Redup Jiwa Pancasila
Oleh: Yudi Latif
Penampakan lahiriah suatu peradaban merupakan pancaran batin jiwa
budaya. Manakala kita saksikan kehidupan bangsa menampakkan arus besar
pertikaian, sinisme, ketidakpercayaan, kesenjangan, ketidakadilan, korupsi, dan
kedangkalan kerumunan, hal itu menandakan terjadinya perubahan besar dalam jiwa
budaya kita.
Jiwa budaya bangsa Indonesia diimpikan berjiwa Pancasila: jiwa
welas asih yang memancarkan semangat musyawarah, gotong royong, tolong-menolong
(kooperatif). Dengan semangat musyawarah, keputusan politik harus didasarkan
pada asas rasionalitas dan keadilan, bukan subyektivitas partikular.
Didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan
perseorangan atau golongan. Berorientasi jauh ke depan, bukan kepentingan
jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang destruktif (toleransi
negatif). Bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat
semua pihak (minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif, yang dapat
menangkal dikte-dikte diktator mayoritas suara dan tirani minoritas pemodal.
Dengan semangat gotong royong, berat sama dipikul, ringan sama
dijinjing, sehingga keragaman kepentingan kelompok dengan konflik bisa
dirukunkan. Dalam pandangan Soekarno, ”Gotong royong adalah paham yang dinamis,
lebih dinamis dari ’kekeluargaan’.” Semangat kekeluargaan yang bersifat statis,
cenderung mengarahkan welas asih (altruisme) pada sesama anggota keluarga atau
golongan sendiri. Sedangkan semangat gotong royong yang bersifat dinamis lebih
memiliki kesanggupan untuk mengarahkan altruisme kepada sesama warga sekalipun
dari golongan yang berbeda.
Gotong royong adalah level tertinggi dari proses adaptasi manusia
dalam mengarungi tantangan seleksi alam kehidupan, dari makhluk individu dengan
kecenderungan simpanse (selfish) menjadi makhluk sosial dengan kecenderungan
lebah (groupish). Semangat gotong royong adalah semangat kolaboratif: satu
untuk semua, semua untuk satu; senasib sepenanggungan; bukan yang satu untung,
yang lain buntung.
Dengan semangat kooperatif, usaha tolong-menolong dikembangkan
seraya mencintai sesama manusia dengan berbagi kebutuhan jasmaniah secara fair.
Itulah yang disebut dengan keadilan sosial. Untuk mewujudkan hal itu,
kemerdekaan (emansipasi) politik perlu diiringi kemerdekaan (emansipasi)
ekonomi.
Tumpuannya adalah jiwa sosialistik bersendikan spirit kekeluargaan
dengan menghargai kebebasan kreatif individu. Sosialisme Indonesia menjunjung
tinggi asas persamaan dan kebebasan individu, dengan kualifikasi
individu-individu yang berjiwa kooperatif dan altruis, yang mengedepankan
tanggung jawab dan solidaritas sosial bagi kebajikan kolektif. Dalam sistem
sosialisme Indonesia diandaikan bahwa penghasilan diatur menurut maslahat
masyarakat untuk menghindari krisis karena persaingan. Dalam kaitan ini, Sutan
Sjahrir menyatakan, ”Sekali-kali, tidaklah boleh kepentingan segolongan kecil
yang hartawan bertentangan dengan kepentingan golongan rakyat banyak yang
miskin. Keadilan yang kita kehendaki adalah keadilan bersama yang didasarkan
atas kemakmuran dan kebahagiaan.”
Pudarnya praktik musyawarah, gotong royong positif, dan usaha
kooperatif dalam ekspresi peradaban (politik-ekonomi) bangsa saat ini
mengindikasikan mengeringnya jiwa budaya Pancasila. Nama Pancasila masih sering
disebut, tetapi pancaran spirit budayanya meredup. Meminjam pandangan Oswald Spengler,
suatu (jiwa) budaya tumbuh di atas tanah dengan lanskap tertentu yang akan
menua manakala sudah mencapai perkembangan optimum dari kemungkinan zat hara
yang tersedia. Seperti organisme, gerak jiwa budaya berkembang melewati tahap
musim semi (fajar), panas (siang), gugur (senja), dingin (malam).
Secara metaforik, gerak tumbuh jiwa Pancasila itu kini memasuki
musim gugur senja kala mengingat kesuburan tanah yang menopang pertumbuhannya
mengalami penjenuhan. Selama ini kita hanya memanfaatkan tumbuhan Pancasila
untuk keberlangsungan hidup bersama dari lahan dan budidaya yang diwariskan
para leluhur, tanpa usaha secara sungguh-sungguh untuk melakukan pemeliharaan
dan pemupukan ulang.
Ancaman kegelapan jiwa budaya Pancasila itu telah lama
diperingatkan oleh Wiranatakusuma pada persidangan Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia. ”Pada hemat saya, hal yang menyedihkan ini
disebabkan manusia tidak atau tidak cukup menerima latihan batin, ialah latihan
yang menimbulkan dalam sanubarinya suatu kekuatan yang menggerakkan ia (motive
force) untuk mengenal kebenarannya dan menerima macam-macam pertanggungjawaban
sebagai seorang anggota masyarakat yang aktif…. Maka alam moral ini hendaknya
kita pecahkan karena latihan otak (intellect) saja, betapa besarnya juga,
sungguh tak akan mencukupi untuk menjadikan manusia menjadi anggota masyarakat
yang baik.”
Asal comot model demokrasi dan ekonomi dari peradaban luar tanpa
mempertimbangkan kesesuaiannya dengan jiwa Pancasila bukan saja bisa meracuni
jiwa budaya, melainkan juga mengasingkan warga dari akar budayanya. Hidup tanpa
akar adalah hidup tanpa pijakan yang mengolengkan. Dalam mencari sandaran baru
itulah banyak anak negeri yang memalingkan hati ke lain jiwa: boleh jadi jiwa
budaya yang memandang Pancasila sebagai sesuatu yang harus dimatikan.
Demikianlah, jiwa Pancasila ditikam dari banyak jurusan, baik oleh mereka yang
memusuhi maupun yang mengaku mendukungnya.
Kita harus menghentikan gejala perenggutan nyawa budaya ini dengan
mempersiapkan lentera di ambang malam. Lebih baik berjalan dengan lilin kecil
jiwa sendiri ketimbang di bawah bulan purnama jiwa lain. Teruslah berjuang
menyusuri gelap malam. Makin jauh kita melangkah, makin dekat dengan fajar. []
KOMPAS, 20 Juni 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar