Kiai Syair, Ngaji
Keliling dengan Manakib
Setiap sore bakda
Shalat Asar tanggal sembilan bulan Ruwah (Sya'ban), orang-orang berkumpul di
tempat pemakaman Desa Plumbon, salah satu desa di kecamatan yang terkenal
dengan empingnya, Limpung Batang. Mereka duduk seraya membaca Manakib Syech
Abdul Qodir al-Jaelani, dilanjutkan dengan membaca surat Yasin dan Tahlil.
Begitu kira-kira
gambaran suasana haul Kiai Syair. Sebenarnya Kiai Syair wafat di hari Sabtu
Legi tanggal 1 di bulan Sya'ban bertepatan dengan bulan Mei 1988 M. Hanya saja
haulnya dibarengkan dengan haflah akhirussanah pesantren yang dia dirikan,
biasanya tanggal sembilan sampai sepuluh bulan Sya'ban.
Menurut beberapa
sumber, Kiai Syair wafat setelah mengajar santri di pagi hari. Di sela-sela
mengajar, Kiai Syair merasa dadanya sesak. Awalnya beliau berusaha melanjutkan,
namun akhirnya beliau menyudahinya, setelah salah satu santrinya meminta beliau
beristirahat. Setelah dituntun oleh santrinya dan diantar ke kamar, tak selang
lama, Kiai Syair dipanggil Sang Pencipta.
Alasan dibacakan
Manakib saat haul, di samping Surat Yasin dan Tahlil, karena sewaktu hidup,
Kiai Syair gemar membaca dan menggunakan Manakib sebagai materi dakwahnya, sebagaimana
penuturan Kiai Manab putra pertama Kiai Syair di sela-sela haul.
Banyak kesaksian
perihal Kiai Syair dan Manakib ini. Penulis sendiri pernah berjumpa seorang
kakek di sebuah mushala. Ia bercerita tentang kenangan dakwah Kiai Syair
dengan Manakib. Kegemaran Kiai Syair membaca Manakib ini masih dilestarikan
oleh putra-putri Kiai Syair, para santri dan masyarakat.
Misalnya, jamaah
putri malam Ahad di rumah salah satu putri Kiai Syair yang rutin membaca
Manakib. Lalu, biasanya ketika mau menempati sebuah bangunan baru, baik itu
rumah atau toko tempat berdagang, juga dibacakan Manakib.
Saat Kiai Syair ngaji
keliling dengan Manakib, wilayah Batang belum seperti sekarang. Dulu banyak
daerah yang belum terjamah oleh listrik. Salah satu santri Kiai Syair era 60-an
bercerita, kalau tiba di Limpung setelah matahari tenggelam, perlu nyali yang
besar jika ingin meneruskan perjalanan ke pesantren milik Kiai Syair yang
terletak di Desa Plumbon itu.
"Ada pembegal
jalan yang ditakuti di area sungai petung, antara Limpung dan Plumbon,"
kenang Kiai Rofi'i santri asal Pemalang ini.
Santri sepuh ini juga
cerita, dulu pernah menemani Kiai Syair memenuhi undangan pengajian. Kiai
Sya'ir bersama beberapa santrinya berjalan dengan penerangan oncor (baca:
obor).
Sebagaimana
keterangan dalam majalah Santri (terbit tahun 2016), biasanya undangan
pengajian bakda Isya'. Malahan kadang satu malam ada beberapa daerah yang
mengundang pengajian, akhirnya Kiai Syair berjalan dari satu pengajian ke
pengajian lain, melewati hutan dan sungai bersama beberapa santri.
Perjalanan Mencari
Ilmu
Kiai Syair lahir dari
pasangan Salamah dan Habibah. Kiai Sya'ir merupakan putra pertama dari enam
bersaudara. Ayah beliau adalah Lurah Desa Plumbon. Namun menurut suatu sumber,
walau menjabat Lurah, ayah beliau tidak tergolong orang kaya.
Kiai Syair memulai
pengembaraan intelektualnya di Pondok yang terletak di daerah Geringsing Batang
di bawah bimbingan Kiai Munasib. Kemudian beliau meneruskan menyantri di
Tegalsari Kendal di pesantren milik Kiai Masyud. Saat menyantri dengan Kiai
Masyud, Kiai Syair turut menjadi tentara Hizbullah, di bawah komando Kiai
Masyud.
"Bapak dulu
pernah gondrong dan menggunakan nama samaran, supaya tak terdeteksi oleh
penjajah," kenang Kiai Manab dalam suatu pertemuan.
Setelah dari
Tegalsari, Kiai Syair nyantri di Gubugsari Kendal kepada Kiai Jamhuri Abdul
Wahab. Dalam majalah Santri (terbit 2016) diceritakan, saat proses belajar,
bekal beliau di bawah standar. Ada kisah yang relevan dalam konteks ini.
Suatu ketika, karena
sarung yang dimiliki hanya satu, saat mencuci sarungnya, Kiai Syair bersembunyi
dalam air sambil mencari ikan seraya menunggu sarungnya kering. Pernah sarung
Kiai Syair ini tertiup angin dan terbawa arus sungai, akhirnya Kiai Syair
berendam sampai temannya datang membawakan pinjaman sarung.
Mendirikan Pesantren
Kira-kira tahun 1950
Kiai Syair kembali dari perantauan. Awalnya Kiai Syair mengaji bersama
masyarakat di langgar (mushala) milik Kiai Ahmad Nahrawi. Sedikit demi sedikit
jamaah Kiai Syair bertambah banyak. Akhirnya, pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun
1951, Kiai Syair mendirikan pondok pesantren bernama TPI al-Hidayah.
Perihal nama TPI
al-Hidayah ini, penulis belum lama mendengar langsung dari cerita Kiai Manab
saat menyambut Ketua GP Ansor Gus Yaqut Cholil Qumas, yang bersilaturahim ke
keluarga pesantren.
Kata Kiai Manab, nama
pesantren Plumbon adalah pemberian Kiai Bisri Mustofa Rembang yang merupakan
kakek Gus Yaqut dan Kiai Maksum Lasem. "TPI itu dari Kiai Bisri, sedangkan
al-Hidayah dari Kiai Maksum" jelas Kiai Manab.
Kiai Manab juga
bercerita, Kiai Bisri sering datang ke rumah Kiai Syair. Selain mengisi
pengajian, Kiai Bisri juga menyerahkan karya-karyanya kepada Kiai Syair, supaya
di sebarkan (dijual) ke masyarakat.
Bersama istri Nyai
Amanah binti Ahmad Nahrowi, Kiai Sya'ir mengembangkan pesantren. Yang awalnya
hanya berupa langgar dan rumah panggung, kemudian beliau berdua mendirikan
bangunan yang sampai sekarang menjadi aula jamaah. Pada tahun 1965 juga
dibangun tempat untuk santri putri.
Kiai Syair dan Nyai
Amanah dikaruniai lima anak, yakni Kiai Abdul Manab, Nyai Siti Nasehah (Allahu
yarhamha), Nyai Faridatul Bahiyah, Kiai Agus Musyafa' dan Kiai Sulton. Selain
menuruskan perjuangan mengajar dan mendidik santri, kelima anak Kiai Syair dan
Nyai Amanah ini juga aktif di Nahdlatul Ulama Kabupaten Batang.
Setelah Kiai Syair
wafat, putra-putri beliau, dengan dukungan alumni dan masyarakat, menderikan
Yayasan al-Syairiyyah. Sekarang yayasan ini menaungi beberapa lembaga
pendidikan, antara lain Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs),
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah (MA) Takhassus. Pesantren
pun berkembang, dari TPI al-Hidayah kemudian lahir Pesantren al-Ishlah,
al-Banin, dan al-Amanah.
Tahun ini haul Kiai
Syair dan Nyai Amanah akan dilaksanakan tanggal 15 Sya'ban atau 21 April 2019.
Mari kita kirim surat al-Fatihah, dan semoga Allah menuntun kita untuk
meneladani dan meneruskan perjuangan beliau berdua. []
Zaim Ahya,
Kontributor NU Online, santri berbagai pesantren dan founder takselesai.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar