Mau Kredit di Bank Syariah,
Kenali Dulu Jenis Agunan Anda!
Salah satu peran lembaga perbankan syariah
adalah sebagai lembaga intermediasi keuangan. Intermediasi maksudnya
bahwa bank berperan selaku “wakil nasabah” dalam menerima dan sekaligus
menyalurkannya ke unit-unit pembiayaan. Unit pembiayaan bisa terdiri atas suatu
badan usaha, unit usaha menengah dan usaha kecil (UMKM) dan atau bahkan
personal. Jika bank tersebut berbasis syariah, maka langkah penyaluran ini
senantiasa berusaha memenuhi prinsip-prinsip syariah.
Dalam sistem perbankan konvensional, fungsi
intermediasi ini dimainkan dengan jalan mengumpulkan dana masyarakat nasabah
kemudian bank berperan menyalurkannya ke unit-unit pembiayaan melalui penyaluran
bantuan kredit perbankan. Selanjutnya bank memberikan bunga kepada nasabah yang
keuangannya ditasharufkan oleh perbankan.
Terkait dengan penyaluran
pembiayaan/perkreditan, selain bank melakukan survei ke nasabahnya dan
mengadakan studi kelayakan nasabah, kadang bank juga mengharuskan adanya peran
jaminan. Jaminan ini selanjutnya disebut sebagai agunan. Ada dua jenis prinsip
agunan yang dikenal dalam syariah, yaitu agunan berbasis aset (rahn) dan agunan
berbasis personal (kafâlah).
Fungsi dari agunan ini sebenarnya ada banyak
sekali, salah satunya sebagai jaminan kembalinya pinjaman dana nasabah ke bank.
Mengapa harus ada jaminan? Selain karena faktor nasabah yang beraneka ragam
kondisi sosial dan karakteristiknya, juga dalam rangka sekuritisasi (jaminan
keamanan) dana investor dan/atau nasabah yang sudah menabung ke bank tersebut.
Dalam hal ini, yang diputar adalah dananya nasabah. Karena dan investor bisa
menarik dananya sewaktu-waktu, maka pihak perbankan harus membuat sistem yang
mudah untuk mencairkan dananya (liquiditas). Caranya, adalah dengan keberadaan
agunan tersebut.
Untuk agunan berbasis personal (kafâlah bin
nafs) dalam perbankan syariah umumnya diterapkan melalui skema kafîl (Institusi
penjamin pembiayaan/kredit) akan menjamin bahwa pihak kedua/nasabah yang
mengajukan kredit (makfûl ‘anhu) akan mengembalikan hutangnya (al-makfûl)
kepada pihak ketiga, yaitu bank syariah (al-makfûl lahu).
Misalnya Pak Tono (pihak 1) menjamin bahwa
Pak Toni (pihak 2) akan melaksanakan kewajiban mengembalikan hutang-hutangnya
(al-makfûl) kepada Pak Roy (pihak 3). Dalam sistem perbankan syariah, peran Pak
Tono (pihak 1) ini diperankan oleh sebuah institusi penjamin kredit. Untuk
mengetahui keberadaan dan peran institusi tersebut, pihak yang mengajukan bisa
menanyakannya di bank syariah yang bersangkutan. Jenis pembiayaan dengan agunan
personal (kafâlah bin nafs) ini umumnya diberikan dengan istilah pembiayaan
tanpa agunan. Praktiknya bagaimana? Biasanya, nasabah akan diajak melakukan
skema jual beli murabahah.
Adapun agunan berbasis aset (kafâlah bil
mâl), maka salah satu cara yang dibenarkan oleh syariah adalah dengan sistem
rahn (gadai). Dewasa ini, ruang lingkup aset sudah sangat berkembang sekali.
Menurut ulama jumhur selain ulama dari madzhab Hanafi, bahwa yang dimaksud
dengan aset adalah:
وأما
المال عند الجمهور غير الحنفية: فهو كل ما له قيمة يلزم متلفه بضمانه
Artinya: “Pengertian aset menurut ulama
Jumhur selain Hanafiyah adalah mencakup segala sesuatu yang memiliki nilai dan
mewajibkan dlaman bila merusaknya.” (Syeikh Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqhu
al-Islamu wa Adillatuh, Juz 7, Beirut: Daru al-Fikr, 1985, hal: 385)
Berdasarkan definisi di atas, maka yang
dimaksud sebagai aset adalah kadang berupa barang wujud, barang yang memiliki
nilai dan barang yang jika rusak, maka yang merusakkan wajib menanggungnya.
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.
18/POJK.04/2015 tentang Penerbitan dan Persyaratan Syukuk, Pasal 3, dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan barang (aset) yang bisa dijadikan jaminan (agunan)
sehingga disebut juga sebagai aset dasar (underlying asset), terbagi menjadi beberapa
macam:
• Aset berwujud tertentu (a’yan maujudat);
misalnya pekarangan rumah, mobil, sepeda motor.
• Nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul
a’yan) tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada; misalnya: surat
tanah, BPKB kendaraan, saham, hak paten dan lain-lain
• Jasa (al-khadamat) yang sudah ada maupun
yang akan ada; misalnya hak paten, hak produksi, dan lain-lain
• Aset proyek tertentu (maujudat masyru’
mu’ayyan); misalnya hak pendirian franchise, hak guna bangunan, hak sewa,
hak kontrak dan/atau
• Kegiatan investasi yang telah ditentukan
dalam jangka panjang (nasyath ististmarin khashah).
Masih dalam peraturan di atas, aset
sebagaimana yang dimaksud dalam ta’rif madzhab Syafi’i dijadikan sebagai syarat
minimal aset, yaitu memiliki nilai dan memiliki status kepemilikan.
Dengan mengenali beberapa aset di atas, maka
seseorang yang ingin mengajukan pembiayaan beragun aset – pembiayaan dengan
jaminan barang -, maka ia terlebih dahulu harus mengenali jenis aset yang
dimilikinya.
Dewasa ini mulai diperkenalkan istilah Efek
Beragun Aset. Bagaimanakah penjelasan tentang masalah ini? Dan bagaimanakah
perannya dalam dunia perekonomian syariah? Tunggu tulisan berikutnya! Wallahu
a’lam. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar