Rabu, 26 Juni 2019

(Ngaji of the Day) Apakah Uang Amplop Lebaran Milik Anak atau Orang Tua?


Apakah Uang Amplop Lebaran Milik Anak atau Orang Tua?

Pertanyan:

Assalamu alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online, masyarakat Indonesia memiliki tradisi berbagi kebahagiaan kepada anak-anak saudara, tetangga, dan anak-anak dari sahabat mereka melalui angpau, amplop berisi uang, atau uang secara terbuka pada hari raya Idul Fitri. Yang saya tanyakan, bagaimana status kepemilikan uang yang diterima anak-anak tersebut? Masalahnya, orang tua mereka kerap merasa memiliki uang tersebut. Mohon penjelasannya. Wassalamu alaikum wr. wb.

Ahmad Faisal – Jakarta

Jawaban:

Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah SWT. Berbagi kebahagiaan dengan anak-anak pada hari raya Idul Fitri merupakan tradisi yang baik. Namun demikian, berbagi angpau ini bukan merupakan kewajiban secara syariat.

Adapun praktik berbagi amplop yang berisi uang pada hari raya Idul Fitri ini dapat dikategorikan sebagai transaksi pengalihan status kepemilikan tanpa imbalan. Secara umum, transaksi ini dikategorikan sebagai hibah dengan sejumlah variannya berikut ini:

التَّمْلِيكُ بِلَا عِوَضٍ هِبَةٌ فَإِنْ مَلَّكَ مُحْتَاجًا لِثَوَابِ الْآخِرَةِ فَصَدَقَةٌ، فَإِنْ نَقَلَهُ إلَى مَكَانِ الْمَوْهُوبِ لَهُ إكْرَامًا لَهُ فَهَدِيَّةٌ

Artinya, “Pengalihan status kepemilikan tanpa imbalan adalah hibah. Jika seseorang mengalihkan kepemilikan kepada orang yang membutuhkan, maka praktik ini disebut sedekah. Tetapi jika ia memindahkannya ke lokasi yang dihibahkan sebagai bentuk penghargaan, maka praktik ini disebut hadiah,” (Lihat Imam An-Nawawi, Minhajut Thalibin).

Bagi kalangan mazhab syafi’i, akad hibah memiliki rukun seperti akad jual beli, yaitu keharusan adanya ijab dan qabul, shigah. Jika rukun hibah itu tidak terpenuhi, maka secara normatif praktik hibah tersebut tidak sah. Konsekuensinya, pengalihan status kepemilikan tidak terjadi. Namun demikian, untuk benda dan uang dengan nilai yang rendah, praktik jual dan beli, dalam hal ini praktik hibah, dapat dianggap sah menurut Mazhab Syafi‘I meski tidak ada ijab dan qabul sebagai rukun dalam praktik tersebut.

ولو لم يوجد إيجاب وقبول باللفظ ولكن وقعت معاطاة كعادات الناس بأن يعطي المشتري البائع الثمن فيعطيه في مقابله البضاعة التي يذكرها المشتري فهل يكفي ذلك المذهب في أصل الروضة أنه لا يكفي لعدم وجود الصيغة وخرج ابن سريج قولا أن ذلك يكفي في المحقرات وبه أفتى الروياني وغيره والمحقر كرطل خبز ونحوه مما يعتاد فيه المعاطاة 

Artinya, “Seandainya tidak ada lafal ijab dan qabul, tetapi terjadi serah dan terima barang seperti kebiasaan masyarakat, yaitu seorang pembeli menyerahkan ongkos harga barang kepada penjual yang diberikannya sebagai imbalan produk yang disebutkan oleh pengganti pembeli. Apakah praktik ini dianggap memadai? Mazhab Syafi‘i dari Kitab Raudhah karya Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa praktik ini tidak memadai karena tidak ada shigah. Tetapi Ibnu Suraij mengemukakan sebuah pendapat yang menyatakan bahwa praktik ini dianggap memadai pada barang-barang yang ‘murah’. Pendapat ini dijadikan fatwa oleh Ar-Rauyani dan ulama lainnya. Sedangkan barang-barang yang ‘murah’ adalah produk seharga satu ritl roti dan barang serupa yang biasa dijadikan serah terima oleh masyarakat,” (Lihat Syekh Taqiyuddin Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2001 M/1422 H], halaman 327.

Adapun satu ritl Baghdad setara dengan benda seberat 408 gram. Sedangkan  satu ritl Mesir setara dengan benda seberat 450 gram.

Lalu bagaimana dengan status kepemilikan uang dan harta secara umum yang dimiliki oleh seorang anak? Apakah uang dan aset anak secara otomatis adalah milik orang tuanya?

Terkait masalah ini, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama menyatakan bahwa hak kepemilikan aset anak dipegang oleh orang tuanya. Pandangan ini didasarkan pada sebuah hadits sebagai berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إلَى رَسُولِ اللَّهِ فَقَالَ إنَّ لِي مَالًا وَعِيَالًا وَإِنَّ لِأَبِي مَالًا وَعِيَالًا وَإِنَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَأْخُذَ مَالِي إلَى مَالِهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ أَنْتَ وَمَالُك لِأَبِيك... قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ فَذَهَبَ قَوْمٌ إلَى أَنَّ مَا كَسَبَهُ الِابْنُ مِنْ مَالٍ فَهُوَ لِأَبِيهِ وَاحْتَجُّوا فِي ذَلِكَ بِهَذِهِ الآثَارِ. وَخَالَفَهُمْ فِي ذَلِكَ آخَرُونَ فَقَالُوا مَا كَسَبَ الِابْنُ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ لَهُ خَاصَّةً دُونَ أَبِيهِ. وَقَالُوا قَوْلُ النَّبِيِّ هَذَا لَيْسَ عَلَى التَّمْلِيكِ مِنْهُ لِلأَبِ كَسْبُ الِابْنِ

Artinya, “Dari Jabir bin Abdillah RA bahwa seorang sahabat menemui Rasulullah SAW. Ia mengadu, ‘Saya memiliki harta dan keluarga. Ayahku pun demikian. Tetapi ia ingin mengakuisisi hartaku.’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Kau dan hartamu adalah milik ayahmu…’ Abu Ja’far mengatakan, sekelompok ulama berpendapat bahwa harta hasil usaha anak adalah milik ayahnya. Mereka menjadikan hadits tadi sebagai dalil. Tetapi sekelompok ulama lainnya menolak pandangan sebelumnya. Menurut mereka, hasil usaha anak adalah miliknya sendiri, tanpa ayahnya. Mereka menyatakan bahwa hadits nabi tersebut tidak seharusnya menandai pemberian status kepemilikan hasil usaha anak kepada ayahnya,” (Lihat Imam Abu Jafar At-Thahawi, Syarah Ma‘anil Atsar, [tanpa catatan kota, Alamul Kutub: 1994 M/1414 H] cetakan pertama, juz IV, halaman 158).

Adapun kelompok ulama lainnya menolak padangan tersebut. Mereka juga mendasarkan pandangannya pada sebuah hadits haji wada‘ yang menyatakan bahwa Islam menjamin kepemilikan harta dan keselamatan jiwa masing-masing individu. Menurut kelompok ini, setiap Muslim tanpa kecuali diharamkan untuk menganiaya harta dan jiwa Muslim lainnya.  

وَقَدْ رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ حَرُمَ أَمْوَالُ الْمُسْلِمِينَ كَمَا حَرُمَ دِمَاؤُهُمْ وَلَمْ يُسْتَثْنَ فِي ذَلِكَ وَالِدًا وَلاَ غَيْرَهُ

Artinya, “Telah diriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah SAW, ‘Harta umat Islam haram (diambil) sebagaimana haram (untuk menumpahkan) darah mereka.’ Di sini tidak dikecualikan pihak ayah dan pihak lainnya,” (Lihat Imam Abu Jafar At-Thahawi, Syarah Ma‘anil Atsar, [tanpa catatan kota, Alamul Kutub: 1994 M/1414 H] cetakan pertama, juz IV, halaman 158).

Dari pelbagai keterangan ini, kita dapat menarik simpulan bahwa status kepemilikan uang amplop lebaran anak lebih cenderung jatuh kepada anak daripada orang tuanya. Dari sini kemudian, mayoritas ulama berpendapat bahwa harta anak tetap milik anak. Sedangkan kedudukan orang tua hanya sebagai wali dengan hak-hak dan kewajiban yang melekat padanya. 

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar