Kisah Orang yang Berlebihan dalam Beribadah
(I)
Semua manusia dan jin memang diciptakan oleh
Allah untuk beribadah. Namun Allah ﷻ dan Baginda Nabi Agung Muhammad ﷺ tidak menyuruh
orang-orang untuk beribadah melebihi kemampuan masing-masing, agar tidak
memberatkan.
طه
مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى
Artinya: “Thâhâ. Kami tidak menurunkan
Al-Qur’an ini kepada-Mu (Muhammad) supaya engkau menjadi susah.” (QS Thâhâ:
1-2).
Ayat lain menyebutkan:
يُرِيدُ
اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya: “Allah menghendaki kalian kemudahan,
dan Dia tidak menghendaki kalian kesulitan.” (QS Al-Baqarah: 185)
Dalam hal menjalankan ibadah, Nabi Muhammad ﷺ menyuruh umatnya
untuk melakukan perintah agama semampunya. Berbeda jika berupa larangan, kita
harus meninggalkan larangan secara total. Shalat wajib kita lakukan, tapi pada
batas semampunya. Mampu berdiri, dengan berdiri; mampu duduk, dengan duduk; dan
seterusnya. Orang puasa hanya bagi yang mampu. Orang yang sakit, kalau sampai
tidak mampu, tidak wajib berpuasa. Begitu pula zakat dan haji dan lain
sebagainya. Semuanya berdasarkan kemampuan.
Berikut contoh kisah tentang orang yang
berlebihan dalam melakukan ibadah.
Satu ketika, ada tiga kelompok orang yang
datang ke rumah istri-istri Nabi. Mereka menanyakan bagaimana ihwal ibadah yang
dilakukan Rasulullah ﷺ.
Saat mereka dikasih tahu, seolah-olah mereka menganggap bahwa yang dilakukan
Rasulullah itu sedikit.
“Terus di antara kita ini, mana coba yang
termasuk seperti Nabi? Padahal Nabi adalah orang yang diampuni segala
kesalahannya baik masa silam maupun yang akan datang,” tanya salah seorang di
antara mereka kepada komunitasnya.
Ada yang menjawab, “Aku shalat sepanjang
malam penuh.”
“Aku puasa sepanjang tahun, tidak pernah
bolong,” jawab yang lain.
Yang satunya lagi mengatakan, “Kalau aku
menghindari wanita. Aku tidak pernah menikah selamanya.”
Setelah mereka mengutarakan usahanya untuk
bisa mirip dengan Rasulullah, Nabi kemudian datang seraya menanyakan, “Hai,
apakah kalian tadi yang mengatakan demikian, kamu menyebutkan begini, begini?
Perlu aku jelaskan, aku ini adalah orang yang paling takut kepada Allah jika
dibanding dengan kalian. Aku juga orang yang paling taat kepada Allah. Meski
begitu, aku terkadang berpuasa, kadang juga tidak. Aku juga melaksanakan
ibadah, shalat malam, namun aku tidur juga. Aku juga menikahi wanita.
Barangsiapa yang membenci sunnahku, ia bukan dari golonganku,” tandas
Rasulullah ﷺ.
(HR Bukhari Muslim. Lihat: Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, Shahih Bukhâri,
[Dâru Thûqin Najâh, 1422 H], juz 7, halaman 2)
Dari cerita di atas, perlu kita garisbawahi,
setiap sesuatu yang penting adalah konsistensi (istiqamah), bukan sekali
gebyar, capai, kemudian menghilang. Sebab, yang dihitung pahala banyak itu
konsistensinya. Jika hanya sekali, kemudian berhenti, pahalanya juga akan
berhenti. Berbeda kalau terus-menerus, selama ibadah itu dilakukan, ibadahnya
akan mengalirkan pahala. Wallâhu a’lam. []
(Ahmad Mundzir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar