Indonesia disatukan oleh kehendak, cita-cita, atau tekad yang kuat untuk
membangun masa depan dan hidup bersama sebagai warga negara di bawah naungan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seluruh elemen bangsa Indonesia disatukan
dan meleburkan diri dalam satu ikatan kebangsaan atau persaudaraan sebangsa
setanah air (Ukhuwwah Wathaniyyah), terlepas dari perbedaan agama dan latar
belakang primordial lainnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Menyatukan seluruh penduduk madinah dalam satu ikatan kebangsaan:
وَإِنَّ
يَهُودَ بَنِي عَوْفٍ أُمَّةٌ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ، لِلْيَهُودِ دِينُهُمْ،
وَلِلْمُسْلِمِينَ دِينُهُمْ، مَوَالِيهِمْ وَأَنْفُسُهُمْ، إِلَّا مَنْ ظَلَمَ
وَأَثِمَ، فَإِنَّهُ لَا يُوْتِغُ إِلَّا نَفْسَهُ، وَأَهْلَ بَيْتِهِ
“Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf adalah satu umat
dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama
mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka
sendiri. Kecuali bagi yang zalim dan jahat, maka hal demikian akan merusak diri
dan keluarganya.”
إنَّهُمْ
أُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُونِ النَّاسِ
“Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu,
bukan dari komunitas yang lain.”
Ikatan persaudaran ini meniscayakan kewajiban
bersama untuk saling bahu-membahu bekerjasama dalam membela, memajukan dan
memakmurkan negaranya, mengesampingkan segala bentuk perbedaan primordial.
Sebagaimana tercantum dalam salah satu butir piagam Madinah:
وَإِنَّ
عَلَى الْيَهُودِ نَفَقَتَهُمْ وَعَلَى الْمُسْلِمِينَ نَفَقَتَهُمْ، وَإِنَّ
بَيْنَهُمْ النَّصْرَ عَلَى مَنْ حَارَبَ أَهْلَ هَذِهِ الصَّحِيفَةِ، وَإِنَّ
بَيْنَهُمْ النُّصْحَ وَالنَّصِيحَةَ، وَالْبِرَّ دُونَ الْإِثْمِ وإنه لم يأثم
امرؤ بحليفه وإن النصر للمظلوم
“Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan
bagi umat Islam ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan Muslimīn)
bantu-membantu dalam menghadapi musuh piagam ini. Mereka saling memberi
saran, nasehat dan berbuat baik tidak boleh berbuat jahat. Seseorang tidak
menanggung hukuman akibat kesalahan sekutunya. Pembelaan diberikan pada pihak
yang teraniaya.”
4. Kebebasan beragama, beribadah dan
mendirikan rumah ibadah
Agama Islam menjamin kebebasan beragama bagi
setiap pemeluk agama lain, dalam arti memaksakan non-Muslim untuk memeluk agama
Islam merupakan sebuah larangan.
لاَ
إِكْرَاهَ فِي الدِّيْنِ
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama
(Islam).” (QS Al-Baqarah: 256)
Di sisi lain, problematika pendirian rumah
ibadah di tengah-tengah masyarakat yang plural merupakan persoalan yang
sensitif. Setiap peristiwa pengerusakan, atau gangguan terhadap rumah ibadah
ataupun aktivitas peribadatan selalu menimbulkan dampak kerenggangan antar
pemeluk agama yang dapat merusak kerukunan di antara mereka, bahkan rawan
menyulut konflik. Islam memberikan toleransi dan menjamin kebebasan terhadap
pemeluk agama lain untuk melakukan kegiatan keagamaan dan beribadah sesuai
keyakinannya. Begitu pula terhadap pendirian tempat ibadah, namun kebebasan
tersebut tetap harus mempertimbangkan kebutuhan terhadap rumah ibadah serta
harus sesuai perundang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku.
5. Tidak mengganggu, merendahkan, menistakan
atau menghina simbol-simbol agama lain
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَلَا
تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا
بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى
رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang
mereka sembah selain Alloh, karena mereka nanti akan memaki Alloh dengan
melampaui batas dasar pengetahuan.Demikianlah kami jadikan setiap ummat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada tuhan tempat kembali mereka,
lalu dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan”.
(QS. Al-An’am: 108)
6. Menghormati hak-hak mereka sebagai warga
negara Indonesia, seperti hak memilih pekerjaan, memeluk agama dan beribadah
sesuai keyakinannya, berpolitik, keadilan hukum dan sebagainya
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar