Kuncinya Adalah Pendapatan
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Dewasa ini, orang ribut membicarakan masalah Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme disingkat KKN. Korupsi yang dimaksud adalah terjadinya penyalahgunaan
uang masyarakat atau uang negara untuk hal-hal yang tidak semestinya, dan
biasanya yang melanggar undang-undang. Pengertian kolusi adalah kesepakatan
para penguasa dan pengusaha untuk menyalahgunakan wewenang, bagi kepentingan
kalangan tadi. Nepotisme adalah penempatan keluarga sendiri atau orang-orang
yang dekat dengan kita, tanpa memperhatikan faktor kecakapan dan kebolehan.
Karena kuatnya KKN tertanam dalam diri bangsa kita, maka orang tidak percaya
bahwa hal itu dapat dihabisi dalam waktu kurang dari satu generasi (30 tahun).
Ketidakpercayaan itulah yang membuat KKN tidak dapat diberantas oleh reformasi
apapun.
Penulis justru berpendapat sebaliknya. KKN memang tidak dapat
diberantas dalam waktu satu generasi saja. Namun ia dapat dikikis prinsip-prinsipnya
dalam waktu tidak terlalu lama, katakanlah 10 tahun. Ini terlaksana kalau kita
tahu permasalahannya dan jika kita menjalankan sistem pengaturan negara yang
jelas bertujuan memberantas KKN dengan konsekwen. Tetapi yang terpenting, kita harus
tahu pemicunya dan tahu juga cara pemberatasannya. Kedua hal itu sangat
penting, karenanya kita harus dalami. Dan dengan pengetahuan mendalam tentang
sebab-sebab KKN itu, dapat diambil langkah-langkah untuk melakukan
pemberantasan dalam skala/ukuran sangat besar. Hanya dengan cara demikianlah
KKN dapat diberantas dan diatasi. Tentu saja ini memerlukan kejujuran
pihak-pihak berkuasa dan berkeyakinan seperti itu.
Kunci pemberantasan KKN itu, terletak pada pendapatan pegawai
negeri, baik sipil, militer dan keamanan. Pada permulaanya pemerintah
memberikan pendapatan yang layak untuk hidup bagi PNS, militer dan keamanan.
Pada waktu itu, kabinet Hatta mengambil kebijakan yang sesuai dengan kenyataan,
penghasilan pegawai negeri kita yang terendah adalah 30 dollar A.S perbulan.
Ketika kemudian kurs uang kita merosot, dan dollar A.S bertambah tinggi
nilainya, maka peraturan mengenai pendapatan PNS, militer, keamanan kita tidak
mengalami perubahan. Ini berarti, pendapatan riil (nyata) mereka menjadi jatuh
dan bernilai sangat rendah. Pendapatan seorang TNI sekarang ini umunya hanya
mencapai 200.000 ribu rupiah, artinya hanya 2,5 dollar A.S saja. Jadi, jika
dahulunya mereka berpenghasilan sekitar 30 dollar A.S perbulan, dan setahun di
atas 350 dollar A.S, maka sekarang menjadi 2,5 dollar A.S perbulan atau 25
dollar A.S pertahun.
Padahal dalam waktu sekitar setengah abad yang kita jalani sebagai
bangsa yang berdaulat, kita mengalami perubahan-perubahan ekonomi yang sangat
besar. Pendapatan kita tetap berpegang pada peraturan lama, dengan nilai yang
sangat rendah. Kenyataan ini mengakibatkan terjadinya dua hal, yaitu
penggelembungan ongkos administrasi pemerintahan (seperti biaya untuk
perjalanan, peninjauan dan sebagainya) yang sangat besar, disamping kegiatan
yang sebenarnya tidak banyak diperlukan (atau hal yang dijadikan “proyek” untuk
menambah ongkos) dalam bentuk seminar loka karya dan rapat-rapat dinas. Ini
belum lagi termasuk “biaya siluman” karena banyak hal dibiayai oleh dinas
secara fiktif. Umpamanya saja, gedung yang sama “dibangun” dengan anggaran
berulang kali, sehingga menjadi sesuatu yang sangat mahal biayanya. Nah,
“menekan ongkos” dengan menyederhanakan hal itu, akan sangat banyak menolong
biaya pemerintah yang demikian mahal.
*****
Bank-bank pemerintah yang “memberlakukan” deferred payment (uang
hangus) telah menjadi “kebiasaan umum” untuk memperoleh kredit-kredit dari
mereka. Para pegawai lapangan terbang dan pelabuhan terang-terangan meminta
uang kepada tenaga kerja wanita dan tenaga kerja Indonesia (TKW dan TKI) yang
baru pulang atau ingin berangkat bekerja di luar negeri. “Biaya siluman” yang
merajalela dalam bentuk yang sangat beragam ini, membuat ekonomi kita menjadi
ekonomi yang sangat mahal, tanpa dapat dikontrol oleh pemerintah manapun.
Ditambah lagi jika orang-orang korup menjadi sangat dekat dengan para pejabat
tinggi pemerintahan kita. Itu semua terjadi, karena tidak ada keinginan
sungguh-sungguh dari pihak pemerintah untuk memperbaikinya, dimulai dari diri
sendiri. Bagaimana akan melakukan hal itu, kalau para penguasa sendiri justru
juga melakukannya?
Dalam keadaan seperti itu, benangnya sudah menjadi sangat kusut.
Karenanya, kita tidak perlu mencari secara rinci siapa saja yang melakukan tindak
korupsi. Cukup bila dicari sebab-sebabnya, dan ditentukan terapi apa yang harus
dilakukan. Karena kita tidak dapat mengetahui lagi mana yang menjadi pangkal
dan mana yang menjadi ujung, dari tiap persoalan yang harus dihilangkan dari
sistem pemerintahan kita. Dengan kondisi demikian, tidak berarti kita
membiarkan hal-hal yang menyalahi hukum, dan tindakan hanya akan diambil atas
kasus-kasus yang bersangkutan dengan pembuktian yang dapat diterima hukum,
seperti kasus Tanri Abeng di Bulog. Yang perlu, justru mencari akar-akar
persoalan, dan menentukan kebijakan baru yang dapat menangkal KKN dalam
kehidupan kita sehari-hari.
Demikian juga, penerimaan pegawai baru harus ditekan sedemikian
rupa, hingga hanya kebutuhan profesional yang sangat mendesak mendapatkan
rekrument, sehingga terjadi “pengecilan” birokrasi, karena adanya orang-orang
yang pensiun dan sebagainya. Demikian juga privatisasi usaha dagang dan BUMN
harus terus dilakukan, karena hanya usaha-usaha swasta sajalah yang secara
pasti dapat diharapkan melaksanakan rasionalisasi kepegawaian. Sudah tentu hal
ini harus dilakukan secara hati-hati, karena mau tidak mau perbaikan ekonomi
kita secara menyeluruh memerlukan rasionalitasnya sendiri. Karenanya semakin
cepat ditentukan kebijakan baru, akan semakin cepat pula perbaikan-perbaikan
yang diperlukan dapat mendorong pelaksanaan perbaikan yang diperlukan.
Karena itu, kunci kemampuan melakukan tindakan korektif atas
jalannya roda pemerintahan adalah upaya menaikkan penghasilan
PNS-Militer-Keamanan dalam lingkup yang sangat luas, terlebih dahulu harus
dilakukan perbaikan struktur pendapatan itu sendiri, sehingga dorongan mencari
“penghasilan tambahan” menjadi sangat kecil.
Jelaslah dengan demikian, upaya untuk menaikan pendapatan PNS
Militer-Keamanan-minimal sepuluh kali lipat dalam masa tiga tahun, merupakan
“kebijakan kunci” bagi pemberantasan KKN. Peningkatan usaha-usaha lain akan
bergantung kepada peningkatan tersebut. dengan kata lain, tindakan-tindakan
apapun yang akan dilakukan haruslah didahului oleh peningkatan pendapatan itu.
Karena itu, peningkatan pendapatan yang disebutkan di atas, merupakan langkah
kunci yang harus dilakukan, disertai tindakan-tindakan hukum untuk mencegah
tindak-tindak korupsi yang baru. Sudah tentu, kesemuanya itu harus didasarkan
kepada upaya mencari hitungan-hitungan baru atas ongkos-ongkos pemerintahan,
sehingga tercipta keadaan nyata/riil dalam pelaksanaan pemerintahan. Tentu saja
ini tidak dapat diselesaikan dalam sehari-dua hari saja, tapi diperlukan
waktu hingga lima tahun untuk menghilangkan KKN, yang menjadi persyaratan bagi
pemerintahan yang bersih, birokrasi yang jujur dan ekonomi berbiaya rendah.
Hal-hal itu memang mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan, bukan? []
Jakarta, 10 Februari 2004
Memorandum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar